Minggu, 30 Oktober 2011

PANTASKAH KITA DIUNDANG?


Luk 14:12-14

14:12 Dan Yesus berkata juga kepada orang yang mengundang Dia: "Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya, karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasnya.

14:13 Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta.

14:14 Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.

Perjamuan
Perikop ini sangat terkenal. Di dalamnya terkandung ajakan untuk berbuat tanpa pamrih. Bagi orang Yahudi, mengundang seseorang dalam suatu perjamuan, berbeda dengan sekedar berbuat baik bagi seseorang yang membutuhkan. Mengundang seseorang dalam perjamuan berarti menempatkan orang lain (undangan) dalam kelompok kita, dalam tataran yang semartabat dengan kita. Mereka dianggap layak makan bersama, bergaul, berpesta, bergembira dan bahkan karena perjamuan seseorang dianggap bersaudara dengan kita. Dalam sudut pandang ini kita bisa melihat betapa orang Yahudi sangat heran ketika mengetahui Yesus makan bersama para pemungut cukai dan orang berdosa (bdk Mat 9:11; Mrk 2:16; Luk 5:30)


Sangat biasa jika mengadakan perjamuan kita mengundang kerabat, orang yang kita kenal, atau pun orang terpandang yang kita hormati. Kedatangannya merupakan suatu kehormatan bagi kita. Bahkan siapa kita, juga diukur dengan melihat siapa yang datang dalam perjamuan yang kita adakan. Kalau pesta yang kita adakan dihadiri oleh seorang presiden, maka orang lain pasti akan segan dengan kita. Seluruh lingkungan di-steril-kan untuk pengamanan sang presiden. Siapa tamu kita mencerminkan siapa diri kita.

Dan tentunya, saat sang tamu nantinya mengadakan perjamuan – kita pun pasti akan diundangnya. Sama, menghadiri undangan seseorang yang terkenal pun juga menjadi suatu prestise bagi seseorang. “Wah maaf saya tidak bisa datang doa lingkungan ya, ada undangan manten anaknya pak gubernur….” Wuis hebat rek………

Mengundang Orang Miskin, Cacat, Lumpuh dan Buta?
Karenanya ajakan Yesus dalam periko ini, jika didalami sangatlah mencengangkan. Jika kita ikuti, yang kita pertaruhkan bukan sekedar pamrih dari orang yang diundang tanpa bisa membalasnya, melainkan juga harga diri kita dipertaruhkan. Karenanya bagaimana seruan ini bisa dilaksanakan?


Kitalah Para Undangan itu
Dalam renungan ini, saya tidak hendak mengulas bagaimana seruan Yesus harus dilaksanakan, melainkan saya mengajak kita semua menyadari diri bahwa KITALAH para undangan itu. Kita ini orang-orang miskin, buta dan lumpuh yang diundang Allah ikut dalam pesta perjamuannya, dalam Ekaristi maupun dalam perjamuan abadi di surga nanti.


Kisah Sepasang Suami istri cacat
Dari satu kisah di jejaring social, saya mendapat suatu cerita yang menarik untuk menggambarkan betapa Allah mempertaruhkan harga diriNya untuk senantiasa mengundang kita dalam hidupNya:

Ada sepasang suami isteri, ϑîmana sang isteri αϑalah wanita yang amat sangat cantik, tanpa cacat sedikit pun. Daή suaminya sangat mencintainya, begitu juga isterinya.
Dî hari-hari itu, sedang tersebar wabah penyakit kulit yang ganas,yang membuat kulit orang yang tertular menjadi rusak menjijikkan. Dan sang isteri tertular, wajahnya mulai hancur ϑimakan penyakit. ϑîkala itu, sang suami sedang bertugas diluar negeri dan belum mengetahui bahwa isterinya terserang penyakit kulit tersebut. Dan naas pula bahwa dalam perjalanan pulang dari luar negeri, sang suami mengalami kecelakaan yang mengakibatkan dia menjadi  buta.
Akhirnya dari hari ke hari,sang isteri yang pada mulanya bidadari berubah menjadi wanita yang amat jelek dan menyeramkan ηαмυη sang suami tak bisa melihatnya. Dan kehidupan mereka ϐerjalan seperti biasa dengan penuh Kasih Sayang dan Cinta seperti awal mereka menikah.
Waktu berjalan selama 40 tahun, dan akhirnya sang isteri meninggal. Sang suami amat ϐersedih dan merasa kehilangan. dî pemakaman sang suami adalah orang terakhir yang keluar dari kuburan sang isteri.Ketika berjalan, datanglah seseorang menyapa,"pak, bapak mau kemana?" jawab sang suami," saya mau pulang".
Мendengar jawaban itu, orang tersebut ϐersedih ϑengan keadaan sang suami buta dan sendiri. Lalu orang tsb ϐerkata,"bukankah bapak buta dan sεƖαƖu ϐяgandengan ϑengan sang isteri? Gimana sekarang bapak mαů pulang sendiri?"
Jawab sang suami "sebenarnya saya †idak buta, selama 40 tahun saya HANYA ϐerpura-pura buta agar isteri saya †idak minder atau rendah diri kalau saya mengetahui bahwa dia sakit dan wajahnya ϐerubah menjadi menakutkan…..”


Bagaimana Kita Memperlakukan Diri Kita sebagai Orang Yang diundang?
Allah mempertaruhkan harga dirinya dengan mengundang kita.    Mengapa? “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16).
Allah merendahkan diriNya menjadi manusia agar kita tidak minder. Kita orang buangan, orang buta, orang lumpuh, orang miskin agar berani – tidak minder – punya kemampuan untuk membalas kasihNya. Inilah cinta yang sempurna.

Lalu bagaimana sikap kita agar sedikit banyak “memberi muka” kepada sang tuan rumah yang telah mengundang kita? Bukankah yang kerap terjadi justru kita tidak merasa sebagai orang buta, orang lumpuh dan orang miskin dihadapan Allah? Kita justru memberondong Dia dengan tuntutan-tuntutan permintaan dan keluh kesah yang tak habis-habisnya? Dengan pertanyaan-pertanyaan: mengapa terjadi ini dan mengapa begitu? Bahkan tak jarang pula kita mempertanyakan keadilan Allah? Kerap kita menuduhNya tidak adil hanya karena hal buruk yang menimpa kita dan hal baik yang menimpa orang lain? Kita kerap bertingkah seperti orang yang tak tahu diri. Cerita dari Anthony de Mello ini bisa menjadi cermin refleksi kita :

Pada suatu malam yang gelap, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sahabatnya menawarkan sebuah lentera minyak. Orang buta itu tertawa dan berkata: “Apa artinya pelita buat orang buta seperti saya? Bagiku siang atau malam sama saja." Dengan lembut temannya menjawab: “Gak apa-apa, pelita ini berguna agar orang lain melihat kamu dan tidak menabrakmu.” Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita minyak itu.
Dalam perjalanan, seseorang menabrak si buta. Dia pun mengomel: “Hei kamu yang punya mata, lihat-lihat dong, aku ini buta.” Tanpa menanggapi omelannya orang itu terus berlalu.
Tak berapa lama kemudian, seorang pejalan kaki yang lain menabrak si buta. Kali ini dia bertambah marah dan membentak orang itu: “Apa kamu buta? Aku membawa pelita bernyala supaya kamu melihat dan tidak menabrak saya.” Jawab orang itu: “Maaf kawan, apakah kamu tidak sadar bahwa pelitamu sudah padam?”
Sumber: Anthony de Mello, The Prayer of the Frog - Part 1



Bagaimana seharusnya bersikap dihadapanNya agar kita tidak seperti orang buta yang pelitanya telah padam? Gambaran orang buta dengan lentera ini bisa menjadi cermin bagi kita yang kerap menyebut diri orang baik, beragama dan aktif dengan kehidupan menggereja. Tak jarang orang-orang yang demikian ini jatuh dalam dosa – bahkan dalam dosa yang berat. Mengapa bisa terjadi?

Pertama-tama karena kita tidak menyadari siapa diri kita. Kita lupa bahwa sebenarnya kita ini orang yang buta. Kita bahkan tidak tahu saat lentera kita sudah padam. Kita tetap merasa sangat percaya diri dan menyalahkan orang lain. Kita lupa berintrospeksi diri. Saat teduh hanyalah saat dilihat orang lain, hanya saat “on stage”, hanya saat di gereja….. di waktu-waktu yang sangat pribadi, sendiri, kita justru kerap lupa membawa Tuhan.

Karenanya, yang perlu kita lakukan adalah senantiasa mengundang Dia dalam pergaulan akrab dengan kita. MenjadikanNya mata hati kita saat akan bertindak. Meminta petunjukNya bukan hanya saat ragu – di saat yang paling pasti pun kita melibatkan Dia. “Tuhan sebaiknya harus bagaimana?” Kita berpasrah namun kita tidak diam, kita pun aktif bertanya dan bertanya. Berdialog dengan Dia yang menjadi sahabat kita…… dan Bunda Maria menjadi teladan dan teman kita senantiasa berdialog dengan Yesus sang Putera.



31 Oktober 2011
Untuk wilayah St. Petrus

Tidak ada komentar: