Minggu, 14 September 2008

TRIDUUM PERAYAAN 20 TAHUN GEREJA SALIB SUCI TROPODO

TRIDUUM PERAYAAN 20 TAHUN GEREJA SALIB SUCI TROPODO

Kata triduum berasal dari bahasa Latin yang berarti Tiga Hari. Dalam kebiasaan Gereja Katolik, Triduum merupakan waktu khusus (selama tiga hari) yang dipilih untuk “PERSIAPAN”, terutama persiapan batin, menjelang suatu hajatan besar atau perayaan tertentu. Bentuk dan isi baku dari masa persiapan / triduum tersebut tidaklah ditentukan oleh Gereja, namun yang jelas tujuannya adalah agar perayaan yang disiapkan semakin dihayati dengan baik dan benar oleh segenap umat.

Kegiatan triduum ini bisa dilakukan baik secara individu atau pun bersama-sama sebagai suatu komunitas (misal oleh umat di suatu wilayah tertentu, organisasi gereja, seminari, sekolah dan sebagainya – bahkan dalam satu keluarga juga bisa).

Umat keuskupan Surabaya, misalnya, pernah melakukan triduum menyambut pentahbisan Uskup Mgr. V. Sutikno dalam bentuk vesper dan perayaan ekaristi. Dalam liturgy Katolik ada beberapa kegiatan triduum yang telah menjadi tradisi baku Gerejani, misalkan Tri Hari Suci (Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Suci) untuk menyambut Hari raya Paska. Triduum yang lain misalnya adalah mendoakan Litani tiga hari berturut-turut menjelang Hari Raya Kenaikan, Triduum menjelang Pentakosta, dsb.

Mengapa sekarang ini kita mengadakan Triduum? Semua dari kita tahu bahwa kita mempersiapkan diri menjelang Perayaan 20 Tahun Paroki tercinta Gereja Salib Suci. Namun apakah kita semua telah mengetahui sejarah Perayaan Salib Suci tersebut? Ada baiknya kita melihat tulisan seorang teman, sdr. Albert Wibisono dalam blognya http://tradisikatolik.blogspot.com yang khusus disumbangkan sebagai kado bagi kita umat Paroki Salib Suci Tropodo, disini penulis melakukan beberapa edit dan tambahan:

PESTA SALIB SUCI : SEBUAH TRADISI GEREJA KATOLIK


Dalam kalender liturgi gereja katolik dikenal beberapa tingkatan prioritas hari liturgi. Yang terutama dari semuanya adalah Trihari Suci Paskah. Berikutnya menyusul Natal, Epifani (Penampakan Tuhan), Kenaikan dan Pentekosta, dan seterusnya. Secara umum ada tiga kategori besar perayaan liturgy, berturut-turut mulai dari yang terutama, yaitu: Hari Raya (Solemnitas), Pesta (Festum) dan Peringatan (Memoriae). Pesta Salib Suci, sesuai namanya, termasuk kategori yang kedua, pesta atau festum, yang wajib dirayakan oleh semua gereja katolik secara umum, namun bagi umat katolik Gereja salib Suci Tropodo pesta ini merupakan Hari Raya.
Pesta Salib Suci yang dalam kalender liturgi gereja katolik disebut “In Exaltatione Sanctae Crucis” dirayakan tiap tahun pada tanggal 14 September.

Pesta ini, berawal dari Yerusalem, yaitu sejak ditemukannya salib yang diyakini sebagai salib asli Kristus oleh Santa Helena, ibu Kaisar Romawi Konstantin. Ada beberapa versi cerita penemuan salib ini yang membuat cerita ini menjadi semacam legenda / mitos. Antara lain adalah cerita tentang ditemukannya sebuah makam di bukit golgota yang didalamnya terdapat tiga buah salib. Apakah ini memang salib “kloter” penyaliban Kristus? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat bukit golgota dikenal pula dengan “bukit tengkorak” dimana peristiwa hukuman salib tidak hanya terjadi pada Yesus saja. Jika memang benar, yang mana dari ketiga salib tersebut yang merupakan salib Yesus? Mengingat Yesus disalibkan bersama dua orang lainnya. Ada cerita bahwa untuk memastikan yang mana dari ketiganya yang merupakan salib Yesus, santa Helena membawa ketiganya kepada orang sakit. Salib mana yang bisa menyembuhkan, maka diyakini salib itulah yang merupakan salib Kristus.

Sejarah mencatat bahwa setelah penemuan salib tersebut, sebuah basilika didirikan oleh Santa Helena di atas Makam Kudus Kristus. Basilika itu lalu diberkati dalam suatu perayaan yang sangat meriah dan khidmat selama dua hari berturut-turut, pada tanggal 13 dan 14 September tahun 335. Pemberkatan dirayakan oleh para uskup yang baru selesai mengikuti Konsili Tirus, ditambah dengan sejumlah besar uskup yang lain.

Tradisi berlanjut dan setiap tahun dirayakanlah Pesta Salib Suci di Yerusalem. Kekhidmatan perayaan ini menarik sejumlah besar biarawan dari Mesopotamia, Syria, Mesir dan dari provinsi-provinsi Romawi lainnya untuk datang ke Yerusalem. Setiap tahunnya, tidak kurang dari 40 uskup menempuh perjalanan jauh dari keuskupan mereka untuk menghadiri perayaan ini. Di Yerusalem pesta ini berlangsung selama 8 hari berturut-turut dan, pada masa itu, pesta ini menjadi suatu perayaan yang hampir sama pentingnya dengan Paskah dan Epifani. Pesta ini kemudian menyebar ke luar Yerusalem, mulai dari Konstantinopel (sekarang Istambul) sampai ke Roma pada akhir abad ketujuh, dan akhirnya masuk ke dalam kalender liturgi gereja katolik sebagai suatu pesta wajib.

Gambar di sebelah adalah pintu masuk ke Basilika Makam Kudus di Yerusalem. Area di dalam basilika ini dikapling-kapling dan digunakan oleh umat katolik bersama-sama dengan ortodoks Yunani, Armenia, Koptik dan Syria. Menarik sekali bahwa jalan masuk ke basilika ini sejak ratusan tahun yang lalu dipercayakan kepada dua keluarga muslim. Keluarga Joudeh memegang kuncinya dan keluarga Nusseibeh menjaga pintunya.


Semoga dengan persiapan dalam Triduum dan perayaan Hari Raya Salib Suci ini, seluruh keluarga Gereja Katolik Paroki Salib Suci Tropodo semakin dewasa dan mampu menjadi "Salib Asli" (bukan mitos) Kristus di tengah-tengah dunia. Selamat!

FX. Sutjiharto

Jumat, 05 September 2008

PULANG KE KOTAMU




/Pulang ke kotamu,
Ada setangkup haru, dalam rindu,
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat,
Penuh selaksa makna……
Terhanyut aku akan nostalgi,
saat kita sering luangkan waktu,
Nikmati bersama suasana jogja…..

Di persimpangan langkah ku terhenti,
Ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera,
Orang duduk bersila, musisi jalanan mulai beraksi,
Seiring laraku kehilanganmu,
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu…….

Walau kini kau tak tiada kan kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk slalu pulang lagi,
Bila hati mulai sepi tiada terobati……

Jogja – katon bagaskara


Hujan pertanyaan saat berjumpa dengan teman-teman kantor sesaat setelah kami kembali dari Jogja: bagaimana ceritanya? bagaimana kabarnya? Bagaimana situasinya? Dsb… dsb…. Banyaknya pertanyaan tersebut menunjukkan banyaknya empati dan perhatian rekan-rekan yang telah mempercayakan bantuan mereka untuk kami salurkan. Namun tentunya kami tidak dapat menjawab satu per satu, selain kami masih lelah. Lelah batin – lelah psikis – lelah fisik – lelah filosofis juga.... Selain itu, juga kami masih perlu untuk mengendapkan semua yang telah kami lihat di sana.
Alhasil, maaf kalau banyak pertanyaan yang kami jawab dengan senyum dan kalimat klise atau sekenanya “Ya seperti yang di koran-koran itu”. Tapi kami berjanji (dan harus) untuk membuatkan laporan lengkap tentang itu semua. Lengkap, dalam arti selain laporan standar – formal pertanggungjawaban keuangan – juga laporan dalam arti kesan dan suasana yang kami alami di sana.
Untuk itulah kami menuliskan ini. Tulisan ini kami buat dalam bentuk sebuah refleksi dan cerita. Refleksi - sejauh keterbatasan kami mencerna sapaan Tuhan lewat sesama. Cerita - karena perjalanan kami memang penuh cerita.

Rabu, 7 Juni 2006 pukul 23.30 kami telah bersiaga di Rexplast, beberapa personil (termasuk saya dan pak PJ) datang agak telat dari yang dijadwalkan karena memang harus membujuk rayu si kecil agar bisa ditinggal. Rombongan terdiri dari tiga kendaraan: dua pick up berisi barang (Joseph dan Juma’in membawa pick up box Rexplast - Stefanus dan Bambang SP membawa pick up box milik SV) dan di Panther berisi PJ, SC, Ibn dan Endro. Setelah berdoa bersama, kami menyatukan tekad untuk berangkat.
Panther, bp PJ menjadi joki awal – saya jatah kedua. Perjalanan yang cukup jauh membuat saya sangat nervous : kuat gak nanti nggantikan pak PJ? Praktis saat berangkat tenaga masih fresh dan masih banyak bahan ocehan yang bisa digelar….. sedangkan nanti saat ganti shift semua pasti udah pada teler.
Pukul 01.30 kami tiba di RM. Duta – Ngawi. Setelah istirahat sejenak kami berangkat kembali dengan mengganti formasi sopir – kecuali Joseph karena gak ada gantinya (salut Mas!). Bambang menggantikan Stefanus, saya menggantikan PJ. Dan ternyata yang saya kuatirkan sama sekali tidak terjadi, sepanjang perjalanan sampai ke Jogja Mas Endro menemani saya dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis (ceile), sharing dan diskusi yang sangat menarik. Tak terasa kita telah sampai di jalan Solo – Jogja pukul 05.15 BBWI – dan suasana gempa mulai terasa……..

Kamis, 8 Juni 2006
Menyusuri jalan Raya Solo – Jogja, kami mengarahkan pandangan ke kanan – kiri jalanan, mencari tanda-tanda bekas gempa. Ada gedung yang hilang beberapa gentengnya, ada rumah yang nyaris roboh, di depan beberapa rumah masih terlihat tenda bekas tempat tidur semalam karena tidak berani tinggal di dalam rumah. Di sana-sini terbaca teriakan “korban gempa, mohon bantuan”. Ada rumah- yang benar-benar roboh dan tinggal puing - meski demikian banyak pula rumah dan gedung yang masih terlihat kokoh. Subuh itu masyarakat telah mulai beraktivitas. Pasar-pasar mashul namun ramai. Penjual sayuran, baju-baju, sepatu dan lain-lain sibuk berbenah memulai kembali hidup yang porak-poranda. Saya tak tahu apa yang mereka obrolkan satu sama lain. Namun dari wajah-wajah kuyu itu nampak bahwa mereka saling berteriak dalam diam. Masih adakah asa tersisa?
Memasuki Klaten, suasana gempa semakin terasa. Selain mengamati bekas gempa, kami juga sibuk mengontak teman yang akan menjadi fasilitator menuju daerah tujuan. Akhirnya ketemu, mantan adik kelasku semasa di SMA Blitar, sekarang dia aktif di LSM Sawo Kecik yang bergerak di bidang perlindungan dan pendidikan anak. Anton Nur – yang dulu diparabani si Londung. Saya bangga dengannya. Salah satu kader terbaik yang dihasilkan alma mater Garum bagi aksi sosial seperti sekarang ini. Kami bertemu di pertigaan Sriningsih. Dia bersama beberapa orang yang juga korban gempa. Mereka semua menyertai perjalanan kami dengan mengendarai sepeda motor.

Sriningsih, 07.45 BBWI
Sepanjang jalan menuju Sriningsih tampak banyak rumah yang roboh dan nyaris roboh. Beberapa tenda dengan label dari “pengelolanya” tampak menghiasi beberapa tempat. Ada dari Palang Merah Indonesia, Bulan Sabit Merah International, dari angkatan darat, dari Negara-negara yang turut mengirimkan “puskesmas” keliling mereka. Tampak bendera negara Jepang, Amerika, Australia, Malaysia, Saudi Arabia, dll. Dunia ikut terjaga......


MAAF REFLEKSI INI TIDAK SEMPAT TERSELESAIKAN ...........
yang bisa anda teruskan hanyalah draft rencana lanjutannya......


- gempa susulan dan bantuan susulan : tanya kenapa? Apakah semua perlu diberi alasan? Dengan antusias dan penuh harap : pak kami masih butuh ini, itu, ini, itu….. nomor telphon, kartu nama, kapan datang lagi???? Dengan antusias saya menjawab: insya allah kami akan kembali……. Dalam hati aku menangis bisakah : saya ini siapa, waktu pun harus curi-curi, bencana yang sedemikian besar – saya ini siapa??? Biar orang lain saja – yang penting kita sudah pernah membantu – setelah itu mari kita lupakan mereka…..
- Dalam sepuluh detik kami menjadi pengemis
- Dulu kami menonton dan mengumpulkan bantuan – sekrang kami harus berteriak-teriak meminta bantuan
- Perjalanan pulang : pick up berdua – bahan pembicaraan udah habis. Saat semuanya terlelap, dalam keheningan sambil mengemudi, air mata ini menetes...... Tuhan Allah Kami!!!!!!