Kamis, 26 Januari 2012

AKU MELANGKAH LAGI 2



Kembali lagu lama Vina Pandu mengalun lirih di gendang telingaku:

“ Aku melangkah lagi, lewat jalan nan sepi,

Perlahan tapi pasti, mengiringi alun melody……”

Lagu ini pernah menemani saat titik balik hidupku yang pertama, saat aku memutuskan untuk berhenti dari hidup membiara, kira-kira 16 tahun lalu. Dan tepat sejak saat itu, saat aku memutuskan keluar dari Seminari Tinggi CM, aku tinggal di Surabaya dan bekerja di PT. Rexplast.

Mengapa aku memutuskan keluar? Itu terceritakan di AKU MELANGKAH LAGI 1, yang kebetulan masih saya simpan hard copynya – namun belum saya upload di blog ini… dan sekarang, saya mencoba merefleksikan diri kembali selama perjalananku di PT. Rexplast. Refleksi senantiasa berguna sebagai bentuk syukur dan pembelajaran diri menuju kedewasaan. Kata Socrates: hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tak layak untuk dihidupi……..

Saat itu statusku masih sebagai Frater. Calon Romo, calon Pastor. Dan karena keinginan menggebu yang sangat mendesak, kebosanan yang bertimbun, kegairahan menjawab tantangan hidup: “kira-kira aku kalau tidak di sini (seminari) apa bisa hidup ya?” – akhirnya provinsialat CM mengijinkan aku untuk mengambil waktu “terminal”. Istirahat di luar seminari selama satu tahun dan setelahnya boleh mengajukan diri kembali atau keluar dari panggilan. Dan selama kurun waktu satu tahun tersebut aku diwajibkan untuk secara rutin menjalani bimbingan rohani dengan seorang imam CM.


Alhasil aku keluar. Pembimbing rohaniku Romo Alexander Sokalesmana CM. Dan saat bimbingan bulan pertama aku bertanya: “Romo, saya pulang ke Lasem atau di Surabaya saja?”. “Kamu di Surabaya saja. Aku carikan pekerjaan. Kebetulan aku kenal seorang Ibu, manager satu pabrik yang butuh karyawan”, kata Romo Alex. Akhirnya aku masuk ke Rexplast. Sejak saat itu, Rexplast menjadi bagian dari hidupku. Sejarah keluargaku bergandeng erat dengan sejarah Rexplast hingga saat ini….

Di PT. Rexplast aku masuk tanggal 21 Agustus 1995 di bagian personalia, dengan jabatan Personel Administration. Pimpinanku, yang juga baru masuk tanggal 3 Agustus sebelumnya, adalah Bp. Mujib Ambar. Beliau baru masuk tanggal 3 Agustus sebelumnya. Gajiku saat itu sejumlah Rp 250.000. Pekerjaanku sehari-hari adalah menghandle bagian umum (General Affairs) dan Karyawan Harian. Menginput absensi, lembur, cuti, medical, dan gaji karyawan harian adalah makanan pokokku sehari-hari waktu itu. Hidup terasa indah, actual. Bekerja berlama-lama hingga larut malam tidak menjadi soal. Masuk di hari Minggu juga terkadang harus aku jalani jika terpaksa ada lembur karyawan yang belum terinput atau slip gaji yang belum ditulis. Harus, karena gaji dibayarkan mingguan – jadi setiap Selasa paling lambat, rekapan lembur sudah musti masuk ke akunting. Diperiksa, diproses, dan hari Rabu diambil uang tunai dari bank – kemudian hari Kamis harus dibagikan satu per satu ke karyawan harian.

Selang waktu berjalan. Aku sangat menikmati pekerjaan di personalia. Kami berdua merupakan team yang kompak – dan Pak Mujib banyak memberikan pengarahan kepadaku dalam bekerja. Kembali ke seminari? Pikiran itu sudah tidak terlintas lagi. Tuhan berbicara lain. Pastor Pembimbingku malah meninggalkan imamatnya dan aku seperti anak liar yang hilang…….. di saat itu aku juga sedang dekat dengan seorang karyawan di PT Rexplast. Dan tepat setahun setelah aku di Rexplast kami menikah. Jawaban akhir atas tahun terminalku, kujawab dengan sepucuk surat undangan………..

Sebelum menikah aku mendapat tentangan kuat dari orang tua. Maklum, mereka sangat berharap aku akan kembali ke seminari menuntaskan panggilanku. Aku harus banting tulang untuk bisa mendapatkan uang untuk membayar DP rumah. Syarat dari orangtua: aku boleh menikah kalau sudah punya rumah. Apa yang aku lakukan? Tuhan membukakan jalan. Suatu ketika seorang satpam, Mas Jarno, mengeluh ingin membeli televise namun tidak punya uang. Kebetulan aku pernah diajak seorang teman ke daerah Perak dimana ada barang-barang elektronik dijual dengan “harga miring”, katanya sih “barang dari kapal”. Hitung punya hitung akhirnya aku dan mas Jarno sepakat berbisnis. Aku belikan satu televise dan mas Jarno membayar secara “kredit lunak” kepadaku. Setelah terima gaji hariannya (dari aku), dia menyisihkan sebagian sebagai angsuran. Masih teringat dan terasa bagaimana sakitnya punggungku menggoncengkan mas jarno dari Perak ke Brebek sambil membawa sebuah televise besar (saya lupa berapa inchi, namun cukup besar ukuran saat itu). Berawal dari Jarno, banyak teman lain rupanya berminat. Akhirnya, hampir setiap hari ada saja yang memesan: kulkas, televise, handycam, home teather, dan sebagainya…….. bagaimana modalnya? Alhamdullilah – Puji Tuhan – Deo Gratias, seorang saudara calon istriku bekerja di sebuah gudang elektronik di kawasan Kedungdoro. Gudang ini memasok barang elektronik ke toko-toko. Aku dikenalkan dengan bosnya. Dan dengan jaminan dia aku boleh mengambil barang dengan harga diskon dan kredit pula. Dan yang terpenting : barang diantar ke Rexplast! Aku buatkan satu pricelist, harga tunai dan harga kreditnya. Alhasil, jika dibandingkan hargaku dengan harga toko, aku lebih murah. Pesanan makin banyak, bukan hanya dari kalangan bawah, kalangan menengah dan atas pun membeli dari aku : Pak Pudy, Pak Suwondo (kalau tidak salah), Pak Ngari, Pak Hasanudin, Pak Totok, dan banyak kawan lain……… Setiap sore, selepas jam kerja, di pos satpam sudah ada satu atau dua barang pesanan yang harus diambil pemiliknya….. aku tahu hal seperti ini akan menimbulkan masalah. Apakah iri atau pun memang dipandang kurang sehat karena pos satpam seperti jadi showroom elektronik! Pelan-pelan bisnis ini harus aku akhiri – setelah puluhan bahkan ratusan barang tersalurkan dengan baik. Ada yang kredit enam bulan ada yang satu tahun dengan bunga bersahabat…… puji Tuhan dari situ aku bisa membayar DP rumah senilai Rp 16.000.000 (aku beli rumah tipe 27 seharga Rp 27 jt). Aku jadi menikah.

Setelah menikah, kami menempati rumah mungil yang sampai sekarang masih kami huni. Istriku sudah tidak bekerja, namun kami mempunyai sebuah usaha sampingan lain: membuka toko kelontong di rumah (teras depan) dan juga kami berdagang macam-macam tas wanita serta sepatu. Kami ambil dari Tanggulangin (langsung pembuatnya) dan kami pasarkan ke teman-teman istri saya. Ada juga yang dikirim ke Jember, Nganjuk, dan beberapa tempat lainnya. Kebetulan kakak-kakak istri bersedia membantu, seperti yang tinggal di kompleks perumahan Angkatan darat Jember. Wah laris manis melayani ibu-ibu Chandra Kirana…… lumayan.

Anak Pertama kami lahir: Maria Angelia Nirmala Dewi. Lengkap sudah hidup ini. Namun Tuhan senantiasa membuka jalanNya. Suatu siang aku melintas di depan ruang ibu Gwenny (GM). Di dalamnya ada beberapa manager. Aku dipanggil dan ditanya: kamu bisa bahasa Inggris? Saya jawab: bisa sedikit. Lalu diajak berbicara dalam bahasa Inggris. Aku jawab sebisaku. Kebetulan di seminari waktu itu ada English Day, jadi lumayanlah gak malu-maluin amat…… sudah begitu saja. Beberapa hari kemudian oleh Pak Mujib Ambar, aku diminta ke psikolog untuk test. Waduh, ini lagi. Jujur aku sebenarnya bosen ketemu sama yang namanya test macem beginian. Bukan sombong. Sejak masuk Seminari Garum (Setingkat SLTA) kami sudah ditest beginian. Kelas empat di Garum ditest lagi bakat minat. Masuk seminari tinggi (S1) ditest lagi. Ditingkat tiga (semester enam) ditest lagi. Di tingkat akhir (semester delapan) test lagi. Sampai apal model test skolastik macam beginian. Kalau gak gambar yang harus diteruskan, model gerigi, model gambar pohon, dsb…… Aku pun punya segebok bukunya yang bisa dipelajari…… skolastik sekali! Namun test itu harus aku jalani – done! Hasilnya? Aku tidak tahu. Yang jelas suatu hari aku dipindah menjadi purchasing assistant. Saat itu menjelang tahun 1997 – saat krisis moneter dimulai……

Masih teringat jelas (kalau mengingat ini aku meneteskan airmata. Thanks Bu Gwenny!) di hari-hari pertamaku sebagai purchasing, Ibu Gwenny memanggilku dan mengajariku beberapa istilah seperti CIF, CNF dan FOB. Aku harus memegang pembelian import. Salah satu supplierku adalah dari Rexplast Singapore untuk membeli HDPE Marlex. Waktu itu, kami belum bisa membeli langsung ke pembuatnya (saat itu masih bernama Phillips Petroleum – sekarang Chevron Phillips setelah merger dengan Chevron). Berbicara bahasa Inggris dengan orang Singapore membuatku seperti orang tolol. Kalau tidak salah namanya Catherine. Judes banget. Kalau bicara campur logat mandarin dan cepat sekali. Mati aku! Kadang-kadang dia marah-marah tanpa sebab. Sering aku hanya yas-yes yas-yes saja gak ngerti apa maksudnya. Setelah dia selesai bicara, saya suruh dia membuat fax (belum musim email saat itu). Aku kelimpungan. Sore hari aku cari kursus bahasa Inggris di kawasan Urip Sumoharjo Surabaya. Gak puas juga karena gurunya ngomongnya jelas sekali (medok Jawanya timbang Inggrisnya!). Aku ambil kursus di EF Surabaya Plasa (waktu itu Delta Plasa namanya). Lumayan. Tapi rasanya masih kurang. Bagaimana caranya? Aku beli headphone, saya buat kabel panjang (sekitar 3 meter) dan saya colok ke televise ruang tamu. Setiap nonton film barat, aku keraskan volumenya. Aku perhatikan suaranya. Akhirnya hampir tiap malam aku tidur di ruang tamu ditemani artis-artis barat………

Krisis moneter semakin hebat. Banyak pabrik gulung tikar. Di Jakarta seorang teman supplier meminta bantuan untuk mencarikan pembeli material PMMA (Akrilic) – jumlahnya 15 ton. Pemiliknya sudah nyaris bangkrut. Cari-cari, akhirnya PT. Illufak mau terima. Aku bertemu Bp. Yusuf di rumahnya sambil membawa contoh barang. Pembayaran setelah barang diterima. Puji Tuhan. Saat itu saya mendapatkan keuntungan sekitar Rp 10 jt. Aku berani melakukan karena Rexplast tidak memakai material PMMA. Juga teman yang di Jakarta mendesak minta bantuan urgent. Ya sudah. Dan uang hasil penjualan itu bisa menjadi satu mobil Suzuki Forsa tahun 86! Ceritanya saya titip beli ke kakak istri yang sedang kulakan mobil bekas di Jakarta. Pas kerusuhan Mei terjadi, dia di bandara mau pulang. Ternyata di sana ada seorang yang membawa lengkap BPKB dan mobilnya untuk dijual tunai. Pas dah! Dia pulang mengendarai Forsa 86. Namun aku tidak jadi makelar material setelah itu. Dan yang terpenting, mobil itu akhirnya menjadi modal awal pembelian mobil selanjutnya: jual – pakai sebagai uang muka dan ambil kredit…… setelah krisis moneter, mobil itu terjual dengan harga Rp 39 juta!

Krisis moneter mengajarkan banyak hal. Di saat itu, kami bersama management dan akunting harus bahu membahu mengatur cash flow pembayaran. Semua minta dibayar cash – di muka malah. LC tidak lagi diterima di luar negeri – sekurangnya harus dijaminkan ke bank lain di luar negeri (confirmed LC). Biaya LC menjadi sangat mahal. Produsen dalam negeri ikut-ikutan jual dalam mata uang USD. Mata uang ini melonjak dari Rp 2.500 menjadi bahkan Rp 15.000 saat itu. Gila benar. Setiap hari ada saja gejolak bahan baku yang harus segera diatasi……

Belum lagi terjadi mala petaka di bagian import. Dokumen yang seharusnya kadaluarsa 2 tahun diperiksa Bea Cukai dan ada masalah. Singkat cerita, ada kong kalikong antara oknum BC dengan EMKL. Tambah bayar yang cukup besar harus diselesaikan. Untungnya itu dokumen masa lalu sebelum aku di purchasing. Dan berkaca dari kejadian itu, aku bertekad untuk tidak tergantung dengan yang namanya EMKL atau PPJK. Aku memberanikan diri mengambil kursus resmi ahli kepabeanan di departemen keuangan. Kursus setiap sore selama 6 bulan dan aku lulus dengan predikat tiga besar. Diantara sekitar 60 peserta – yang lulus hanya 45 orang saja. Puji Tuhan.

Masa krisis telah berlalu. Perbaikan ekonomi mulai bertumbuh. Aku diangkat menjadi Purchasing Officer. Negosiasi, mengatur pembayaran, mengatur pengiriman, memantau kedatangan, ekprot-import menjadi aktivitas rutinku. Departemen purchasing aku bagi menjadi tiga bagian: teknik, non teknik dan Raw Material. Aku sendiri menghandle bagian material sedangkan bagian teknik dan non teknik dihandle anak buahku. Proses perjumpaan dengan supplier menimbulkan relasi yang cukup baik. Sering pertanyaan-pertanyaan bukan sekedar menyangkut masalah pekerjaan namun juga hal-hal pribadi lainnya. Ada dua hal masalah pribadi yang membuat hidupku berubah karena relasiku dengan para supplier itu.

Yang pertama, adalah supplier kebanyakan yang setelah alot berdiskusi biasanya bertanya: dulu backgroundnya apa? Aku jawab filsafat – teologi. Waduh mereka terperangah keheranan. Kok bisa ya Rexplast memperkerjakan lulusan filsafat-teologi sebagai purchasing? Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil S2 di managemen sambil memantapkan bahasa Inggrisku. Aku kuliah sore hari di IEU : International European University. Kuliah dilakukan dalam bahasa Inggris. (jangan ditanya apa yang aku lakukan saat mata pelajaran international akunting dan statistic lanjutan!). Akhirnya aku menyandang gelar Magister Managemen. Kalau ditanya orang : backgroundnya apa? Managemen Bro!

Yang kedua, menyangkut masalah iman katolik. Namun itu nanti akan saya upload di tulisan tersendiri: seputar revolusi iman pribadi. Tunggu saja, setelah ini aku punya banyak waktu……

Seiiring dengan pelajaran managemen yang aku terima, gelora bisnis mulai kembali dalam darahku. Aku melihat tanah kosong di belakang rumah yang ditancapi tulisan : dijual. Ini kalau aku beli buat apa ya? Masa buat rumah lagi. Rumahku sudah sedikit lebih luas. Sebelumnya rumah tetanggaku yang kosong boleh aku angsur. Akhirnya tipe 27 + 27 ; lumayanlah jadi tipe 54. Lalu buat apa tanah kosong itu? Ini mesti harus dibuat bisnis. Aku teringat salah satu paman istriku yang tinggal di kota Babat pernah tawari untuk buat Wingko Babat. Aku kontak dia: apakah tawaran itu masih tersedia? Ternyata masih. Namun rupanya tanah di belakang rumah kurang pas untuk produksi wingko babat. Akhirnya ketemu lagi tanah di tepi sungai kecil sekitar 100 meter dari rumah. Tepat ini. Namun masalah pembelian tanah terganjal masalah SARA. Bagaimana kisahnya? Nanti akan aku buatkan refleksinya juga. Berakhir manis dan menggembirakan. Tangan Tuhan ikut berkarya. Tunggu aja (capek yo nulis terus…..)

Singkat kata, bisnis jualan wingko babat berjalan. Tanah terbeli, bangunan sederhana beserta oven dari bata terbuat. Aku menggandeng keluarga kakak ipar untuk tinggal di bangunan itu dan sekaligus menjadi pengelola pabriknya. Aku belajar jadi pengusaha. Aktivitasku lebih banyak di sore hari karena aku tidak ingin menduakan pekerjaanku di Rexplast. Bagian produksi sudah ditangani kakak ipar, bagian keuangan ada istriku yang belanja sana-sini. Aku menghandle marketing. Pekerjaan marketing saya lakukan hanya sebagai coordinator di setiap hari Sabtu. Kebetulan semenjak terjadi krisis moneter, karyawan staff Rexplast bekerja hanya 5 hari. Peluang ini juga yang mendorong naluri bisnisku. Anakku sudah 3 orang. Kebutuhan semakin banyak. Gaya hidup juga semakin meningkat (ceile!)


Menjadi marketing berarti harus jeli melihat peluang dan berani mengambil resiko bisnis, termasuk berani malu. Mungkin ada yang mencibirkan bibir: wingko babat??? Makanan apaan itu? Membuatnya susah. Adonan tepung ketan, gula dan kelapanya harus pas. Ovennya pakai kayu bakar. Dan yang penting: berapa banyak sih yang suka makanan manis seperti itu? Biasanya orang menjual wingko babat secara konvensional: di toko-toko oleh-oleh, di terminal, stasiun kereta, pakai asongan dsb. Cara itu memang kami lakukan. Hampir seluruh area Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik (bahkan Madura) tercover. Namun aku ingin sesuatu yang berbeda. Cara memasarkan wingko babat yang berbeda. Berawal dari ketemu teman di warung kopi dekat perumahan. Sambil minum kopi ada hidangan pisang goreng, ketela goreng, tape goreng, dll. Cling! Ide muncul : bu, aku titip wingko di sini ya? Tahan 3 harian. Akhirnya konsep baru ditemukan. Jual wingko babat di warung-warung kopi. Aku punya sekitar 50 orang sales freeline yang setiap sore menjelang magrib antri ambil wingko yang masih hangat untuk disetor di warung-warung hampir seluruh Surabaya – Sidoarjo (bahkan ada juga Malang dan Kediri!). Para sales itu adalah orang-orang yang membutuhkan tambahan penghasilan di luar gaji sebagai karyawan. Mereka adalah para satpam, para cleaning service, buruh pabrik, dsb. Pokoknya: taruh jaminan (ktp, dll), ambil barang, setor ke warung sambil ambil tagihan dan setor ke pabrik wingko. Tiap orang ada yang bawa 20 buah, ada yang bahkan 1000 wingko. Mereka ada yang punya 1 warung saja – ada yang bahkan punya 50 warung. Bayangkan kalau per biji untung Rp 100 x 10.000 bh = Rp 1.000.000/hari. Ah itu khan itung-itungan orang yang gak terjun sendiri di dalamnya…..

Aduh sudah jam satu malam…… aku sudahi dulu ya….. besok pagi aja saya upload. Sekedar bercerita mengenang perjalanan hidup. Setelah ini ada lanjutan mengenai perjalanan selanjutnya hingga hari ini aku harus melangkah lagi keluar dari zona nyaman Rexplast………

Selasa, 17 Januari 2012

HOMILETIKA - A GUIDE TO A GOOD SERMON


SKEMA PEMBAHASAN

  1. APA ITU HOMILETIKA
1. Apa Itu Homiletika
2. Siapa Yang Harus Mewartakan
3.Tujuan Khotbah / Homili
II. BAGAIMANA MEMPERSIAPKAN SUATU KHOTBAH?
  1. Seperti Apa Khotbah Yang Baik Itu?
  2. Bagaimana Mempersiapkan Khotbah?

III. BAGAIMANA MEMBAWAKAN KHOTBAH?
1. Tempat / posisi pewarta dalam membawakan khotbah
2. Suara / Vocal (Audible)
3. Bahasa Tubuh (Visible)
4. Kontak Mata

IV. LATIHAN TEMATIS
V. INDIKATOR PENILAIAN
 

I. HOMILETIKA

1. Arti Homiletika
         Berasal dari kata: Homiletike = pergaulan, percakapan dengan ramah, akrab dan saling percaya. Kata kerja homilein muncul beberapa kali dalam PB : Luk 24:14, 15; Kis 20:11; 24:26; 1Kor 15:33). Dari kata ini muncul istilah homili.
         Dalam lingkup Gereja, homili secara klasik mempunyai arti sebagai suatu penafsiran Kitab Suci ayat demi ayat dalam suatu perayaan ibadat yang penuh persaudaraan. Sejak jaman Gereja purba, homili menjadi unsur penting yang diletakkan setelah pembacaan KS (Bdk Luk 4:16-21; Luk 24:30-32; Kis 13:15)
         Luk 24:32 Kata mereka seorang kepada yang lain: "Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?
          “Kitab-kitab Suci, seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalud ihormati oleh Gereja, yang terutama dalam Liturgi Suci –– tiada hentinya menyambut roti kehidupan, baik dari meja sabda Allah maupun Tubuh Kristus dan menyajikannya kepada umat beriman (DV 21)
         Pada hakekatnya homili adalah pewartaan kabar gembira tentang Yesus Kristus berdasarkan kitab suci.
         Istilah homili sering kali dimengerti sama dengan istilah khotbah. Secara esensi memang bisa dibilang hampir sama, yaitu menyampaikan Sabda Allah, namun dalam prakteknya terdapat perbedaan-perbadaan yang cukup mencolok.
         Khotbah berasal dari bahasa Arab: chutbah / khutbah = predicare (lat) = kerussein (Yun) = mewartakan, memaklumkan, memberitakan (dalam lingkup muslim pembawa chutbah = chatib).
         Dalam lingkup Gereja, khotbah lebih merupakan suatu pewartaan sabda Allah di luar ibadah Gereja (misal di radio, TV, dsb) karenanya sangat bebas be-retorika dan menggunakan media.
         Sedangkan homili merupakan suatu pewartaan sabda Allah khas dalam perayaan Ekaristi yang dibawakan oleh pejabat gereja yang berwenang (bdk KHK 767 $1&2), serta terbatas dalam retorika dan penggunaan media. Homili merupakan bagian utuh dari liturgi (SC 52). Dalam uraian ini, kita menggunakan istilah khotbah dibandingkan homili ; atau pun renungan.

2. SIAPA YANG HARUS MEWARTAKAN?
         Setiap pengikut Kristus yang telah di baptis mengalir dalam dirinya kharisma Roh Kudus yang memungkinkan dan mewajibkan dirinya menjadi saksi Kerajaan Allah, melayaninya dan berupaya mewujudkannya (bdk LG 33 dan AA 3)
         Tugas mewartakan Kerajaan Allah pada dasarnya diberikan Kristus kepada Gereja: Seluruh Umat Allah. Dan homili / khotbah merupakan suatu tindakan publik yang dilakukan oleh seorang pengkhotbah atas nama jemaat beriman. Menyampaikan homili bukan karena hobi pengkhotbah. Tindakan berkhotbah bukanlah suatu milik pribadi orang per orangan.
         Menyampaikan homili bukanlah karena hobi pengkhotbah. Tindakan berkhotbah bukanlah suatu milik pribadi orang per orangan. Tindakan berkhotbah pada dasarnya adalah milik jemaat beriman (Gereja) yang diberikan (ditugaskan) kepada pribadi-pribadi tertentu untuk melaksanakannya.
         Jadi benar bahwa setiap orang sebagai anggota Gereja harus mewartakan KA (terutama dalam praktek hidup sehari-hari), namun tidak semuanya diberikan mandat / tugas untuk berkhotbah secara resmi mewakili / berbicara atas nama umat Allah itu (Gereja).
         Karena itu, implikasi bagi pengkhotbah yang musti diperhatikan adalah dalam berkhotbah dia tidak mengejar “agendanya” sendiri melainkan benar-benar secara jujur terbuka pada Allah dan jemaat untuk mengenali kebutuhan kawanan umat Allah.
         Dengan demikian, untuk melakukan aktivitas publik “berkhotbah” perlu suatu legitimasi yang diperoleh dari Gereja. KHK 762-767 mengatur mengenai apa, siapa dan bagaimana berkhotbah / homili.  Siapakah mereka?

  1. Para Klerus
         Tugas para murid Yesus dilanjutkan Gereja dengan menahbiskan orang-orang yang dianggap layak mewartakan Kabar gembira keselamatan manusia.
         Di pundak merekalah misi utama Gereja mewartakan KA ke seluruh dunia (Mat 28:16-20) dibebankan. Menurut KHK 763-764 dan LG 25-29 mereka adalah para uskup (LG 25), imam (PO 4) dan para diakon (LG 29)
         Kristus sendiri yang memilih dan mengutus mereka, karenanya dalam diri mereka (kata dan tindakannya), termasuk dalam berhomili, dipandang sebagai tindakan Kristus sendiri akibat persatuan mereka dengan Kristus (in persona Christi)

b. Awam : yang berintegritas hidup
         Selain klerus, para awam, berkat imamat umum yang diterima dalam sakramen baptis, mereka juga mendapatkan tugas untuk mewartakan Sabda Allah (bdk LG 31-34; AA 3, 10; GS 40)
         Peran imamat umum yang semakin diteguhkan dalam sakramen Krisma dan dihayati mesra dalam sakramen Ekaristi menuntut awam untuk berperan aktif dalam hidup menggereja.
         Kanon 766 mengatur peran awam dalam berkhotbah : ”kaum awam dapat diperkenankan untuk berkhotbah di dalam gereja atau ruang doa, jika dalam situasi tertentu kebutuhan menuntutnya atau dalam kasus-kasus khusus manfaat menganjurkan demikian, menurut ketentuan-ketentuan konferensi para uskup”.
         Kasus khusus ini makin tampak dalam situasi kekurangan imam di mana para ketua lingkungan, guru agama, katekis, dsb harus memimpin ibadat liturgis yang tentu saja dalam kesempatan tersebut ia harus menyampaikan khobah.
         Pendapat yang memungkinkan awam untuk berkhotbah harus senantiasa dilihat dalam hubungannya dengan RS 65 – 66 (homili dalam perayaan Ekaristi), dan RS 161 (khotbah diluar Misa sebagai kasus khusus dan atas seijin ordinaris setempat)
         Para awam yang membawakan khotbah mesti memenuhi kriteria integritas hidup tertentu. Ia haruslah awam yang terpandang karena peri hidupnya yang baik dan saleh. Ia mempunyai dedikasi dan komitmen yang tulus bagi Gereja dan diterima umat dengan baik.
         Selain itu, selayaknya ia juga mempunyai pengetahuan yang cukup tentang iman dan agama katolik, tentang liturgi dan Kitab suci serta mampu memimpin dengan baik.
 

3. TUJUAN KHOTBAH/HOMILI

EVANGELISASI
         Sebagaimana misi utama Gereja untuk mewartakan Sabda Allah ke seluruh dunia (Mat 28:16-20)
         Setiap khotbah harus membawa pendengar pada pemahaman akan makna Sabda Allah bagi hidup mereka.
         Sabda Allah yang tertuang dalam KS merupakan kesaksian iman dari para penulis suci. Di dalamnya pengalaman akan Allah yang mengunjungi umatNya, hidup dan berjalan bersama umatNya, dalam suka dan duka, dari generasi ke generasi diwartakan.
         Puncaknya pada diri Yesus yang adalah Allah dan Manusia. Karena itu, KS merupakan buku dialog konkret tentang Allah dan manusia.
         Karenanya pertama-tama sebuah khotbah yang baik haruslah khotbah yang biblis, mendasarkan diri pada Sabda Allah
 

REKONSILIASI
         Mengarah pada perbaikan hubungan antara individu dengan Allah, Gereja, sesama dan seluruh lingkungan hidup.
         Khotbah harus mengarahkan orang agar ia melepaskan perbuatannya yang lama, berbalik arah menuju Allah dan berjuang mengikat diri untuk hidup hanya bagi Allah.
         Karenanya, khotbah merupakan kelanjutan karya Yesus sendiri yang datang untuk mempetobatkan mereka yang berdosa
 

MENUMBUHKAN PAGUYUBAN UMAT
         Kabar gembira yang disampaikan lewat khotbah/homili bertujuan untuk menumbuhkan paguyuban diantara umat beriman.
         Setelah mendengarkan khotbah, umat harus kembali dengan membawai terang dan damai serta keadilan di tengah masyarakat.
         Dalam kaitan ini, khotbah yang baik harus senantiasa juga disusun berdasarkan situasi pendengarnya.


II. BAGAIMANA MEMPERSIAPKAN SEBUAH KHOTBAH
         Sebelum mempersiapkan suatu khotbah yang baik, kita mesti tahu bagaimana suatu khotbah disebut baik.
         Khotbah yang baik tentunya jika tujuan khotbah terpenuhi di dalamnya : evangelisasi, Rekonsiliasi dan Menumbuhkan paguyuban umat.
         Untuk mencapai tujuan itu suatu khotbah haruslah : biblis, authentik, kontekstual dan merubah hidup pendengarnya
 

1. BAGAIMANA SEBUAH KHOTBAH YANG BAIK?

Sekurangnya ada beberapa pedoman yang bisa kita gunakan untuk menilai apakah suatu khotbah itu baik atau tidak :
A. Excellent preaching is biblical.
B. Excellent preaching is authentic.
C. Excellent preaching is contextual.
D. Excellent preaching is life-changing.

A. BIBLIS
      Tujuan homili adalah mewartakan Sabda Allah. Karenanya mau tidak mau, harus berdasar pada Kitab Suci : memperlihatkan rangkaian sejarah keselamatan Allah bagi manusia - yang berpuncak dalam hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus – dan itu  tetap berlangsung hingga kini
      Seorang pewarta yang baik haruslah mengetahui eksegese yang benar sehingga ia dapat mengulas Kitab Suci, menyelami rahasia Allah di dalamnya dan akhirnya menyampaikan pesan Allah di balik teks-teks itu bagi pendengar “saat ini dan disini”
      Hal ini sesuai dengan yang dilakukan Yesus dalam Luk 4 :21 “pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”
      Kitab Suci merupakan sumber utama suatu Khotbah / homili – dan untuk itu, seorang pewarta harus senantiasa bergumul dengan Kitab Suci

B. Authentik
         Khotbah bukanlah sembarang pembicaraan iman, melainkan pembicaraan dari hati ke hati. Dari hati berarti dari orang yang biasa mendengarkan Sabda Allah dan merenungkannya serta mempercakapkannya dengan Tuhan dalam hatinya.
         Ada banyak renungan yang bertebaran disekitar kita dalam bentuk jadi. Sah-sah saja jika kita menggunakannya – namun suatu khotbah yang baik adalah khotbah yang otentik. Apa artinya?
         Artinya bukan tidak boleh mengambil dari apa yang telah ada, namun pertanyaannya adalah apakah kita telah menjadikan yang ada itu sebagai milik kita?
         Sangat disayangkan jika dalam satu kesempatan khotbah seorang pewarta hanya “membaca” kan dari suatu buku renungan. Bagaimana pun juga di dunia ini tidak ada yang 100% otentik – namun yang harus dilakukan adalah mengolah kembali bahan-bahan yang tersedia itu, merenungkannya, mendalaminya, menyesuaikan dengan kondisi sekitar kita, dan membahasakan kembali dalam bahasa dan kepribadian kita.
         Ingat pewarta bukan seorang makelar / calo belaka

C. Kontekstual
      Para pendengarku bukanlah musuhku, melainkan saudara dan saudariku. Mereka mempunyai pandangan dan pengalaman hidup sendiri. Karena itu dalam menyampaikan khotbah, kita pun harus bertolak dari kondisi para pendengar.
      Semakin kita melihat dengan mata pendengar, semakin kita menemukan apa yang harus dikatakan kepada mereka.
      Memahami pendengar ini haruslah sejak awal disadari sejak persiapan penyusunan suatu khotbah.
         Pertajamlah kepekaan akan sekitar: lingkungan, paroki, masyarakat, dsb – nilai-nilai apa yang sedang bergejolak di dalamnya; bagaimana jika nilai-nilai itu dipandnag dari nilai-nilai yang diajarkan Kitab Suci……
         Khotbah yang baik adalah suatu yang “mendarat” bukan berputar-putar di atas awam. Semakin situais dan kondisi pendengar dipahami dan disapa, semakin pula yang dikatakan akan mengena dan menggerakkan pendengar. (Bdk GS 1 dan 8-10)

D. Merubah Hidup
         Pewarta dalam berkhotbah bukanlah sekedar dengan kata-kata belaka melainkan dengan segenap kepribadiannya. Ia memberi kesaksian tentang keselamatan Allah dalam Yesus. Ia tidak boleh hanya memahami Sabda Allah namun ia pun harus disentuh oleh Sabda Allah.
         Pewarta tidak sekedar mentransfer informasi namun juga membimbing pendengar untuk bertemu dengan Tuhan. Verba movent – exempla trahunt : kata-kata menggerakkan namun keteladanan mendorong (menarik)
         Mengapa demikian? Karena suatu khotbah yang baik adalah khotbah yang merubah hidup pendengarnya – dan lagi-lagi pertanyaan yang relevan pertama-tama adalah apakah si pengkhotbah sendiri telah (setidaknya berjuang) berubah pula?
         Seorang pewarta bukan aktris atau aktor yang bisa membawakan suatu peran yang sama sekali berbeda dengan jati dirinya sendiri.
         Kemampuan berkhotbah sebaiknya tidak diasah melalui cara-cara instant sekolah “kepribadian” yang sebenarnya mengajarkan bagaimana merubah topeng bukan merubah jati diri yang sebenarnya.
         Berbeda dengan seorang bintang film, verifikasi atas apa yang disampaikan oleh seorang peng-khotbah ada dalam kehidupan pembawa khotbah. Pendengar akan langsung menghubungkan pewartaannya dengan kepribadian si pengkhotbah.
         Lalu jika demikian siapa yang layak? Yang layak adalah dia yang sekurangnya terus dan terus secara sadar mau berjuang untuk berubah. Kesadaran ini yang menuntun si pewarta untuk berani mempersiapkan suatu khotbah yang diharapkan bukan hanya merubah orang lain namun juga dirinya sendiri. Proses pergulatan menuju kesucian terus menerus!


2. MEMPERSIAPKAN KHOTBAH
         Mempersiapkan khotbah merupakan suatu keharusan dan perlu kedisiplinan tertentu. Umat dengan mudah akan menangkap suatu khotbah itu dipersiapkan dengan baik atau asal-asalan, meski isinya bagus (karena pengalaman mungkin).
         ada orang tertentu yang merasa hanya perlu mengikuti angin Roh Kudus yang akan mengajar dia pada saatnya…. Ini merupakan suatu penyelewengan makna Kitab Suci……
         Pewarta yang TIDAK mempersiapkan khotbahnya adalah seorang pewarta yang sombong dan tidak bermental sebagai “hamba Allah”. Ada kemungkinan ia akan mewartakan Injil lain yang berbeda dengan Injil Kristus. Ia mencari kesukaan manusia dan bukan kesukaan Allah (bdk Gal 1;6-10)
         Pewarta yang TIDAK mempersiapkan khotbahnya menunjukkan bahwa ia kurang bergairah untuk mewartakan firman. Ia kurang mengasihi umat yang dipercayakan kepadanya. Ia bermental sebagai orang upahan daripada seorang gembala yang baik.

         Pada dasarnya terdapat tiga tahap persiapan :
        Persiapan Sepanjang Hidup (Long life preparation)
        Persiapan Jangka Panjang (Persiapan Umum)
        Persiapan Jangka Pendek (Persiapan Khusus)
         Persiapan  Sepanjang hidup adalah persiapan yang menyangkut personalitas seorang pengkhotbah. Mengapa? Karena menjadi pewarta dan mempersiapkan pewartaan adalah sebuah proses kreatif sepanjang hidup. Proses belajar, merenung dan berlatih selama masih hidup.
         Persiapan ini meliputi : kecintaan akan Kitab Suci, peka terhadap lingkungan sekitar, merenungkan kehendak Allah dalam hidup sehari-hari dan hidup berdasarkan iman akan kehendak Allah tersebut.


A. Persiapan Jangka Panjang (Persiapan Umum)
         Persiapan jangka panjang menyangkut persiapan bahan-bahan khotbah.
         Bahan-bahan ini bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap kehidupan sehari-hari (masyarakat, gereja, rumah tangga, dll), dari bacaan, diskusi, permenungan, cerita, warta berita (bahkan gosip?), sharing, facebook, kutipan motivasi dari orang terkenal, kebijaksanaan, dll-dll yang dianggap relevan dan berguna.
         Bahan-bahan ini hendaknya dicatat dalam buku harian, data komputer, kartu, dsb
         Tahap ini sangat penting karena di dalamnya kita seolah mempunyai “bank data” yang bisa diakses saat dibutuhkan. Semakin banyak membaca, bergaul, merenung, mempertajam intuisi dan mencatatnya maka bank data kita semakin besar – semakin besar pula untuk mendapatkan ide baru yang menarik dan fresh / segar
 

C. Persiapan Jangka Pendek
         Kerap kali kita melupakan persiapan jangka panjang dan hanya terfokus pada persiapan jangka pendek.
         Persiapan jangka pendek adalah persiapan menjelang kita bertugas. Diandaikan kita telah mempunyai teks Kitab Suci untuk diwartakan – bahkan juga tema telah ditentukan. Dan kini saatnya kita mendalami teks tersebut dan masalah-masalah yang relevan dengannya – dan menyusunnya menjadi bahan khotbah.
         Secara umum ada tiga pilar penting mempersiapkan khotbah: STUDI, DOA dan KONTEMPLASI.

      Ketiga pilar penting itu terbagi dalam beberapa fase menyusun khotbah:
a. Fase mengumpulkan bahan
b. Fase Inkubasi
c. Fase Merancang khotbah
d. Fase Merampungkan khotbah
e. Fase Menguasai khotbah
f. Fase Membawakan khotbah


a. Fase Mengumpulkan dan Mengolah Bahan
         Fase ini akan sangat terbantu jika kita terbiasa melakukan persiapan jangka panjang (bank data).
         Yang tidak boleh dilupakan dalam fase ini adalah bahwa BAHAN UTAMA kita adalah Sabda Allah yang akan kita bawakan – baru setelah itu dicari bahan-bahan lain yang memang relevan. Jadi bukan sebaliknya.
         Bagaimana kita mengolahnya? Berikut salah satu metode yang paling sering digunakan dalam menyiapkan bahan utama khotbah (KS). Tentunya diharapkan pewarta semakin menambah pengetahuan dan praktek mengenai hal ini.
 

MENYIAPKAN BAHAN DARI PERIKOP KS :
         Bergulat secara pribadi dengan teks :
      Baca KS dengan Hormat, dalam keheningan dan doa
      Coba pahami alur cerita / pembahasan teks tersebut secara global. Mis. Kisah Yesus menyembuhkan orang buta (Yoh 9 )
      Baca kembali secara lebih detail dan coba memasuki cerita / pembahasan yang terjadi. Kita melibatkan diri pada peristiwa / pembahasan dalam konteks tersebut.
      Apa yang saat itu kita rasakan? Kata-kata mana yang menyentuh hati saya? Adakah kata atau kalimat yang terasa menarik, menguatkan, menghibur, menegur, menentramkan atau mengganggu hati dan pikiran saya?
      Ambil waktu untuk merasakan dan merenungkannya

         Membuat Tafsiran Eksegetis : mencari dan mengunyah pesan Teks
      Kembali baca teks tersebut, perhatikan dengan seksama kata dan kalimatnya: gaya bahasanya, benda-bendanya, perbandingan, perumpamaan, dan lainnya. Cari dari kamus / ensiklopedi kitab suci tentang benda-benda dan arti dari teks tersebut – karena kerap apa yang bagi kita seolah biasa, namun berbeda karena budaya, tradisi, dan kurun waktu kita dengan teks sangat berbeda.
      Perhatikan juga konteks luas & konteks dekat dari perikop tersebut dengan membaca beberapa perikop sebelum dan sesudahnya.
      Baca tafsiran-tafsiran eksegetis atas teks tersebut
      Coba pahami apa yang sebenarnya hendak disampaikan penulis KS kepada pendengar saat itu dan apa relevansinya bagi kita sekarang.

BEBERAPA CATATAN PENTING :
      Jangan memperkosa teks : artinya secara paksa atas dasar pikiran atau kemauan sendiri memberi arti teologis/etis terhadap teks KS yang sebenarnya secara eksegetis tidak terdapat di dalamnya
      Ada banyak pesan yang bisa timbul dari perenungan KS. Pilih salah satu atau dua yang menurut Anda paling dibutuhkan dan relevan sebagai tema khotbah. Jangan kemaruk!
      Terhadap bahan tulisan, renungan, khotbah dari orang lain, kita mesti kristis dan bukan sekedar copy – paste melainkan melalui proses tertentu jadikan “mutiara iman” itu sebagai milik Anda sendiri: misal dengan merubah rumusannya, merubah beberapa hal agar relevan dengan kehidupan sekitar Anda dan pendengar.


b. Fase Inkubasi = Masa Pengendapan / Istirahat dalam Kontemplasi
         Setelah bahan dari fase pertama terkumpul, tidak berarti bahwa khotbah sudah siap. Sama sekali belum karena belum dirumuskan tujuannya, dipertajam maknanya dan yang terpenting adalah diendapkan dalam diri pewarta agar menjadi miliknya sendiri (internalisasi).
         Sayang banyak pewarta hanya berhenti di fase pertama dan merasa cukup.
         Hal ini terjadi dalam masa istirahat ini. Apa yang dilakukan di masa ini? Bahan yang telah terkumpul itu diolah dalam “alam bawah sadar” melalui meditasi pribadi, memasuki teks kembali, merenungkannya lagi - hingga seolah pada fase ini pewarta menjadi “hamil” atau “mabuk” dengan bahan pertama.
         Fase inkubasi adalah proses mencari jawaban, ide, jalan keluar, struktur rumusan khotbah yang tepat dan kadang tidak disadari sebelumnya.
          Fase ini kadang kurang menyenangkan, menggelisahkan, penuh pergumulan, belum jelas karena jalan pikiran belum teratur. Membawa semua bahan dalam doa dan kontemplasi akan sangat berguna
         Di fase ini pewarta harus sabar, tidak boleh tertekan oleh waktu yang ketat (dan kondisi pribadi). Ini akan melumpuhkan kreativitas. Sebaiknya di fase ini digunakan untuk relax, santai dan mempraktekkan hobi……
         Sambil relax diulang kembali bahan pertama dalam hubungannya dengan kontek pendengar, kebutuhannya, situasinya, tingkat sosialnya, tingkat pendidikannya, apa yang mereka rasakan, jalan pikiran – bahkan bila perlu juga situasi tempat, cuaca – tema yang hangat akhir-akhir ini, dsb
         Fase inkubasi adalah fase penting yang memang membutuhkan waktu. Berapa lama? Kadang sulit untuk diperkirakan. Semakin tinggi “jam terbang” semakin mudah fase ini dilalui.


c. Fase Iluminasi : “Heureka! Ini dia!”
         Ya, fase ini adalah fase pencerahan setelah masa inkubasi. Pencerahan ditandai dengan munculnya ide cemerlang (cling!) untuk berkhotbah, misal : bagaimana nanti seharusnya disampaikan, struktur yang tepat bagaimana, jalan pikirannya sebaiknya seperti apa.
         Hasil dari masa iluminasi adalah perumusan  khotbah secara lebih tajam dan bagaimana harus disampaikan.
         Proses muncul ini kerap kali tiba-tiba dan kadang seperti terang yang muncul dari kegelapan. Memberi rasa kebebasan dan kebahagiaan bagi pewarta.
         Contoh :

        Bacaan dari Luk 11: 27 - 28.
        Pesan yang ingin disampaikan adalah Meneladan Yesus yang sangat menghormati dan mengasihi Bunda Maria.
        Justru dalam perikope ini Yesus hendak menandaskan bahwa Maria bukan hanya seorang ibu biologis yang melahirkan dan menyusui Dia – melainkan juga dialah sang pelaksana Firman yang patut diteladani. Sering perikope ini dipakai untuk “merendahkan” Bunda Maria.
        Pewarta bertekad untuk meyakinkan dan mendorong pendengar untuk beriman seperti Maria – meneladan dia dan melalui dia menuju Yesus secara lebih sempurna

d. Fase Menyusun Khobah
         Dalam fase ini secara sistematis dan (sebaiknya) tertulis, pewarta mulai menuliskan khotbahnya.
         Pertama dalam skema garis besar dan selanjutnya secara lebih detail dalam khotbah tertulis.
         Skema garis besar memudahkan pewarta untuk ingat jalan pikiran khotbah – sehingga pendengar pun juga akan menjadi jelas runtutannya. Kalau pengkhotbah tidak jelas; pendengar pasti juga tidak jelas
         Menuliskan khotbah secara detail juga sangat berguna sebagai “latihan awal” sebelum khotbah yang sesungguhnya – sekaligus sebagai dokumentasi yang berguna kelak.

         Penyusunan Khotbah mesti jelas bagian-bagiannya seperti :
        Pembuka
         Latar Belakang (persoalan, teks KS, dsb)
         Pengantar pada inti tema
        Bagian Inti (Tubuh Khotbah)
         Pokok Pikiran / tema 1 : pendalaman tema, pendalaman teologis, illustrasi
         Pokok Pikiran / tema 2 : pengembangan tema 1, pendalaman, pendalaman teologisnya, penegasan ulang tema 1 & 2
        Penutup :
         Beberapa kalimat pendek dan langsung
         Membentuk kesadaran, refleksi dan keputusan iman
         Kalimat penutup yang memberikan rasa !

e. Fase Finalisasi Khotbah
         Dalam fase ini, khotbah dilihat lagi – diulang lagi bagian-bagian mana yang mungkin perlu diperjelas dan dipertajam.
         Beberapa panduan untuk mengecek ulang :
      Apakah rancangan isi sudah sesuai dengan warta perikop KS?
      Apakah isi utama cukup jelas dan tajam?
      Apakah jalan pikiran cukup sederhana dan mudah diikuti?
      Apakah ilustrasi yang diberikan mengena dan menarik?
      Apakah kira-kira waktunya terlalu panjang atau terlampau singkat?

f. Fase Menguasai Naskah Khotbah
         Setelah menuliskan dan membacanya kembali, pada tahap ini pewarta kembali berlatih membawakannya tanpa banyak melihat naskah.
         Membawakannya berarti melatih bagaimana gaya bicara, teknik artikulasi dan bahasa tubuh yang harus dipakai agar pokok-pokok pikiran khotbah tertangkap semakin jelas bagi pendengar.
         Beri tanda yang jelas dalam naskah sehingga kita mudah “melirik” jalan pikirannya: garis bawah, stabilo, cetak tebal, tanda seru/ tanya, dsb
         Sebelum membawakannya: baca sekali lagi secara keseluruhan dan pastikan bagian-bagian pentingnya!
         Teknik dan fase-fase mempersiapkan khotbah ini adalah yang umum digunakan dalam situasi normal.
         Banyak hal yang mesti dipelajari lebih lanjut, misalkan bagaimana mempersiapkan khotbah yang kasualis (tema-tema khusus: perkawinan, pesta nama, ulang tahun, dsb), khotbah untuk situasi mendadak dan darurat (kematian, dsb), juga bagaimana menyiapkan khotbah secara kelompok, dsb.
         Cara yang paling baik adalah selalu belajar dan praktek lapangan!
 

III. BAGAIMANA SEBUAH KHOTBAH DIBAWAKAN
         Di sini kita lebih berbicara mengenai seni publik speaking. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
        Tempat / posisi pewarta dalam membawakan khotbah
        Suara / Vocal (Audible)
        Bahasa Tubuh (Visible)
        Kontak Mata

Sebelum kita masuk ke masalah teknis, dalam membawakan khotbah, setidaknya ada tiga kemungkinan yang bisa dipilih :
        Pertama : menghafal semua lalu membawakannya tanpa teks. Cara ini kurang dianjurkan karena bisa saja karena “situasi tertentu” pewarta dapat lupa….
        Kedua : membawakan khotbah secara bebas dengan menggunakan alur dan kata-kata kunci dari naskah. Cara ini sering digunakan para pengkhotbah yang berpengalaman. Namun jangan lupa: mereka pun tetap mempersiapkannya melalui tahap/fase-fase seperti di atas
        Ketiga : membawakan khotbah secara bebas meski tetap menggunakan naskah lengkap. Banyak pengkhotbah ulung tetap menggunakan cara ini. Dan acara ini sangat dianjurkan untuk pemula.

1. Tempat dan Posisi
         Berbeda dengan homili dalam Gereja, dimana Sabda Allah dan pewartaannya telah mendapat tempat yang ditentukan sebelumnya, dalam berkhotbah seorang pewarta harus memperhatikan masalah : di mana dia harus menyampaikan khotbahnya
         Tujuannya adalah agar semua yang hadir dapat dengan jelas (sekurangnya) mendengar dan melihat dirinya sehingga memahami apa yang hendak disampaikannya.
         Selain posisi tempat, juga perlu diperhatikan adalah bagaimana dia akan membawakan khotbahnya: duduk atau berdiri. Untuk tujuan itu, sebaiknya pewarta datang lebih awal.

2. Bahasa Vocal / Audible
            Teknik Berbicara : suara, pernafasan, resonansi, artikulasi, kecepatan bicara, dan jeda

 a. SUARA
      Peran suara sangat vital untuk menciptakan kontak dan menumbuhkan simpati pendengar. Sering seorang pembicara tidak sadar akan suaranya: baik warna suara, tingkat kekerasannya, maupun pengaruhnya bagi telinga pendengar.
      Tentang suara ada beberapa hal yang harus diperhatikan : Warna suara, Volume, dan Modulasi suara

Warna Suara
      Kenalilah warna suara anda. Bagaimana jika anda menggunakan mikrophone – jika perlu minta operator untuk mensettingkan untuk anda; tambah bass atau treble.

Volume Suara
         Bagaimana volumenya, apakah cukup menjangkau hingga peserta terujung – tidak terlalu keras namun cukup. Pendengar pun bisa “lelah” hanya dengan duduk dan mendengar suara yang sama sekali sulit dicerna, terlalu pelan atau pun terlalu keras.

Modulasi Suara
         Modulasi suara juga harus diperhatikan. Modulasi adalah perubahan ritme intonasi berbicara: dari cepat-lambat; keras-lembut dan tinggi rendah, penekanan-penekanan yang sesuai dengan nuansa kata / kalimat yang diucapkan.
         Dengan modulasi yang tepat pendengar bisa membedakan dan mengenal : ini kalimat tanya atau seruan atau pernyataan, dll
         Modulasi yang tepat menjadikan khotbah semakin hidup, mengesankan dan tidak monoton


 b. PERNAFASAN
         Proses bernafas adalah otomatis, tanpa dikomando – namun apa yang terjadi pada diri pengkhotbah bisa lain. Di saat nafasnya tersengal-sengal karena terlampau bersemangat berbicara hingga terbatuk-batuk (tersedak) maka pendengar akan terganggu.
         Juga jika ia berbicara terlalu cepat dan tinggi maka pernafasan yang baik sangat dibutuhkan.
         Cobalah ambil nafas panjang untuk menenangkan diri. Dengan pernafasan yang baik, ketenangan dan kepercayaan diri meningkat.
 

c. Resonansi, Artikulasi dan Penekanan
         Suara yang jelas dan penuh diperoleh karena resonansi suara yang baik dan artikulasi yang jelas. Setiap bunyi huruf dan kata menjadi penuh daya (powerfull) dan indah tatkala diucapkan dengan resonansi dan artikulasi yang baik.
         Perlu banyak latihan pengucapan vokal dan konsonan serta mengembangkan fleksibilitas pada lidah, bibir dan rahang. Coba ucapkan : a - i – u – e – o dengan jelas dan bulat.
         Penekanan juga sangat diperlukan untuk menekankan makna kata serta terutama kata-kata negasi : tidak, bukan, tidak satu pun, di manapun tidak…..


d. Tempo / Kecepatan Berbicara : Jeda dan Pause
         Mulailah dengan ambil nafas – jeda sejenak dan arahkan pandangan ke seluruh hadirin.
         Selanjutnya, kalimat pertama yang keluar dari mulut pewarta harus jelas, tegas, menarik dan tertangkap oleh semua telinga yang hadir.
         Bagaimana jika seorang membombardir anda dengan rangkaian kata-kata yang tak putus-putusnya? Tentu meski yang dibawakannya menarik, kita tidak akan bisa menangkap dan memahami seluruh yang dikatakannya.
         Anak-anak dan orang tua biasanya membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk menangkap isi khotbah. Karenanya berbicara tidak terburu-buru sangat dibutuhkan.
         Jeda membuat pendengar berkesempatan untuk lebih memahami isi khotbah – disamping berguna bagi pewarta untuk lebih menekankan konsentrasi pada makna dan nuansa kata-kata yang diucapkan.
         Anak-anak dan orang tua biasanya membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk menangkap isi khotbah. Karenanya berbicara tidak terburu-buru sangat dibutuhkan.
         Ada banyak kemungkinan di mana jeda dibutuhkan, misal sesudah satu ungkapan / makna yang penting, sesudah satu illustrasi, sebelum masuk ke bagian penutup – atau juga karena tuntutan psikologis yakni untuk menarik atau menahan nafas.
         Waktu dan suasana juga menjadi pertimbangan saat berbicara. Hari siang saat cuaca semakin panas atau malam hari yang tenang membutuhkan cara berbicara yang berbeda pula. Suasana emosional (kematian, pernikahan, dsb) juga perlu penanganan yang berbeda saat berbicara.
 

e. Sarana Teknis Lainnya
         Sound system / microphone seharusnya menjadi sarana efektif bagi pewartaan apabila dipersiapkan dengan baik dan digunakan dengan tepat – jika tidak malah akan mengganggu pewartaan.

         Beberapa tips :
      Datang lebih awal. Cek peralatan sebelum acara dimulai. Pertimbangkan warna suara dan volumenya
      Atur jarak yang pas antara mic dan mulut
      Kata pertama sangat penting untuk check final.
      Kata pertama sangat penting untuk check final.
      Teks-teks / nyanyian yang seharusnya didoakan bersama, tidak perlu dipimpin menggunakan mic agar tidak menutupi suara umat (mendominasi). Jika ingin ikut berdoa / menyanyi, mundurlah sekurangnya 1 meter dari mic
      Jika terpaksa bersin atau batuk, lakukan jauh dari mic (samping)
      Atur pernafasan dengan baik karena suara nafas bisa jelas terdengar di telinga pendengar.

3. Bahasa Tubuh / Visible
      Dalam membawakan khotbah, umat tidak hanya mendengar namun juga melihat – apalagi manusia lebih cenderung suka melihat daripada mendengar – maka dalam kegiatan ini, mata juga memegang peran penting. Dan itu semua menjadi suatu body language seorang pewarta.
      Seorang peneliti (C. Altmann) mengatakan bahwa simpati pendengar disebabkan oleh 55 % mimik, 38% modulasi suara dan hanya 7% oleh kata-kata yang diucapkan.
      Karenanya bahasa tubuh merupakan suatu yang sangat penting – berbicara lebih keras daripada mikrofon pewarta – meski fungsi dari bahasa tubuh sebenarnya adalah memperjelas kata-kata yang diucapkan.
      Fungsi bahasa tubuh
      Mempertegas apa yang disampaikan dengan kata-kata
      Menumbuhkan perhatian pendengar
      Mengimbaskan perasaan
      Memberi rasa pasti bagi pendengar sekaligus pembicara
      dsb

  1. Tampilan Luar (Kesan Pertama)
      Sebelum pewarta membuka mulutnya, sebenarnya ia sudah berbicara pada pendengarnya lewat penampilannya. Kesan pertama ini begitu penting dan tak terelakkan.
      Apa saja yang perlu diperhatikan dalam penampilan luar ini?

Pakaian
         Prinsip : pakailah pakaian yang sesuai dengan situasi dan lingkungan. Jangan terlalu berlebihan, baik kesederhanaan maupun kemewahannya. Pakaian harus rapi dan sopan serta tidak menabrak etika setempat (misal kematian : warna merah)


Sikap Tubuh
         Suasana batin pewarta juga terasa sebelum ia membuka mulutnya, melalui sikap tubuh saat ia maju ke tempat di mana ia harus mewartakan Sabda Allah.
         Tampilah tegap, tidak tergesa-gesa dan tenang. Hindarkan kesan ada yang tidak beres atau yang terlupakan.

b. Gerak-gerik (Gestikulasi)
         Dalam komunikasi sehari-hari, kerap kata-kata menjadi lebih tegas dan jelas disaat disertai dengan gerak-gerik dan mimik. Gerakan kepala, pancaran wajah, gerakan tangan dan lainnya ikut berbicara.
         Gerak-gerik dapat menyangkut seluruh tubuh – namun dapat pula terbatas pada bagian atas tubuh (atas pinggang), utamanya gerakan kepala dan tangan.Misal bagaimana saat berkata Tidak! Allah! dsb
         Gerak-gerik ini tidaklah pernah boleh dihafalkan! Melainkan harus keluar dengan sendirinya dari kedalaman diri seseorang – kecuali dia sedang bersandiwara.
 

c. Mimik / Ekspresi / Pancaran Wajah
         Wajah adalah anggota tubuh yang sangat istimewa. Syaraf-syaraf halus dan peka membentuk wajah seseorang. Kita bisa tahu suasana hati seseorang hanya dengan melihat wajahnya: gembira, skeptis, bersemangat, sedih, penuh harapan, dsb
         Latihan berekpresi di depan cermin / dalam kelompok sangat penting bagi seorang pewarta. Tujuannya terutama adalah agar kita terbiasa berekspresi secara natural tanpa kesan dibuat-buat.


c. Anjuran-anjuran Praksis
         Jangan pernah merencanakan gerak-gerik dan mimik, berkonsentrasilah pada isi pewartaan
         Penghayatan pribadi atas apa yang diwartakan akan menghasilkan gerak-gerik dan mimik yang seharusnya
         Gerak-gerik hanya efektif jika ditampilkan serentak dengan kata yang diucapkan – bukan terlambat atau mendahului
         Harus ada kecocokan gerakan dan kata-kata
         Gerak-gerik dan mimik harus jelas dan lengkap – mimik yang kaku justru akan membuat pendengar bingung!
         Gerak-gerik dan mimik harus bervariasi dan jangan berlebihan - berlatihlah
 

4. Kontak Mata
         Kontak mata sebenarnya  termasuk dalam ekspresi dan bahasa tubuh – namun perlu dibahas tersendiri mengingat pentingnya kontak mata.
         Kontak mata memungkinkan terciptanya suasana keterbukaan dan kedekatan pribadi. Kedekatan pribadi merupakan lahan subur suatu pewartaan menjadi efektif
         Kontak mata memungkinkan pewarta bereaksi secara tepat atas signal yang datang dari pendengar.
         Sering kontak mata jadi terhalang karena pewarta sangat terikat pada teks.
         Teknik memandang pendengar : pandanglah pada wajah di atas mata (dahi) – jika tidak perlu jangan memandang ke dalam mata pendengar
         Jika merasa tidak pasti dan muncul rasa cemas, pandanglah wajah orang yang kita kenal baik. Tatapan mereka akan menguatkan dan mengembalikan kepercayaan diri kita.
         Pandangan juga harus diarahkan pada seluruh jemaat secara merata, bukan itu-itu saja
         Memahami reaksi pendengar melalui gerak-gerik dan kontak mata*


IV. LATIHAN TEMATIS
         Semua peserta diwajibkan menyiapkan sekurangnya 4 tema khotbah termasuk bacaan Kitab Suci yang dipilih
        Khotbah Masa Prapaskah / Adven
        Khotbah Bulan Maria / Rosario
        Khotbah pralaya (kematian: tutup peti atau 7 hari-an)
        Khotbah untuk acara ulang tahun / perkawinan (midodareni) atau acara syukuran lainnya
         Semua peserta akan membawakan salah satu dari keempat tema tersebut (dipilih oleh pendamping kelompok secara acak)
         Waktu setiap tampilan adalah 15 menit
         Setiap peserta akan membuat evaluasi umpan balik bagi peserta yang membawakan khotbah.
         Form evaluasi disediakan panitia.
         Evaluasi ini bersifat rahasia dan diserahkan kepada peserta yang selesai membawakan khotbahnyas sebagai bahan evaluasi dan koreksi.
         Mari saling membangun!


V. PANDUAN EVALUASI
         Bacaan Kitab Suci dan Tema yang dipilih
        Relevan atau tidak
        Terlalu umum / biasa dibawakan atau sesuatu yang cukup baru / segar
         Isi Khotbah
        Kesesuaian isi dengan tema
        Jalan pikiran : runtut, sederhana, berbelit, tidak jelas
        Kedalaman refleksi
        Illustrasi (jika ada)
        Relevansi dengan hidup pendengar
        Pesan utama tersampaikan dengan baik atau kurang jelas
         Cara Penyampaian
        Pemilihan tempat
        Vocal: volume, modulasi, artikulasi,
        Bahasa Tubuh
        Kontak Mata

         Durasi
        Terlalu lama dan bertele-tele
        Waktu terlalu singkat
        Waktu digunakan secara tepat
         Sikap Pendengar
        Cukup antusias
        Bosan
        Biasa saja



KEPUSTAKAAN

         Komisi Liturgi KWI, Homiletik: Panduan Berkhotbah Efektif, Kanisius, Jogjakarta, 2011

         Prof Dr. BA Pareira O.Carm, Homiletik: Bimbingan Berkhotbah, Dioma, Malang, 2010

         Dr. H. Rothlisberger, Homiletika, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1989

         Nordkamp, L. Balink, H. Slattery, Training for Preaching, Collins Liturgical Publication, England, 1978

         Robert Pagliari CssR, 14 Langkah Berkhotbah secara Dinamis, Dioma, Malang, 2009

         P. Hendrik Njiolah Pr, Katekese Naratif, Pustaka Nusatama, Yogjakarta, 2004