Selasa, 06 Desember 2011

SPIRITUALITAS PEWARTA DALAM YOH 9 : 1-41


 YOHANES 9:1-41
9:1 Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya.
9:2 Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"
9:3 Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.
9:4 Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja.
9:5 Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia."
9:6 Setelah Ia mengatakan semuanya itu, Ia meludah ke tanah, dan mengaduk ludah-Nya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta tadi
9:7 dan berkata kepadanya: "Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam." Siloam artinya: "Yang diutus." Maka pergilah orang itu, ia membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek.
9:8 Tetapi tetangga-tetangganya dan mereka, yang dahulu mengenalnya sebagai pengemis, berkata: "Bukankah dia ini, yang selalu mengemis?"
9:9 Ada yang berkata: "Benar, dialah ini." Ada pula yang berkata: "Bukan, tetapi ia serupa dengan dia." Orang itu sendiri berkata: "Benar, akulah itu."
9:10 Kata mereka kepadanya: "Bagaimana matamu menjadi melek?"
9:11 Jawabnya: "Orang yang disebut Yesus itu mengaduk tanah, mengoleskannya pada mataku dan berkata kepadaku: Pergilah ke Siloam dan basuhlah dirimu. Lalu aku pergi dan setelah aku membasuh diriku, aku dapat melihat."
9:12 Lalu mereka berkata kepadanya: "Di manakah Dia?" Jawabnya: "Aku tidak tahu."
9:13 Lalu mereka membawa orang yang tadinya buta itu kepada orang-orang Farisi.
9:14 Adapun hari waktu Yesus mengaduk tanah dan memelekkan mata orang itu, adalah hari Sabat.
9:15 Karena itu orang-orang Farisi pun bertanya kepadanya, bagaimana matanya menjadi melek. Jawabnya: "Ia mengoleskan adukan tanah pada mataku, lalu aku membasuh diriku, dan sekarang aku dapat melihat."
9:16 Maka kata sebagian orang-orang Farisi itu: "Orang ini tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat." Sebagian pula berkata: "Bagaimanakah seorang berdosa dapat membuat mujizat yang demikian?" Maka timbullah pertentangan di antara mereka.
9:17 Lalu kata mereka pula kepada orang buta itu: "Dan engkau, apakah katamu tentang Dia, karena Ia telah memelekkan matamu?" Jawabnya: "Ia adalah seorang nabi."
9:18 Tetapi orang-orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa tadinya ia buta dan baru dapat melihat lagi, sampai mereka memanggil orang tuanya
9:19 dan bertanya kepada mereka: "Inikah anakmu, yang kamu katakan bahwa ia lahir buta? Kalau begitu bagaimanakah ia sekarang dapat melihat?"
9:20 Jawab orang tua itu: "Yang kami tahu ialah, bahwa dia ini anak kami dan bahwa ia lahir buta,
9:21 tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu, dan siapa yang memelekkan matanya, kami tidak tahu juga. Tanyakanlah kepadanya sendiri, ia sudah dewasa, ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri."
9:22 Orang tuanya berkata demikian, karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi, sebab orang-orang Yahudi itu telah sepakat bahwa setiap orang yang mengaku Dia sebagai Mesias, akan dikucilkan.
9:23 Itulah sebabnya maka orang tuanya berkata: "Ia telah dewasa, tanyakanlah kepadanya sendiri."
9:24 Lalu mereka memanggil sekali lagi orang yang tadinya buta itu dan berkata kepadanya: "Katakanlah kebenaran di hadapan Allah; kami tahu bahwa orang itu orang berdosa."
9:25 Jawabnya: "Apakah orang itu orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat."
9:26 Kata mereka kepadanya: "Apakah yang diperbuat-Nya padamu? Bagaimana Ia memelekkan matamu?"
9:27 Jawabnya: "Telah kukatakan kepadamu, dan kamu tidak mendengarkannya; mengapa kamu hendak mendengarkannya lagi? Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?"
9:28 Sambil mengejek mereka berkata kepadanya: "Engkau murid orang itu tetapi kami murid-murid Musa.
9:29 Kami tahu, bahwa Allah telah berfirman kepada Musa, tetapi tentang Dia itu kami tidak tahu dari mana Ia datang."
9:30 Jawab orang itu kepada mereka: "Aneh juga bahwa kamu tidak tahu dari mana Ia datang, sedangkan Ia telah memelekkan mataku.
9:31 Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya.
9:32 Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta.
9:33 Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa."
9:34 Jawab mereka: "Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa dan engkau hendak mengajar kami?" Lalu mereka mengusir dia ke luar.
9:35 Yesus mendengar bahwa ia telah diusir ke luar oleh mereka. Kemudian Ia bertemu dengan dia dan berkata: "Percayakah engkau kepada Anak Manusia?"
9:36 Jawabnya: "Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepada-Nya."
9:37 Kata Yesus kepadanya: "Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!"
9:38 Katanya: "Aku percaya, Tuhan!" Lalu ia sujud menyembah-Nya.
9:39 Kata Yesus: "Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta."
9:40 Kata-kata itu didengar oleh beberapa orang Farisi yang berada di situ dan mereka berkata kepada-Nya: "Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?"
9:41 Jawab Yesus kepada mereka: "Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu."

I. STRUKTUR TEKS :
1-7      : Orang Buta dan Yesus : Allah Yang Peduli
8-34   : Reaksi Orang-orang dan Pewartaan Si Buta  tentang Yesus!
    •  8 – 12 Reaksi Orang-orang terdekat : Bukankah dia ini pengemis? Benar, akulah itu!
    • 13 – 17 Reaksi Para Farisi :  "Dan engkau, apakah katamu tentang Dia, karena Ia telah memelekkan matamu?" "Ia adalah seorang nabi!"
    • 18 – 34 Reaksi Orang Tua – Kesaksian si Buta semakin jelas : Dibuang dari Komunitas!
35-38:  Anak Manusia "Aku percaya, Tuhan!" Betapa Indah RencanaMu!
39-41: Pesan Keselamatan : Aku datang supaya barangsiapa yang tidak melihat – INI AKU TUHAN, UTUSLAH AKU

II. KUPASAN DAN REFLEKSI
 
Bagian Pertama : Ayat 1-7         : Orang Buta dan Yesus : ALLAH YANG PEDULI
1. Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya.
2. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"
3. Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.
4. Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja.
5. Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia."
6. Setelah Ia mengatakan semuanya itu, Ia meludah ke tanah, dan mengaduk ludah-Nya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta tadi
7. dan berkata kepadanya: "Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam." Siloam artinya: "Yang diutus." Maka pergilah orang itu, ia membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek.

KUPASAN INJIL :
Kisah ini diawali dengan pertemuan Yesus dengan seseorang yang buta sejak lahirnya di dekat Bait Allah (bdk. Yoh 8:2). Dari ayat selanjutnya kita tahu bahwa rupanya orang buta ini berprofesi sebagai peminta-minta.  Yesus yang melihat dia. Mungkin Dia berhenti sejenak dan menatapnya…. Melihat Yesus menaruh perhatian para si buta,  para murid bertanya kepadaNya sebagai Rabi/Guru : “siapa yang salah sehingga orang ini jadi buta?”  
Pertanyaan ini sangat wajar karena bagi orang Yahudi: kekayaan sebagaimana kesehatan adalah berkat dan kemiskinan atau pun penyakit  adalah kutukan. Dan orang ini pengemis yang buta. Orang yang kurang beruntung, orang yang dikutuk Allah. Tapi terjadi sejak lahir. Jadi apa salah dia? Apakah ini karma dari orang tuanya?
Apa jawaban Yesus? Rupanya Yesus tidak membenarkan pandangan semacam itu. Dengan tegas Dia mengatakan bahwa  apa yang menimpa orang buta itu bukan karena dosa orang tuanya, ataupun dosa si orang itu – melainkan ada misteri yang hendak diungkap Allah karena kejadian itu…….
Melihat orang buta itu, Yesus bukan sekedar menyangkal bahwa kejadian itu terjadi karena kutukan dosa melainkan suatu undangan untuk berbuat. Yesus menegaskan bahwa melihat orang buta itu, KITA harus berbuat sesuatu, yaitu melaksanakan pekerjaan Dia yang mengutus Yesus. Yesus mengatakan KITA – bukan hanya AKU. KITA HARUS BERBUAT SESUATU. Melihat sesuatu – maka kita harus bereaksi dengan tepat. Bukan menyebar gossip melainkan berbuat sesuatu. Allah menghendaki semua orang diselamatkan (bdk……) dan untuk itulah Dia mengutus Yesus :………………
Dan pekerjaan Bapa itu harus dilaksanakan selama masih ada siang, selama masih ada terang, selama Yesus ada di dunia. Maksudnya bukan hanya saat Yesus hidup 2000 tahun lalu, melainkan selama Nama Yesus terus dihadirkan di dalam dunia ini hingga akhir jaman. KITA lah yang bertugas menghadirkan terang itu. Yesus adalah terang dunia – selama kita sebagai Gereja terus membawanya kepada dunia hingga kesudahannya! Inilah tugas kita sebagai pewarta, sebagai katekis. Bukan sedekar mewartakan dan mengajarkan melainkan terutama menghadirkan agar Dia senantiasa ada di dalam dunia.

Apa yang dilakukan Yesus untuk menyembuhkan orang buta itu? Suatu perbuatan yang sangat simbolis: meludah ke tanah, mengaduknya, mengoleskannya ke mata orang itu. St. Agustinus mengatakan bahwa mengaduk ludah dengan tanah mengacu kepada Firman telah menjadi manusia”, yaitu Yesus sendiri (St. Augustine, Tractate XLIV, Ch. IX, 2). Apa artinya? Artinya bahwa yang berkuasa menyelamatkan orang itu dari kebutaannya adalah Allah sendiri – Allah yang menjelma menjadi manusia. Allah sendirilah yang telah memelekkan mata orang itu. Hanya Allah yang memungkinkan kita bisa melihat Sang Terang. Allah menyimbolkan penjelmaannya menjadi manusia seperti air ludahNya yang dicampur dengan tanah. Menjadi satu dengan tanah sebagaimana manusia dibuat dari debu tanah.
Namun itu tidak cukup, perlu ada tindakan nyata dari sang buta untuk berbuat sesuatu bagi kesembuhannya. Maka Yesus menyuruhnya untuk membasuh dirinya di kolam Siloam. Sebelum orang itu bisa melihat, Yesus menyuruhnya untuk membasuh dirinya. Mengapa dia mau? Mengapa dia percaya? Dari tadi kita tidak melihat dan mendengar reaksi apa pun dari si buta. Mungkin dari tadi dia tertegun mendengarkan percakapan Yesus dan para muridNya. Dan dia percaya pada Dia yang oleh para murid disebut sebagai rabi itu….. dia percaya dan mempercayakan diri pada orang yang telah mengolesi matanya dengan air ludah dan tanah itu. Diperlukan tindakan iman dan kepasrahan agar mukjijat menjadi nyata!

Menarik bahwa Yesus menyuruhnya membasuh diri ke kolam Siloam. Kolam Siloam merupakan suatu tempat penampungan air untuk orang-orang yang tinggal di Yerusalem, yang dibangun oleh raja Hizkia (lih. 2Raj 20:20; 2Taw 32:30) pada abad ke-7 SM. Lebih lanjut dikatakan bahwa para nabi air dari kolam Siloam merupakan tanda dari berkat Allah (lih. Yes 8:6; Yes 22:11). Dan Secara harafiah arti kata Siloam adalah yang diutus….. lha! Dan setelah membasuh dirinya di sana DIA KEMBALI dengan mata yang telah terbuka. …….

REFLEKSI
Saya mengajak kita semua saat ini untuk masuk dalam episode yang kita renungkan. Bukan lagi sebagai penonton melainkan kita mencoba untuk turut serta di dalamnya. Kita mencoba mendudukkan diri sebagai si buta yang disembuhkan Yesus. Sekiranya kita ada dalam situasi seperti si buta itu……
Kita bayangkan hidup ini begitu gelap. Semua yang ada hanyalah kutukan, kesedihan, ditolak. Kita menjadi sampah masyarakat – sedangkan kita sendiri tidak tahu mengapa ini semua terjadi….. salah siapa? Salah saya apa sehingga hidup menjadi begitu suram? Rasanya lebih baik mati saja. Setiap hari yang bisa kita lakukan hanya keputus-asaan. Meminta-minta belas kasihan orang… hanya itu yang setiap hari bisa kita lakukan. Tak pernah terbayangkan bahwa kita akan bisa melihat. Bahkan kita tak tahu apa itu terang. Bagaimana rasanya bisa melihat.
Permasalahannya adalah banyak diantara kita yang merasa baik-baik saja. Dan memang demikian adanya. Hidup kita berjalan “biasa-biasa” saja, lancar-lancar saja, tak pernah ada suatu “revolusi” besar yang menggoncangkan hidup kita. Kita tidak pernah merasa diri sebagai orang yang dijamah Tuhan. Kita bukanlah pendosa besar yang perlu disembuhkan oleh Yesus……..Benarkan demikian? Seorang pewarta haruslah seorang perenung yang handal. Merenung berarti masuk dalam diri sendiri, menyadari siapa diri kita dan roh Allah yang ada dalam diri kita. Bertemu Allah sang Juru Selamat dalam diri kita sendiri.

Mengapa kita perlu mendudukan diri seperti si buta? Kita kerap kali lupa bahwa kita pun terlahir dalam keadaan cacat, setidaknya cacat Rohani. Kita senantiasa membawa serta dosa asal yang diturunkan dari Bapa Adam dan Ibu Hawa. Karena dosa asal itu, tanpa perlu belajar kita dengan mudah cenderung berbuat dosa. Jatuh bangun dalam dosa seolah menjadi hal yang biasa bagi kita. Bahkan saking biasanya, kita bahkan bangga dengan dosa-dosa kita. Begitu terbiasanya kita berkubang dalam dosa, kita seolah menyalahkan Allah dengan mengatakan bahwa dosa adalah kodrat manusia. BUKAN! Kodrat dan panggilan manusia pertama-tama adalah menjadi suci, menjadi serupa dengan Allah.
Dan seperti si buta itu, kita hanya bisa duduk meminta-minta. Hingga suatu hari Allah bertindak. Mengangkat kita dari lumpur dosa, dari kegelapan hati kita. Dalam pembabtisan, kita diantar pada Sang Terang Sejati. Dosa asal yang mematikan itu dipakai Allah untuk mendatangkan Penebus. Dalam madah malam paskah dengan indah dinyanyikan: “…o sungguh indah dosa Adam, karena mendatangkan Penebus yang seagung dan semulia ini…..”
Dan karena kita pun terlahir buta Rohani, maka kisah orang buta ini pun layak menjadi kisah masing-masing dari kita……… Kita semua pasti punya pengalaman iman, pengalaman Rohani diselamatkan Allah. Bukan karena daya upaya kita, melainkan karena Allah sendiri yang bertindak menyelamatkan kita, mengangkat kita dari lumpur dosa. Allah yang kita punya adalah Allah yang peduli pada kehidupan kita. Kita pun merasa “ditangkap” secara menakjubkan. Tiba-tiba saja kita mampu melihat terang, kita mampu melihat harapan. Kita dimampukan memperoleh masa depan yang cerah karena kita telah disembuhkan dari kebutaan kita.

Mari kita gali, kita sadari, kita renungkan dalam kehidupan kita, apa tindakan Allah itu. Kita jadikan suatu momentum merasakan kasih Allah yang luar biasa itu. Inilah Spiritualitas. Menjadi pewarta berarti pernah mengalami kasih karunia Allah yang luar biasa dalam hidup kita. Mengalami dan merasakannya.
Allah yang telah menjadi manusia itu membuat kita mampu untuk kembali melihat terang. Membuat kebutaan dosa asal kita dihapuskan. Dari diri kita hanya dibutuhkan tindakan untuk percaya dan bergegas memberi diri untuk dibabtis. Babtis merupakan tanda ungkapan kepercayaan kita pada Allah. Melalui Pembaptisan kita dipersatukan dengan Yesus “Yang Diutus oleh Allah Bapa”, dan kemudian kitapun kemudian diutus oleh Allah untuk hidup seturut dengan panggilan kita sebagai anak-anak angkat Allah di dalam Kristus. Dan menakjubkan bahwa orang yang buta sejak lahir itu akhirnya menjadi seorang pewarta. Seorang katekis (seperti kita)…. Maka kita pun bisa belajar atas apa yang terjadi dalam diri orang buta itu….. yang perlu digarisbawahi bahwa semuanya ini terjadi bukan karena doa-doa dan kerja keras kita, melainkan terutama karena inisiatif Allah – belaskasih Allah yang mendatangi kita. Allah kita adalah Allah yang peduli!


  Bagian Kedua Ayat 8-34: Reaksi Orang-orang dan Pewartaan Si Buta  tentang Yesus!
Ayat 8 – 34 ini merupakan reaksi orang-orang atas kesembuhan si buta sekaligus kesaksian si buta atas perbuatan Yesus terhadapnya. Pewartaan si Buta ini mencerminkan perjalanan iman kita. Tidak selamanya mulus, kadang penuh ejekan dan jatuh bangun. Namun kepasrahan sudah bulat, kita ingin hidup seperti apa yang diinginkan Allah bagi kita. Mengapa? Karena Ia telah terlebih dahulu mempertaruhkan DiriNya bagi kita.

 Ayat 8 – 12 Reaksi Orang-orang terdekat : Bukankah dia ini pengemis? Benar, akulah itu!
8 Tetapi tetangga-tetangganya dan mereka, yang dahulu mengenalnya sebagai pengemis, berkata: "Bukankah dia ini, yang selalu mengemis?"
9 Ada yang berkata: "Benar, dialah ini." Ada pula yang berkata: "Bukan, tetapi ia serupa dengan dia." Orang itu sendiri berkata: "Benar, akulah itu."
10 Kata mereka kepadanya: "Bagaimana matamu menjadi melek?"
11 Jawabnya: "Orang yang disebut Yesus itu mengaduk tanah, mengoleskannya pada mataku dan berkata kepadaku: Pergilah ke Siloam dan basuhlah dirimu. Lalu aku pergi dan setelah aku membasuh diriku, aku dapat melihat."
12 Lalu mereka berkata kepadanya: "Di manakah Dia?" Jawabnya: "Aku tidak tahu."

KUPASAN INJIL
Apa yang terjadi jika ada sesorang yang tadinya buta tiba-tiba menjadi sembuh? Pasti heboh sekali! Pertama-tama yang heboh adalah orang-orang terdekat, yaitu anggota keluarga, tetangga-tetangga, komunitas setempat. Demikian juga yang terjadi pada diri si buta. Dengan heran (serta sangsi) para tetangga berkata bukankan dia ini yang selalu mengemis?(ay. 8). Ada yang membenarkan – namun ada pula yang menyangsikan. Mereka sangsi karena memang ada perubahan yang tak masuk akal yang terjadi pada diri si pengemis buta.
Kesangsian dan kecurigaan para tetangga ini sesungguhnya sangat melukai, mengorek luka lama. Kata lain dari ungkapan ini adalah bukankah dia ini si buta yang terkutuk? Masa sih dia bisa berubah? Tidak masuk akal! Mungkin hanya orang yang mirip dengan dia. Stempel sosial yang telah melekat erat susah sekali dihapus tanpa menimbulkan luka yang baru.

Apa reaksi si buta? Menarik sekali bahwa orang buta ini begitu bersukacita akan perubahan yang dialaminya, dia dengan bersukacita menjawab, “Ya, benar akulah itu” (ay. 9).  Dan pertanyaan selanjutnya sangat mudah ditebak: “bagaimana itu terjadi?” Dan si buta menceritakan pengalamannya bersama Yesus. Apa yang telah Yesus lakukan atas dirinya hingga ia pun bisa melihat.
Dan masih dengan nada kurang percaya, mereka pun bertanya “dimana Dia?”. Seolah bukti meleknya si buta masih belum cukup – sekarang mereka bertanya dimana Dia yang telah menyembuhkannya. Dan dengan lugu si Buta pun menjawab “tidak tahu”. Pengenalannya atas Yesus memang masih sangat terbatas. Ia pun masih terkesima dalam euphoria matanya yang telah bisa melihat. Ia hanya merasakan dan mengetahui bahwa karena Yesuslah dia bisa melihat.

REFLEKSI
Kadang masa lalu kita memang tidak cemerlang. Banyak diantara kita yang harus berani jujur pernah hidup dalam gelimang dosa. Namun kita juga mesti yakin bahwa itu masa lalu. Saat kita belum dijamah oleh Tuhan. Memang tidak mudah. Stigma masa lalu kerap kali menjadi senjata ampuh bagi orang lain maupun diri kita sendiri untuk berhenti di tempat. Diam. Takut menyaksikan kebesaran dan kuasa Tuhan yang pernah terjadi atas diri kita. Dengan diam itu berarti kita tidak berkembang, menyia-siakan karya Tuhan yang telah terjadi atas diri kita.

Menjadi pewarta memang harus berani. Berani untuk menghadapi kenyataan masa lalu kita. Bahkan bukan hanya itu. Meski kita telah dijamah Tuhan, kita pun masih kerap lagi dan lagi jatuh dalam dosa. Bukan hanya orang lain, bahkan diri kita sendiri pun kerap kali menuding muka kita sendiri bahwa kita ini tidak layak, tidak pantas….. sudahlah gak usah banyak repot, banyak omong, sok suci, sok benar, kakean gaya, sok paling beriman……akhirnya kita menyerah……inilah tipu daya setan agar kita menjadi seperti orang yang menerima satu talenta dan menguburkannya di tanah…… (bdk Mat 25:18)
Yang lebih menyedihkan tudingan-tudingan negative justru keluar dari mulut para orang yang dekat dengan kita. Orang-orang yang seharusnya justru mensupport kita. Dan kadang ini terjadi dibelakang kita, dalam sindirian-sindiran, dalam kutipan-kutipan status FB, dll. Betapa menyakitkan jika kita dilukai kembali oleh mereka yang seharusnya menyembuhkan kita, mendukung kita, memberi semangat pada kita……

Menjadi pewarta memang sulit.  Saat  jatuh harus berani bangkit, berani dikira sok suci dan lebih beriman, berani mengkoreksi diri…… berani pula mengakui bahwa kita memang telah bertobat. Ya benar, ini aku yang sekarang! Apakah dengan bertobat lalu segalanya jadi beres? Jadi suci? Jadi penuh? Tidak! Namun percayalah kita telah punya modal besar kearah sana. Akan ada banyak ejekan, cemooh bahwa yang kita lakukan ini hanya sementara. Nanti pasti jatuh lagi! Huh! Ada banyak cemooh yang bisa melemahkan kita…… Namun haruskah kita mundur dan menyerah? Berhenti menyaksikan kasih Tuhan yang telah kita rasakan? Tidak! Kita harus terus berjalan. Tidak peduli hanya satu talenta yang dipercayakan kepada kita – semaksimal mungkin kita mengembangkannya…. Urusan apakah benar motivasi kita cari muka, cari wah dan lain sebagainya bukanlah urusan kita…. Itu menjadi pertanggungjawaban kita pada Allah…..
Kita juga dapat mengatakan hal yang sama, bahwa kita yang memang telah lama buta dan tinggal dalam kegelapan telah dijamah oleh Kristus dan memperoleh terang. Dan di saat kita jatuh lagi… kita harus berani bangkit lagi. Dengan keyakinan teguh, bersama st. Paulus kita menghayati bahwa …… bukan yang…. Namun kita juga yakin bahwa dimana dosa bertambah banyak……. Ini tidak berarti kita terus berbuat dosa melainkan , kesaksian kita akan menjadi lebih efektif kalau kita dapat membuktikan bahwa kita memang dapat melihat, kita berjuang untuk hidup kudus, hidup sebagai anak-anak terang – meski kadang masih saja tersandung lagi…..

Yang mesti kita pegang adalah pengalaman dan pengenalan akan  Yesus yang telah membebaskan kita, haruslah senantiasa kita ingat. Dengan demikian, kita juga dapat berkata seperti yang dikatakan oleh orang buta yang telah disembuhkan itu, Orang yang disebut Yesus itu mengaduk tanah, mengoleskannya pada mataku dan berkata kepadaku: Pergilah ke Siloam dan basuhlah dirimu. Lalu aku pergi dan setelah aku membasuh diriku, aku dapat melihat” (ay. 11).
Memang apa yang dilakukan Tuhan atas diri kita bukan berarti membuat kita sempurna, suci dan tahu segalanya. Seperti orang buta itu menjawab tidak tahu ketika para tetangga bertanya Dimanakah Dia?(ay. 12). Kadang kita pun seolah kehilangan arah dan tak tahu dimana Yesus. Memang harus diakui bahwa pengenalan kita akan Yesus tidaklah terjadi dalam semalam dan semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu dan usaha terus menerus untuk senantiasa menyadari “di mana Dia”. Jangan menyerah. Bukan berarti ketidak tahuan itu membuat kita malah kendor – justru sebaliknya. Kita harus semakin bersemangat dan menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan ketidaktahuan dalam diri kita. Tak perlu harus menunggu bejana itu penuh untuk bisa menjadi pewarta……sekeping talenta pun harus kita pertanggungjawabkan perkembangannya.

Ayat 13 – 17 Reaksi Para Farisi :  "Dan engkau, apakah katamu tentang Dia, karena Ia telah memelekkan matamu?" "Ia adalah seorang nabi!"

13 Lalu mereka membawa orang yang tadinya buta itu kepada orang-orang Farisi.
14 Adapun hari waktu Yesus mengaduk tanah dan memelekkan mata orang itu, adalah hari Sabat.
15 Karena itu orang-orang Farisi pun bertanya kepadanya, bagaimana matanya menjadi melek. Jawabnya: "Ia mengoleskan adukan tanah pada mataku, lalu aku membasuh diriku, dan sekarang aku dapat melihat."
16 Maka kata sebagian orang-orang Farisi itu: "Orang ini tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat." Sebagian pula berkata: "Bagaimanakah seorang berdosa dapat membuat mujizat yang demikian?" Maka timbullah pertentangan di antara mereka.
17 Lalu kata mereka pula kepada orang buta itu: "Dan engkau, apakah katamu tentang Dia, karena Ia telah memelekkan matamu?" Jawabnya: "Ia adalah seorang nabi."

KUPASAN INJIL
Para tetangga itu tidak puas. Ada yang tidak beres dengan mukjijat itu karena mukjijat itu terjadi di hari Sabat. Karena itu, maksud pertanyaan mereka dengan :”dimana Yesus” bukan untuk mendatangiNya dan menyembah Dia, melainkan sebaliknya hendak mencari kesalahan Yesus. Pada hari Sabat, seseorang dilarang untuk melakukan pekerjaan tangan. Ada deretan panjang daftar apa yang tidak boleh dilakukan di hari Sabat – termasuk mengaduk tanah dengan tangan. Karena mereka tidak tahu di mana Yesus – si orang yang tadinya buta ini digelandang menghadap para pemimpin agama untuk diinterogasi.

Pertanyaan yang sama keluar dari mulut para Farisi: “bagaimana matanya menjadi melek”. Dan jawaban yang sama disampaikan oleh si orang yang tadinya buta. Dan pertengkaran / diskusi yang ramai terjadi diantara mereka: Yesus memang menjadi tanda perbantahan bagi banyak orang. Kalau Dia dari Allah, mengapa Ia tidak memelihara Sabat – kalau Ia tidak dari Allah, bagaimana mungkin IA bisa memelekkan orang buta.
Tindakan memelekkan orang buta menjadi salah satu privelege mereka yang dari Allah, khususnya Mesias. Ingat jawaban Yesus kepada utusan Yohanes Pembabtis yang mengutip nubuat Yesaya tentang tanda-tanda kedatangan Mesias.

Akhirnya, setelah cukup panas dan berbelit, mereka kembali kepada si saksi mata : menurut kamu, siapakah Dia? Dan orang yang tadinya buta itu menjawab: Ia adalah seorang Nabi!

REFLEKSI

Ada peningkatan jawaban tentang Yesus dari orang yang tadinya buta. Dari tidak tahu menjadi suatu pernyataan yang cukup berani saat itu: Yesus adalah nabi. Seorang nabi adalah orang yang mewartakan kebenaran, yaitu kebenaran Allah. Pernyataan ini cukup berani karena telah lama bangsa Israel tidak lagi mempunyai nabi. Bagi mereka, nabi terakhir adalah Maleakhi. Dan setelah itu bangsa Israel masuk dalam jaman kegelapan tanpa nabi utusan Allah dan menantikan Mesias. Mengacu pada nubuat Yesaya dan jawaban Yesus kepada Yohanes Pembabtis di atas, jawaban orang yang tadinya buta ini secara “sumir” telah mengacu pada pengakuan bahwa yang menyembuhkan dia adalah Mesias yang ditungu-tunggu.

Seorang pewarta adalah seorang yang mau secara terus menerus meningkatkan diri. Belajar dan belajar meningkatkan pemahaman dan pengetahuan iman. Mendudukan diri sebagai murid yang duduk dikaki Sang Guru. Tidak ada istilah “telah penuh”.
Pertanyaan selalu mengenai Kristus. Sebagaimana pertanyaan Yesus kepada para murid, demikian pula pada akhirnya pertanyaan orang-orang lain kepada kita: menurut kamu siapakah Dia? Pertanyaan yang membutuhkan jawaban personal – bukan intelektual. Jawaban yang timbul dari pengalaman akan Dia. Sudahkah kita menggali pengalaman itu dalam diri kita? Siapakah Dia menurut kita? Sebenarnya hanya itulah yang seharusnya kita wartakan: siapa Dia menurut saya!

Menarik, senantiasa si buta menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi dengan apa yang dilakukan Yesus atas dirinya! Bukan yang lain. Pengalaman iman akan Yesus menjadi pegangan dalam hidup. Hal yang sama terlihat dalam hidup bapa Abraham. Mengapa Abraham sampai bersedia mematuhi perintah Allah untuk menyembelih anakNya? Menurut saya, karena Abraham tidaklah baru saja bergaul dengan Allah. Berbagai-bagai pengalaman iman telah ia lalui bersama Allah. Sejak keluar dari Ur, saat menghadapi para musuh di tengah pengembaraan, saat Allah mengadakan perjanjian dengan dirinya, saat Sara yang mandul akhirnya mengandung, dan berbagai-bagai pengalaman bersama Allah membuatnya yakin: bahwa dibalik semua yang tampaknya jahat dan kejam itu, Allah selalu baik. Allah selalu menepati janjiNya. Pengalaman iman….. ini lebih penting daripada segudang pengetahuan iman…..


Ayat 18 – 34 Reaksi Orang Tua  – Kesaksian si Buta semakin jelas : Dibuang dari Komunitas!

18 Tetapi orang-orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa tadinya ia buta dan baru dapat melihat lagi, sampai mereka memanggil orang tuanya
19 dan bertanya kepada mereka: "Inikah anakmu, yang kamu katakan bahwa ia lahir buta? Kalau begitu bagaimanakah ia sekarang dapat melihat?"
20 Jawab orang tua itu: "Yang kami tahu ialah, bahwa dia ini anak kami dan bahwa ia lahir buta,
21 tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu, dan siapa yang memelekkan matanya, kami tidak tahu juga. Tanyakanlah kepadanya sendiri, ia sudah dewasa, ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri."
22 Orang tuanya berkata demikian, karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi, sebab orang-orang Yahudi itu telah sepakat bahwa setiap orang yang mengaku Dia sebagai Mesias, akan dikucilkan.
23 Itulah sebabnya maka orang tuanya berkata: "Ia telah dewasa, tanyakanlah kepadanya sendiri."
24 Lalu mereka memanggil sekali lagi orang yang tadinya buta itu dan berkata kepadanya: "Katakanlah kebenaran di hadapan Allah; kami tahu bahwa orang itu orang berdosa."
25 Jawabnya: "Apakah orang itu orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat."
26 Kata mereka kepadanya: "Apakah yang diperbuat-Nya padamu? Bagaimana Ia memelekkan matamu?"
27 Jawabnya: "Telah kukatakan kepadamu, dan kamu tidak mendengarkannya; mengapa kamu hendak mendengarkannya lagi? Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?"
28 Sambil mengejek mereka berkata kepadanya: "Engkau murid orang itu tetapi kami murid-murid Musa.
29 Kami tahu, bahwa Allah telah berfirman kepada Musa, tetapi tentang Dia itu kami tidak tahu dari mana Ia datang."
30 Jawab orang itu kepada mereka: "Aneh juga bahwa kamu tidak tahu dari mana Ia datang, sedangkan Ia telah memelekkan mataku.
31 Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya.
32 Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta.
33 Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa."
34 Jawab mereka: "Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa dan engkau hendak mengajar kami?" Lalu mereka mengusir dia ke luar.


KUPASAN INJIL
Bagian ini merupakan bagian yang sangat tegang. Orang-orang akhirnya menyangsikan apakah dulu ia memang buta. Supaya jelas, dipanggil orang tuanya. Dan orang tuanya memberikan kesaksian bahwa memang ia terlahir buta. Mengenai bagaimana ia sembuh – orang tuanya angkat tangan. Tidak tahu. Sebenarnya mereka tahu apa yang terjadi, namun mereka takut mengatakan kebenaran karena akan dikucilkan. Namun orang yang tadinya buta itu tetap kukuh dalam pendiriannya bahwa yang menyembuhkan dirinya adalah orang yang datang dari Allah. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Bahkan semakin dia ditekan, semakin jelas pula pengakuannya bahwa yang menyembuhkan dia adalah Mesias. Dan fatal akibatnya bagi dia: dibuang dari komunitasnya.


REFLEKSI

Dalam bagian perikop ini, terlihat bahwa orang buta yang telah disembuhkan itu harus menghadapi terus dan lagi pertanyaan-pertanyaan dan tuduhan-tuduhan dari orang-orang Farisi. Demikian juga dengan kita: pertanyaan-pertanyaan dan ujian-ujian iman ini akan terus berlangsung selama hidup kita. Kita harus mempertanggungjawabkan iman yang kita bukan hanya dengan perkataan, namun juga dengan perbuatan, dan juga dengan segala resikonya. Orang buta yang disembuhkan tahu dan mengalami kesembuhan dari Yesus. Dan keyakinan ini begitu dalam terpatri di dalam hatinya,
Ia telah dewasa, tanyakanlah padanya sendiri (ay. 23). Iman pribadi inilah yang dituntut oleh Kristus kepada setiap orang yang telah menerima Kristus, sama seperti ketika Kristus bertanya kepada Petrus Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini? (Mat 16:15). Pengakuan iman yang pribadi seperti ini merupakan iman yang dewasa, yang akan senantiasa dimurnikan secara terus-menerus.

Akhirnya, interograsi dari orang-orang Farisi tersebut menyebabkan orang buta yang telah melihat itu diusir keluar. Inilah yang ditakutkan oleh orang tua si buta. Diusir keluar bukanlah hanya sekedar diusir dari ruangan, namun diusir dari komunitas, atau dengan kata lain di-ekskomunikasi. Orang yang di-ekskomunikasi, yang di keluarkan dari komunitas Yahudi, dianggap sebagai orang asing, tidak boleh masuk ke dalam sinagoga. Pengucilan atau ekskomunikasi ini dapat berlangsung sementara, seperti 30 hari dan dapat diperpanjang sampai 60 hari atau 90 hari. Kalau setelah masa ekskomunikasi ini berakhir dan orang tersebut tidak bertobat, maka dia akan dijatuhi hukuman yang lebih serius. Di depan pengadilan, mereka akan dijatuhi kutuk (malediction). Dan tahap ketiga adalah mengucilkan orang tersebut untuk selamanya. Betapa mengerikan!
Dalam percakapan dengan orang-orang Farisi, orang buta yang telah disembuhkan mengetahui resiko pengusiran ini, namun dia tidak takut akan resiko yang harus ditanggungnya. Bandingkan dengan sikap orang tuanya yang takut dikucilkan, sehingga tidak berani untuk memberitakan kebenaran.
Mengapa ia menjadi begitu berani? Karena apa yang telah dilakukan Yesus pada dirinya dirasakannya lebih besar dari apapun juga yang layak ditakutkan. Mata yang tadinya bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana itu cahaya, kini mampu berbinar-binar melihat dengan jelas. Semua yang tadinya serba hitam – kini menjadi penuh warna. Apalagi yang harus ditakutkan? Justru desakan-desakan dan ketidakpercayaan orang-orang Farisi semakin memantapkan imannya akan Yesus. Pengenalan akan Yesus menjadi semakin personal (“personal faith” / iman pribadi). Karenanya, orang yang tadinya buta ini pun akhirnya berani mengorbankan kepentingan pribadinya untuk diterima dalam komunitas demi mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Ia telah meletakkan hidupnya ke hadapan Yesus.
Apakah kita telah sepenuhnya meletakkan hidup kita di altarNya? Mengapa? Karena kita tahu Dia telah lebih dahulu berkorban untuk kita. Bukan dengan tebusan harta benda melainkan dengan darahNya sendiri.

SEPERTI YANG KAU INGINI……. http://www.youtube.com/watch?feature=player_detailpage&v=pwnSOrSl0Zk

  • Bagian Ketiga Ayat 35-37:  "Aku percaya, Tuhan!" Betapa Indah RencanaMu!
35 Yesus mendengar bahwa ia telah diusir ke luar oleh mereka. Kemudian Ia bertemu dengan dia dan berkata: "Percayakah engkau kepada Anak Manusia?"
36 Jawabnya: "Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepada-Nya."
37 Kata Yesus kepadanya: "Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!"
38 Katanya: Lalu ia sujud menyembah-Nya.

KUPASAN INJIL
Mungkin peristiwa kesembuhan dan pengusiran orang buta itu dari komunitas Yahudi diketahui oleh banyak orang, termasuk oleh Yesus (ay. 35). Setelah ditinggalkan dan diusir manusia, kembali Tuhan menjumpai orang yang tadinya buta itu. Rupanya Yesus tahu, Yesus mendengar apa yang selama ini terjadi padanya. Yesus menaruh perhatian dan sekali lagi berinisiatif menjumpainya.
Perjumpaan kali ini sangat berbeda dibandingkan perjumpaan pertama. Setelah kebutaan fisiknya disembuhkan – kali ini kebutaan rohaninya dicerahkan. Apa yang selama ini menjadi ketidaktahuan orang ini menjadi nyata berkat pertemuan denganNya. Bukan hanya “melihat” Dia melainkan juga “berkata-kata”; bertukar pikiran, berkomunikasi dua arah dengan dirinya. Dan perjumpaan ini Yesus bertanya Percayakah engkau kepada Anak Manusia?“. Anak Manusia adalah gelar dari Sang Mesias (lih. Dan 7:13). Bagi Yesus, kesembuhan fisik dari orang buta tersebut tidaklah cukup. Inilah sebabnya, Yesus tidak bertanya apa yang akan dilakukan oleh orang buta itu setelah di-ekskomunikasi dari komunitas Yahudi, melainkan Yesus bertanya “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” Tidak ada keraguan dalam diri orang buta tersebut bahwa Anak Manusia adalah merujuk kepada Sang Mesias, sehingga dia berkata “Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepada-Nya” (ay. 36). Dan jawaban Yesus membuatnya tersungkur menyembahNya: “Aku Percaya Tuhan!”
Kalau pada pertemuan pertama Yesus memberikan terang bagi kebutaan mata orang itu, maka pada pertemuan ke dua, Yesus memberikan terang spiritual, sehingga orang buta itu dapat memperoleh terang keselamatan. Dan dengan penuh kasih Yesus memberikan jati diri-Nya kepada orang buta tersebut “Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!” (Yoh 9:37). Mendengar perkataan Yesus, orang buta itu bersembah sujud dan berkata “Aku percaya, Tuhan!” (ay. 38). Di sinilah orang buta tersebut melihat terang Sorgawi, terang yang membawanya kepada keselamatan kekal.


REFLEKSI
Bagi orang Yahudi di jaman Yesus, istilah Anak Manusia adalah istilah yang tidak asing untuk menunjuk pada Mesias karena istilah itu dengan sangat jelas tertulis dalam Daniel 7:13. Dan sebagaimana yang terjadi pada diri Petrus, pengenalan orang yang tadinya buta itu akhirnya berpuncak pada pengakuan pribadi bahwa Yesus adalah Mesias. Mesias artinya Yang Diurapi – Sang Juru Selamat. Dan si buta tersungkur menyembah Dia.
Menjadi pewarta berarti mengusahakan terus menerus penghayatan iman akan Yesus sebagai Mesias, sebagai Penyelamat. Pertama-tama bukan dalam pengakuan umum bersama melainkan dalam perjumpaan pribadi dengan Yesus sendiri. Yesus senantiasa mendengar pergulatan kita. Dan dengan RahmatNya, Ia akan menganugerahkan iman itu kepada kita – asal kita selalu menyediakan waktu dekat dengan Dia.
Perjumpaan pribadi dengan Yesus ini merupakan puncak pengalaman iman yang tak terkatakan. Apa yang terjadi dalam perjumpaan itu adalah kenyataan bukan ilusi – karena kenyataan membawa perubahan sedangkan ilusi menghasilkan khayalan dan kesesatan. Perjumpaan dengan Yesus bukan hanya membuat si buta jadi melihat, melainkan juga membuat dia menjadi  kuat menghadapi serangan dan cercaan. Kerap kali kita mendengar ada orang yang mampu “berbicara dan mendengar” suara Allah secara fisik. Benar atau khayalan? Tidak tahu!. Tapi pohon selalu dilihat dari buahnya. Dan buah-buah Rohani kerap kali sangat tidak tampak. Bukan sekedar dari apa yang kelihatan dari luar bahwa seseorang begitu bersemangat, suka menolong, menyumbang, dsb…. Perlu lebih cermat dilihat lebih dalam. Oleh siapa? Diri orang itu sendiri tentunya, apakah selama ini dia tidak sedang menipu dirinya sendiri?

Menjadi pewarta berarti menjadi media untuk menyampaikan isi hati Allah kepada umat. Dan bagaimana kita bisa menyampaikan isi hatiNya jika kita tidak bergaul akrap dengan Dia? Bagaimana menyampaikan isi hatiNya jika kita tidak pernah berbicara dari hati ke hati dengan Dia?  
Menjadi pewarta berbeda dengan makelar (broker). Baca buku, belajar dsb sebenarnya bukan sebagai bahan membuat renungan - melainkan sebagai makanan rohani (bacaan rohani) kita. Satu-satunya jalan untuk membuat dan menyiapkan renungan adalah dengan bergumul, bergaul akrab dengan Allah. Bukan transfer ilmu dari buku, dari khotbah-khotbah orang lain melainkan menyampaikan isi hati Allah sebagaimana kita dengar dari Dia.  Bergaul akrab dengan Allah adalah seperti digambarkan dalam istilah "duduk dibawah kaki Allah", seperti halnya Musa (Ul 33:3) dan Maria. Hanya dengan demikianlah kita memberikan apa yang fresh bagi umat Allah – yang keluar dari perbendaharaan kita sendiri, sesuatu yang telah kita hayati sendiri……. Kita tak pernah tahu rencana Tuhan bagi kita – namun kita percaya, rencana Tuhan Indah bagi dia yang dekat dengan Dia.




Bagian Keempat Ayat 39-41: Aku datang supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta. – INI AKU TUHAN, UTUSLAH AKU
39 Kata Yesus: "Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi,
40 Kata-kata itu didengar oleh beberapa orang Farisi yang berada di situ dan mereka berkata kepada-Nya: "Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?"
41 Jawab Yesus kepada mereka: "Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu."


KUPASAN INJIL
Untuk memperoleh iman seperti orang buta tersebut, diperlukan suatu kondisi, yaitu seseorang harus menyadari bahwa dia adalah seorang yang buta. Hal ini berarti, iman yang benar seperti ini hanya dapat dicapai ketika seseorang menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa dirinya adalah seorang yang berdosa.

Dan Yesus menegaskan hal ini dengan berkata Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat (ay. 39). Kerendahan hati membuat rahmat Tuhan mengalir secara bebas dalam kehidupan seseorang, sehingga pada akhirnya rahmat Tuhan ini menuntun orang tersebut kepada keselamatan. Bahkan dapat disimpulkan bahwa tanpa kerendahan hati, seseorang tidak akan mungkin memperoleh keselamatan, seperti yang ditegaskan oleh Yesus …supaya barangsiapa melihat menjadi buta.” Orang yang buta namun tidak menyadari kebutaannya – seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang Farisi (ay. 40) – adalah sungguh tragis dan ini merupakan pernyataan kesombongan mereka. Kesombongan inilah yang menjadi penghalang bagi rahmat Tuhan untuk mengubah kehidupan mereka. Oleh karena itu, hidup mereka akan terus berada di dalam kegelapan.
Siapa yang dipercaya banyak, dituntut lebih banyak.

Orang yang tidak buta seharusnya tidak tersandung dan tidak menjadi batu sandungan, serta dia tetap berjalan dalam terang. Maka, orang percaya yang telah melihat, namun tetap hidup dalam kegelapan, lebih besar dosanya daripada orang yang buta. Yesus berkata, Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu (ay. 41).

Orang-orang Farisi yang mempunyai pengetahuan yang begitu luas, terpelajar, dan tahu tentang tanda-tanda dari Sang Mesias, tetapi mereka tidak mau percaya akan segala kenyataan yang terbentang di depan mata, bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan. Padahal sesungguhnya, mereka tidak mempunyai alasan untuk tidak percaya. Maka, ketidak percayaan mereka ini disebabkan oleh kekerasan hati mereka. Yesus menegaskan hal ini dengan berkata “Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.” (Luk 12:48).

REFLEKSI PENUTUP
Dari perikop ini, maka kita melihat perjalanan iman dari orang buta, yang sebenarnya merupakan refleksi dari perjalanan iman kita. Kita yang telah disembuhkan dari kegelapan – karena dosa asal – lewat Sakramen Baptis, dituntut untuk terus hidup dalam terang. Dan kita semua juga diundang oleh Kristus untuk menjadi duta atau utusan Kristus (lih. 2 Kor 5:20) untuk mewartakan kabar gembira sampai pada kedatangan Kristus yang kedua.


Kita dituntut untuk menyebarkan terang Kristus kepada semua orang, sehingga semua orang juga dapat sampai kepada sumber Terang, yaitu Kristus. Di manapun tingkat spiritualitas kita, kita sekali lagi diingatkan bahwa kita harus senantiasa kembali kepada sikap kerendahan hati. Kerendahan hati inilah yang memungkin seseorang yang berada dalam kegelapan dapat melihat terang, dan orang yang berada dalam terang tidak terjatuh dalam kegelapan serta semakin memancarkan terang Kristus. Mari kita semua memegang teguh apa yang Yesus katakan “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” (Yoh 8:12).
Pertanyaannya sekarang adalah maukah kita diutus? Apa jawaban kita saat Tuhan menunjuk kita menjadi pewartaNya? Apakah kita hendak berdalih seperti  Musa?  Kiast tahu dalam Keluaran 3 dan 4 betapa Musa berkali-kali mencoba mengelak dari perintah Tuhan. Atau bahkan kita hendak lari seperti Yunus hingga dikembalikan Allah lewat perut ikan? Atau kita berani menangkap perintah Allah seperti Yesaya (Yes 6:8 Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!)

Dosa kita telah diampuniNya, kesalahan kita telah dihapuskan dengan darahNya. Kita telah ditebusNya. Mari kita sambut undanganNya untuk mewartakan Kabar Gembira. Sebagai penutup, kembali saya kutip dari sebuah status FB :

Pikirkanlah ini...:
 Yakub seorang penipu..
 Petrus seorang pemarah..
 Daud pernah selingkuh..
 Nuh pemabuk..
 Yunus pernah lari dari Tuhan..
 Paulus seorang pembunuh..
 Gideon yg merasa kerdil..
 Martha penakut..
 Thomas seorang yg ragu..
 Sara tidak sabaran..
 Elia yang "moody"..
 Musa tidak pandai ngomong..
 Zakheus yg pendek..
 Abraham yg sdh tua..
 Dan Lazarus yg sdh mati..

 Tuhan tidak memanggil orang2 yg berkualitas, tapi membuat berkualitas orang2 yg dipanggilNya..!!
 So, kita memang belum sempurna, namun justru di dlm ketidak-sempurnaan itulah kuasa dan kasih karunia Tuhan bekerja dan menyempurnakannya, yaitu saat kita meresponi panggilanNya..!!
 Jadilah sempurna, sbab Bapamu sempurna..!
Met sore semua

Like · · Follow Post · December 2 at 2:10pm via mobile

HERE I AM, LORD http://www.youtube.com/watch?feature=player_detailpage&v=K6fYAiqV-Bs


Shalom,
Serambi Salomo, Pesta St. Fransiskus Xaverius, 3 Desember 2011, Inspired by katolisitas.org



FX. Sutjiharto

http://suciharto.blogspot.com

SPIRITUALITAS PEWARTA APAKAH ITU?

1. Spiritualitas, apakah itu?

satu status FB : “Tempat ibadah semakin banyak. Orang yang beribadah dengan khusuk (kelihatannya) juga semakin banyak. Namun, mengapa korupsi juga semakin banyak,ya? Tidakkah harusnya berbanding terbalik, Ya?”

“Koruptor; Beragama tapi Krisis Spiritualitas”

Spritualitas dari akar kata spiritual / spirit yang berarti roh.  Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas, sesuatu zat yang murni dan suci, yang membuat sesuatu itu hidup. Kata yang sama dalam bahasa Ibrani adalah ruah dan nefes.  Adanya kehidupan dalam diri manusia sering dipertalikan dengan adanya nafas. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat kita dapat hidup, bernapas dan bergerak. Manusia dianggap mati saat ia menghembuskan nafas terakhir dan tak pernah menghirup udara lagi.

Roh ini secara khusus diberikan oleh Allah kepada manusia pada saat penciptaan manusia. Allah meniupkan nafas hidupNya dalam diri manusia sehingga manusia hidup. Jadi semua manusia mempunyai asal / sumber roh yang sama, yaitu Allah Pencipta  Yang Mahakuasa – dan karenanya manusia senantiasa rindu untuk kembali bersatu pada Allah! Karena Roh itu pula-lah manusia menjadi se-citra dengan Allah. Di sinilah sumber timbulnya hak asasi manusia. Karena dalam diri manusia terdapat Roh Allah maka semua manusia mempunyai harkat martabat yang sama.

Hidup manusia dianggap sebagai suatu yang suci karena adanya hidup ini dari Nafas Allah tersebut. Adanya Roh di dalam diri manusia membuat manusia bukan sekedar mahluk jasmaniah yang bergerak atas dasar insting dan nalurinya belaka. Manusia juga merupakan mahluk Rohani/spiritual. Hanya manusia yang mampu memahami hakekat kehidupan yang dijalaninya, memberi arti pada apa yang terjadi, dan menyadari kemana semuanya akan pergi. Yaitu kembali kepada Sang Pemilik Roh.

Namun hakekat manusia sebagai mahluk spiritual ini tidak lah disadari manusia secara otomatis. Manusia harus kembali ke dalam dasar dirinya yang terdalam untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya. Apa beda dirinya dengan mahluk-mahluk lainnya. Dan itu tidak mudah, tidak instant. Kenikmatan daging dan dorongan yang jahat dari dalam diri manusia juga hadir sejak manusia dilahirkan. Menemukan diri bukanlah sesuatu yang mudah. Menemukan diri merupakan suatu keberanian untuk masuk ke dalam diri sendiri, mendengarkan suara hati dan mengabaikan kegaduhan serta kegelimangan mewahnya dunia. Untuk menjadi cerdas secara spiritual perlu latihan terus menerus dan melalui proses/ jatuh bangun yang berlangsung seumur hidup. Menjadi cerdas spiritual berarti mampu melalui batasan atau sekat-sekat tersebut dan menemukan siapa diri kita yang sebenarnya serta tujuan kehidupan kita. Menjadi cerdas spiritual berarti kita lebih memahami diri kita sebagai makhluk spiritual yang murni, penuh kasih, suci, dan memiliki semua sifat-sifat ilahi. Termasuk memiliki kemampuan sebagai pencipta realitas kehidupan yang berkualitas dan berkelimpahan (menjadi co-creator).

Dalam pergulatan menemukan jati dirinya, masuk ke dalam hakekat dirinya, manusia juga bertemu Allah. Pergulatan-pergulatan mencari makna itu tidak hanya terjadi dalam bilik-bilik meditasi yang tenang, namun juga dalam seluruh kesibukan aktifitas manusia yang hiruk-pikuk, penuh persaingan, penuh intrik, kadang kecewa, kadang sedih, kadang senang, menang, dan segala warna-warni kehidupannya. Di dalamnya manusia harus berani untuk selalu menyadari bahwa dalam dirinya ada roh Allah. Ada Allah di dalam dirinya. Pengalaman seluruh kehidupan manusia, dengan segala suka dukanya, adalah pengalaman bersama Allah. Inilah spiritualitas!

Spiritualitas adalah pengalaman (pergulatan) kita dengan diri sendiri dan dengan Allah - yang pada akhirnya membentuk bagaimana cara kita dalam memandang dunia, berinteraksi dengan dunia serta memberi arti pada kehidupan kita.

Spiritualitas bukan sekedar perkara pengetahuan, melainkan masalah “pengenalan” akan diri sendiri dan akan Allah. Dan pengenalan itu hanya diperoleh dari interaksi yang intens – terus menerus – tak putus dalam segala situasi dengan diri sendiri dan dengan Allah.

Kita bisa belajar dari pergulatan orang lain dengan Allah – baik yang terdapat dalam Kitab Suci maupun dalam buku-buku rohani (Para Kudus) – untuk menimba pengalaman spiritual mereka. Bagi kita, yang utama adalah menjadikan pengalaman mereka sebagai model / teladan bagi penghayatan iman kita sendiri. Menjadikan milik mereka sebagai milik kita sendiri….. Melalui keteladan mereka kita menyiapkan, memberikan diri dan hati kita untuk dibentuk Allah sesuai keinginan dan rencanaNya…..

2. Spiritualitas Pewarta ?

Berpegang pada arti spiritualitas di atas, maka kita pun bisa mengatakan bahwa Spiritualitas pewarta merupakan pengalaman pergulatan diri seorang pewarta bersama Allah yang dihidupi sebagai pengalaman iman dan dengan kerendahan hati diwartakan kepada dunia. Spiritualitas pewarta bersumber pada pengalaman akan Allah yang dihidupi terus menurus dari hari ke hari.

Di dalam Kitab Suci ada banyak contoh kisah dan kejadian yang menjadi inspirasi tentang pengalaman iman itu. Bahkan bisa dibilang, seluruh isi Alkitab merupakan suatu sharing pangalaman iman para penulisnya dalam terang Roh Kudus. Di dalam pengalaman iman itu kita menyandarkan pula iman kita – karena di dalamnya Allah yang bersabda untuk kita saat ini.

Beberapa perikop yang sangat inspiratif menjadi renungan para pewarta misalnya :

-         Panggilan Musa

-         Panggilan Yeremia

-         Panggilan Yesaya

-         Panggilan Yehezkiel

-         Panggilan Para Murid

-         Kisah tentang Orang Samaria

-         Kisah Tentang Emaus

-         Kisah Wanita samaria dan air hidup

-         Panggilan Petrus

-         Panggilan St. Paulus

Syalom.