Kamis, 28 Agustus 2008

GEMA TAKBIR DAN LENGKINGAN TEROMPET DI PENGHUJUNG 2006

GEMA TAKBIR DAN LENGKINGAN TEROMPET DI PENGHUJUNG 2006
Refleksi Filosofis Idul Qurban di Penghujung Tahun 2006

Fenomena menarik, Idul Adha 1427 H tahun ini bertepatan dengan penghujung tahun 2006. Idul Qurban 1427 H mengakhiri tahun masehi 2006. Apa maknanya? Melihat langit mendung maka kita bisa berkata akan turun hujan, melihat orang tersenyum maka kita bisa menduga hatinya sedang senang, dsb. Seperti halnya melihat gejala-gejala alam, sayang jika gejala “alam” ini kita lewatkan. Apa yang bisa kita lihat di penghujung tahun 2006 yang bertepatan dengan Hari Raya terbesar kedua bagi umat muslim ini? Rasanya kita dituntun untuk merefleksikan makna Qurban dan Keimanan kita di penghujung tahun 2006 untuk mengaplikasikannya secara lebih realistis di tahun 2007.
Berbicara Idul Qurban tak mungkin lepas dari tokoh utamanya yaitu Nabi Ibrahim AS. Tokoh besar yang diakui oleh sekurangnya tiga agama besar dunia: Yahudi, Islam dan Kristen. Ketiganya memandang sang nabi sebagai Bapa Teladan Kaum Beriman.
Tulisan ini bukanlah tafsir kitab suci. Dan sengaja kami membuang hal-hal yang berbeda tentang Ibrahim dari sudut pandang ketiga agama tersebut, seperti polemik siapa sang anak yang dikorbankan, dll. Tulisan ini secara umum mengajak kita bersama berempati terhadap situasi Ibrahim saat menerima perintah untuk mengurbankan anaknya bagi Allah, dan menarik relevansinya bagi kehidupan kita.
Hanya dengan berempati terhadap situasi Ibrahim, kita akan mampu merasakan dan mengamini bahwa Ibrahim memang sungguh diuji. Mungkin kita terlalu biasa dan merasa tahu bahwa kisah Ibrahim adalah suatu ujian dari Allah belaka. Terhadap kisah Ibrahim kita terbiasa berlagak seperti sutradara yang mengetahui ending cerita: bahwa Allah akan mengutus malaikatNya untuk mengganti qurban anak Ibrahim dengan seekor anak kambing. Situasi akan sangat berbeda jika berani keluar dari diri kita sendiri dan memposisikan diri serta berempati terhadap Ibrahim. Mungkin kita akan dicekam rasa takut dan gemetar yang amat dahsyat. Mengapa demikian?




Berempati Terhadap Situasi Sang Nabi : Allah yang paradoksal

Secara ratio kisah Ibrahim mengandung pelbagai paradoks. Ibrahim mempersembahkan putranya bagi Allah, karena perintah Allah. Ini berarti dari sudut etis, Ibrahim berniat untuk membunuh anaknya – namun dari sudut religius, Ibrahim menjalankan perintah Allah. Ada kontradiksi antara pembunuhan dan qurban persembahan, antara interpretasi religius dan moral etis. Jelas secara moral Ibrahim dianggap sebagai pembunuh kejam, namun kita perlu menduga isi hati Ibrahim bahwa ketika ia menghampiri anaknya dengan pisau di tangan, dia adalah seorang ayah yang dipenuhi rasa kesedihan yang mendalam. Karena dia tidak hanya harus mengabaikan moral etika, namun juga karena ia sangat mencintai keluarganya. Dia adalah manusia yang sadar secara penuh akan tugas kebapakan terhadap anaknya.
Sementara itu, dalam dimensi religius sendiri terdapat pula kontradiksi yang sangat dalam. Allah yang mengerikan - yang menuntut korban diri anak Ibrahim - adalah Allah yang sama yang telah menganugerahkan anak itu kepada Ibrahim secara mengagumkan. Mungkinkah Allah – jika Ia sungguh Allah – menuntut kematian sang anak hanya untuk mengetahui apakah Ibrahim memiliki keberanian moral sekaligus kesalehan paternal untuk menolak?

Apa Yang Dilakukan Ibrahim dalam Situasi Sedemikian ?

Kita patut yakin bahwa Ibrahim adalah manusia pilihan. Keteguhan dan kesetiaannya melampaui kapasitas manusia biasa, sebagaimana peristiwa itu juga melampaui pengertian manusia biasa. Allah-lah yang menuntut putra kesayangan, putra yang sangat dinantikan Ibrahim seorang lelaki tua – putra yang dijanjikan Allah - dan seolah pada sang putra ini seluruh substansi dan aktualitas makna kehidupan Ibrahim diletakkan.
Saat mengangkat pisaunya, Ibrahim dipenuhi rasa takut dan gemetar yang sangat dalam, namun ia tetap sungguh-sungguh mengayunkan pisau itu. Tak ada niat sedikit pun untuk hanya berpura-pura mengorbankan anaknya. Tak terbersit sekilas pun dalam benaknya terpikir bahwa Allah hanya akan mencobai dia, bahwa anak kambing akan diberikan sebagai ganti anaknya. Ibrahim tetap setia dan pasrah sampai detik terakhir, sampai akhirnya kekuatan Allah sendiri yang menyelesaikan apa yang telah dipasrahkan secara total oleh Ibrahim. Pada dirinya sendiri Ibrahim tidak bertindak apa-apa, kecuali tindakan kepasrahan yang tak terbatas, yaitu sungguh-sungguh berniat mengorbankan anaknya sesuai perintah Allah. Ibrahim sungguh-sungguh dan benar-benar mengayunkan pisau itu, hingga detik-detik terakhir pencobaan. Inilah tindakan Kepasrahan Tak Terbatas.

Kepasrahan Tak Terbatas (Infinite Resigtation) dan Lompatan Iman (Leap of Faith)

Tindakan kepasrahan Tak Terbatas adalah tindakan melepas yang terbatas (finitude) dan sementara (temporal), demi yang tak terbatas (infinitude) dan abadi (eternal). Hal ini sangat penting dalam tahap hidup religius karena kelekatan akan hal-hal yang terbatas dan sementara, secara langsung bertentangan dengan ketergantungan individu pada Allah. Karena itu, kelekatan kepada “yang duniawi” menjadi berhala bagi manusia.
Dengan kepasrahan tak terbatas itu, Ibrahim menerima kembali sang anak karena kekuatan Allah. Ibrahim adalah besar karena kelemahannya sekaligus kekuatannya. Karena hanya dalam kelemahan manusialah, kekuatan Allah menjadi efektif. Allah tak dapat dikenal dan dialami lepas dari kondisi pasrah sumarah. Hanya dia yang kehilangan hidupnya, menyelamatkan hidupnya. Hanya manusia yang mengangkat pisaulah yang memperoleh sang anak kembali.
Dan inilah lompatan iman: lompatan ke dalam absurditas. Lompatan ke dalam absurditas menuntut suatu keberanian untuk meninggalkan pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan-perhitungan rasio, dan masuk ke dalam kegelapan. Dengan kata lain, lompatan ke dalam absurditas menuntut keberanian untuk meninggalkan ketergantungan pada diri sendiri dan melulu menggantungkan diri pada kekuatan Allah. Inilah hakekat iman, karena iman bukanlah sekedar masalah persetujuan seseorang atas pernyataan-pernyataan tentang berbagai realitas mitis ataupun dogmatis, melainkan lebih merupakan masalah kehendak, keteguhan hati dan keberanian untuk bersandar melulu pada Allah ketika ia dihadapkan pada situasi hidup yang paling kritis.
Ibrahim mengorbankan anaknya demi Allah. Tindakan itu sama sekali tidak mengurangi cintanya terhadap sang anak. Kepasrahan tak terbatas bukan berarti menghindarkan diri dan menolak yang duniawi. Kepasrahan tak terbatas tidak dimaksudkan untuk memadamkan keinginan/hasrat seseorang akan hal-hal yang terbatas dan sementara. Dalam kisah Ibrahim kita melihat bahwa ketika Ibrahim menyerahkan anaknya kepada Allah, ia sama sekali tidak menolak putranya, cintanya kepada sang anak tidak berkurang sedikit pun. Kepasrahan tak terbatas bukanlah tindakan keacuhan akan yang terbatas dan sementara, melainkan justru menyerahkan secara tak terbatas (total dan terus menerus), dengan tanpa mengurangi kecintaan akan yang terbatas dan sementara. Tindakan memasrahkan ini justru menimbulkan suatu kesadaran abadi akan kecintaan pada yang duniawi, namun dalam hubungan yang sama sekali baru.
Karenanya, ketika memperoleh sang anak kembali, kegembiraan Ibrahim menjadi berlipat ganda. Lebih dari kegembiraan pertama ketika sang anak dilahirkan. Memperoleh sang anak kembali menyebabkan suatu hubungan yang baru dengan sang anak (yang terbatas/fana) dan juga dengan Allah (Yang Absolut), suatu hubungan yang semakin dalam dan personal. Ibrahim semakin menyadari arti sang anak bagi dirinya, sekaligus juga arti Allah bagi dirinya, karena pencobaan Allah. Iman mengaktualkan suatu hubungan yang baru dan personal dengan dunia (yang terbatas) dan dengan Allah (Yang Absolut)
Tindakan kepasrahan tak terbatas dan lompatan iman yang dilakukan Ibrahim ini tentu saja bukan tindakan instan yang sekali jadi dan sama sekali gelap. Kisah pencobaan Ibrahim ini bukanlah satu-satunya kisah pengalaman iman Ibrahim. Sejak awal panggilannya, Ibrahim telah banyak mengalami “lompatan ke dalam absurditas”. Perintah Allah kepada Ibrahim untuk meninggalkan tanah leluhurnya menuju tanah yang dijanjikan kepadanya, pendampingan Allah selama di perjalanan dan dalam menghadapi musuh-musuhnya, serta janji-janji Allah kepada Ibrahim dan kisah-kisah lain - sebenarnya telah membentuk dan terinternalisasi dalam diri Ibrahim sebagai rangkaian pengalaman imannya. Di dalam pengalaman-pengalaman tersebut berkali-kali Ibrahim menemukan dirinya dalam kegelapan iman. Dan berkali-kali pula dialaminya bahwa kekuatan Allah menyelamatkannya. Dan rangkaian pengalaman ini pulalah yang turut berperan dalam kisah puncak yaitu tuntutan Allah untuk mengorbankan anaknya.
Bagi Ibrahim, Allah Perjanjian bukanlah Allah yang senang membatalkan janji-janjiNya sendiri. Dan Allah Pencobaan adalah Allah yang menyediakan segala sesuatu yang IA tuntutkan. Bagi Ibrahim, Allah perjanjian dan Allah pencobaan adalah Allah yang satu. Melalui ketetapan Allah, Ibrahim menjadi ayah putranya dan Bapa Kaum beriman, dan Allah sendirilah yang menjadi penyelenggara dan penyelesai iman. Dan Ibrahim adalah ksatria iman karena dalam dirinya iman terwujud secara sempurna.

Menarik Makna Imperatif atas Peristiwa Ibrahim

Beriman Seperti Ibrahim : Iman dalam Kegelisahan
Dalam satu buku filsafat manusia dewasa ini disebutkan bahwa tema iman dan hidup manusia adalah tema yang kerap digali dan disoroti. Dalam upaya mencari makna hidup, iman kerap menjadi satu-satunya harapan manusia. Sementara di lain pihak kerap pula iman diragukan kemampuannya menjawab pencarian manusia ini. Manusia dalam kegelisahannya mencoba lari pada agama. Manusia berusaha bertobat dengan meletakkan harapan dan kegelisahannya itu di bawah suatu kekuatan adikodrati yang dijanjikan dalam hidup beragama. Namun sayang tak jarang pertobatan itu hanya merupakan pelarian – merupakan pemuasan emosi belaka yang kerap tidak memuaskan, karena agama bukan tempat sampah kegelisahan. Religiositas pun memiliki kegelisahaannya sendiri. Penghayatan iman dalam agama oleh kaum beragama kerap menjadi lamunan dan ilusi yang bisa dipermainkan sesuai kebutuhan: “suatu agama yang berhasil, bukan karena benar melainkan karena cocok bagi pengibadahnya” Dalam konteks ini kita bisa berkata pula bahwa agama adalah candu masyarakat.
Iman sejati tidaklah menina bobokkan manusia. Justru iman yang demikian adalah penipuan diri dengan topeng iman. Iman berarti keberanian melompat ke dalam ketanpajelasan, ke dalam absurditas. Iman adalah harapan akan absurditas, melalui suatu kepasrahan tak terbatas. Kepasrahan manusia untuk menyerahkan segalanya ke tangan Tuhan, dan dengan iman semuanya akan diberikan kembali. Tipe ideal iman semacam ini kita temukan dalam diri Ibrahim, sang ksatria iman. Hanya dalam pencarian penuh kepasrahan tak terbatas, manusia menemukan kesejatian dirinya sebagai ciptaan yang senantiasa haus sebelum beristirahat dalam Allah. Keberanian iman adalah keberanian untuk memilih Allah sebagai yang mendasari seluruh hakekat kemanusiannya, betapapun hal itu tampak absurd. Manusia mau tak mau harus mengandalkan Allah, jika ingin memperoleh makna hidupnya yang ultim.

Ibrahim Bapa Kita Bersama
Berapa kali negara ini telah didera dengan pertumpahan darah yang berisukan agama? Kasus di Poso pun hingga sekarang belum tuntas terselesaikan. Tradisi Pela Gandhong yang sangat kuno dan dihormati pun terabaikan karena fanatisme golongan. Ada banyak kasus telah terjadi dan yang potensial terjadi. Tidakkah kita bisa lebih berdamai dan bertoleransi dengan memandang bahwa kita semua terlahir dari bapa spiritual yang sama yaitu Ibrahim? Bukankah keteladanan iman Ibrahim seharusnya bisa menuntun kita untuk berani meninggalkan perhitungan-perhitungan rasio kalah-menang, untung-rugi dan bersandar melulu pada penyelenggaraan Ilahi? Rupanya kita perlu menggali dan merefleksikan hal ini lebih dalam lagi.

Meneladan Qurban Ibrahim
Meneladan qurban Ibrahim, artinya kita dituntut untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi yang menjadi berhala bagi kita. Makna qurban bukan sekedar berapa banyak jumlah kambing atau sapi yang harus kita berikan. Dibalik semua perhitungan itu, ada hal esensial yang tidak boleh ditinggalkan yaitu unsur persembahan diri dalam kepasrahan tanpa batas kepada Allah. Sebagaimana Ibrahim diperintahkan mengorbankan hal yang berpotensi menjadi berhala bagi dirinya, demikian pula kita dituntut untuk berani menyerahkan totalitas diri dan segala harta serta kelekatan-kelekatan duniawi yang telah maupun berpotensi menjadi berhala bagi kita. Pasrah sumarah, lega lila, lillahi taalla. Bukan karena kita benci hal-hal duniawi, namun justru karena kita mencintainya. Namun dengan kehendak bebas kita berani menyerahkannya kepada Allah dan (berharap) menerimanya kembali dalam suatu hubungan yang lebih baru, lebih dalam, lebih personal dan lebih ilahi – karena Allah telah menyucikannya. Kita berqurban bukan pertama-tama dan terutama berharap - seperti qurban anak Ibrahim agar digantikan dengan anak kambing - namun yang pertama-tama dituntut adalah keikhlasan kita. Ikhlas, bahkan jika yang diminta itu adalah hal yang terpenting dalam hidup kita. Qurban kita tidak bersifat Do Ut Des, Saya memberi supaya Engkau memberi.

Mengidola Ibrahim : Idola yang Tidak Membingungkan
Era sekarang adalah era mencari jati diri. Hal ini terbukti dengan banyak sekali lomba-lomba untuk menjadi dan mencari idola. Dalam jatuh bangun pencarian sang idola, kita sering kecewa dengan idola-idola yang ada. Kerap idola kita adalah idola yang membingungkan, antara ucapan dan tindakan kerap tidak sinkron. Dan di hari yang penuh rahmat ini, kita diajak memasukkan Nabi Ibrahim AS sebagai salah satu nominasi idola kita. Mari kita mengidola Ibrahim sang kekasih Allah. Kenapa kita begitu mengidolakan hal-hal yang masih fana, entah itu artis, tokoh masyarakat, DPR, MPR, ulama, siapapun dia. Selama masih berbadan fana, siapapun masih bisa kembali tergoda. Kita mengidolakan Ibrahim karena memang beliau sudah teruji dan pasti terbukti. Mengidola Ibrahim berarti kita belajar dari keteguhan dan kesetiaannya. Mengidola Ibrahim berarti kita mengambil bagian dari keberaniannya menggantungkan diri seutuhnya pada penyelenggaraan Ilahi – tergantung sepenuhnya kepada Allah. Mengidola Ibrahim berarti kita diajak memperbanyak qurban kita. Di tahun depan kita musti memperbanyak zakat, infaq, sodaqoh, bahkan juga qurban diri kita sendiri, baik qurban pikiran, tenaga, perasaan, empati, waktu, dan sebagainya - demi kecintaan kita kepada Allah. Melulu karena ALLAH. Hanya dengan memperbanyak QURBAN maka kita boleh berharap agar di tahun 2007 Allah berkenan menghindarkan kita, masyarakat kita, negara kita, dunia kita dari bencana-bencana yang memakan banyak KORBAN seperti di tahun 2006 lalu. Insya Allah. Allahuakbar – Allah Maha Besar. Selamat Hari Raya Idul Adha 1427 H.

Surabaya, penghujung 2006
Sutjiharto MM
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat – Teologi
Widya Sasana - Malang

APALAH SAYA INI?????

Mgr. Sutikno, saat baru saja terpilih sebagai uskup Surabaya mengatakan ini : “apalah saya ini sehingga terpilih sebagai uskup....” Kata-kata ini begitu menancap tajam dalam benakku. Orang yang mengenal dan dekat dengan Beliau pasti akan menangkap ketajaman dan kesaratan makna kata-kata itu. Hanya orang yang bisa rendah hati dan mengenal diri sendiri sanggup mengucapkan itu.
Berhari-hari lamanya kata-kata itu selalu teringang dan mengelayuti pikiranku. Ucapan sederhana ini terus mendesak otak dan jiwaku untuk memikirkan ulang makna diri ini: apalah saya ini. Pertanyaannya bukan lagi : siapakah aku ini? - melainkan : Apalah aku ini?
Ucapan monsiegneur mengingatkan saya untuk mengenal diri. Saat berbesar hati, merasa besar, sok pemimpin, sukses, sok kaya, merasa pandai...... juga saat putus asa, kesal, sulit untuk mengerti, minder, ..... kata-kata ini menjadi titik tolak refleksi yang sangat menarik. Apalah saya ini........ kok bisa-bisanya jadi sombong. Apalah saya ini kok sudah merasa sukses, apalah saya ini kok sudah merasa pandai, apalah saya ini kok sudah merasa bijak...... Apalah saya ini kok begitu saja minder, apalah saya ini begitu aja kok sedih, kesal. Apalah saya ini kok gak bisa mengerti barang Cuma segitu aja..... Apalah saya ini....
Ya, “Apalah saya ini” sangat tepat untuk menjadi model spiritualitas bagiku. Pertanyaan yang menjadi dasar spiritualitas dalam menghayati dan melaksanakan hidup. St. Vincentius sangat kental mengajarkan hal ini. Simplicity & humility! Dibalik spritualitas “apalah saya ini” tersimpan kekayaan ajaran kesederhanaan dan kerendahan hati. Dan selanjutnya saya berharap spiritualitas “apalah saya ini” dapat menuntun ke arah selanjutnya. Selalu mengenal diri, mengenal asal dan sekaligus menjadikan tujuan.... Spiritualitas “apalah saya ini” menjadi titik pandang ke arah aktualitas diri yang sederhana dan rendah hati.
Tapi “apalah saya ini?????”. Tulisan-tulisan berikutnya moga-moga bisa menjadi makin jelas ”apalah saya ini......”


Bandara Soekarno Hatta, 24 Juli 2007
Buru-buru pulang, mama sakit lagi

Sabtu, 23 Agustus 2008

Pulang

Sejauh-jauhnya aku pergi, akhirnya pulang juga. Dalam perjalanan kembali ke rumah lagu ini menemani. Suasana semakin rindu...... Aku pulang ke rumah, seperti anak yang hilang kembali ke rumah BapaNya yang penuh maaf.... Namun ini terbalik, ayah yang pulang menemui anak-anaknya... setelah jauh mengembara mencari sesuatu yang tak nyata......
Country road take me home !!!

Jumat, 22 Agustus 2008

To My Dear People

I have been here for you

Negeri di awan

When I have found you....