Minggu, 14 September 2008

TRIDUUM PERAYAAN 20 TAHUN GEREJA SALIB SUCI TROPODO

TRIDUUM PERAYAAN 20 TAHUN GEREJA SALIB SUCI TROPODO

Kata triduum berasal dari bahasa Latin yang berarti Tiga Hari. Dalam kebiasaan Gereja Katolik, Triduum merupakan waktu khusus (selama tiga hari) yang dipilih untuk “PERSIAPAN”, terutama persiapan batin, menjelang suatu hajatan besar atau perayaan tertentu. Bentuk dan isi baku dari masa persiapan / triduum tersebut tidaklah ditentukan oleh Gereja, namun yang jelas tujuannya adalah agar perayaan yang disiapkan semakin dihayati dengan baik dan benar oleh segenap umat.

Kegiatan triduum ini bisa dilakukan baik secara individu atau pun bersama-sama sebagai suatu komunitas (misal oleh umat di suatu wilayah tertentu, organisasi gereja, seminari, sekolah dan sebagainya – bahkan dalam satu keluarga juga bisa).

Umat keuskupan Surabaya, misalnya, pernah melakukan triduum menyambut pentahbisan Uskup Mgr. V. Sutikno dalam bentuk vesper dan perayaan ekaristi. Dalam liturgy Katolik ada beberapa kegiatan triduum yang telah menjadi tradisi baku Gerejani, misalkan Tri Hari Suci (Kamis Putih, Jumat Agung dan Sabtu Suci) untuk menyambut Hari raya Paska. Triduum yang lain misalnya adalah mendoakan Litani tiga hari berturut-turut menjelang Hari Raya Kenaikan, Triduum menjelang Pentakosta, dsb.

Mengapa sekarang ini kita mengadakan Triduum? Semua dari kita tahu bahwa kita mempersiapkan diri menjelang Perayaan 20 Tahun Paroki tercinta Gereja Salib Suci. Namun apakah kita semua telah mengetahui sejarah Perayaan Salib Suci tersebut? Ada baiknya kita melihat tulisan seorang teman, sdr. Albert Wibisono dalam blognya http://tradisikatolik.blogspot.com yang khusus disumbangkan sebagai kado bagi kita umat Paroki Salib Suci Tropodo, disini penulis melakukan beberapa edit dan tambahan:

PESTA SALIB SUCI : SEBUAH TRADISI GEREJA KATOLIK


Dalam kalender liturgi gereja katolik dikenal beberapa tingkatan prioritas hari liturgi. Yang terutama dari semuanya adalah Trihari Suci Paskah. Berikutnya menyusul Natal, Epifani (Penampakan Tuhan), Kenaikan dan Pentekosta, dan seterusnya. Secara umum ada tiga kategori besar perayaan liturgy, berturut-turut mulai dari yang terutama, yaitu: Hari Raya (Solemnitas), Pesta (Festum) dan Peringatan (Memoriae). Pesta Salib Suci, sesuai namanya, termasuk kategori yang kedua, pesta atau festum, yang wajib dirayakan oleh semua gereja katolik secara umum, namun bagi umat katolik Gereja salib Suci Tropodo pesta ini merupakan Hari Raya.
Pesta Salib Suci yang dalam kalender liturgi gereja katolik disebut “In Exaltatione Sanctae Crucis” dirayakan tiap tahun pada tanggal 14 September.

Pesta ini, berawal dari Yerusalem, yaitu sejak ditemukannya salib yang diyakini sebagai salib asli Kristus oleh Santa Helena, ibu Kaisar Romawi Konstantin. Ada beberapa versi cerita penemuan salib ini yang membuat cerita ini menjadi semacam legenda / mitos. Antara lain adalah cerita tentang ditemukannya sebuah makam di bukit golgota yang didalamnya terdapat tiga buah salib. Apakah ini memang salib “kloter” penyaliban Kristus? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat bukit golgota dikenal pula dengan “bukit tengkorak” dimana peristiwa hukuman salib tidak hanya terjadi pada Yesus saja. Jika memang benar, yang mana dari ketiga salib tersebut yang merupakan salib Yesus? Mengingat Yesus disalibkan bersama dua orang lainnya. Ada cerita bahwa untuk memastikan yang mana dari ketiganya yang merupakan salib Yesus, santa Helena membawa ketiganya kepada orang sakit. Salib mana yang bisa menyembuhkan, maka diyakini salib itulah yang merupakan salib Kristus.

Sejarah mencatat bahwa setelah penemuan salib tersebut, sebuah basilika didirikan oleh Santa Helena di atas Makam Kudus Kristus. Basilika itu lalu diberkati dalam suatu perayaan yang sangat meriah dan khidmat selama dua hari berturut-turut, pada tanggal 13 dan 14 September tahun 335. Pemberkatan dirayakan oleh para uskup yang baru selesai mengikuti Konsili Tirus, ditambah dengan sejumlah besar uskup yang lain.

Tradisi berlanjut dan setiap tahun dirayakanlah Pesta Salib Suci di Yerusalem. Kekhidmatan perayaan ini menarik sejumlah besar biarawan dari Mesopotamia, Syria, Mesir dan dari provinsi-provinsi Romawi lainnya untuk datang ke Yerusalem. Setiap tahunnya, tidak kurang dari 40 uskup menempuh perjalanan jauh dari keuskupan mereka untuk menghadiri perayaan ini. Di Yerusalem pesta ini berlangsung selama 8 hari berturut-turut dan, pada masa itu, pesta ini menjadi suatu perayaan yang hampir sama pentingnya dengan Paskah dan Epifani. Pesta ini kemudian menyebar ke luar Yerusalem, mulai dari Konstantinopel (sekarang Istambul) sampai ke Roma pada akhir abad ketujuh, dan akhirnya masuk ke dalam kalender liturgi gereja katolik sebagai suatu pesta wajib.

Gambar di sebelah adalah pintu masuk ke Basilika Makam Kudus di Yerusalem. Area di dalam basilika ini dikapling-kapling dan digunakan oleh umat katolik bersama-sama dengan ortodoks Yunani, Armenia, Koptik dan Syria. Menarik sekali bahwa jalan masuk ke basilika ini sejak ratusan tahun yang lalu dipercayakan kepada dua keluarga muslim. Keluarga Joudeh memegang kuncinya dan keluarga Nusseibeh menjaga pintunya.


Semoga dengan persiapan dalam Triduum dan perayaan Hari Raya Salib Suci ini, seluruh keluarga Gereja Katolik Paroki Salib Suci Tropodo semakin dewasa dan mampu menjadi "Salib Asli" (bukan mitos) Kristus di tengah-tengah dunia. Selamat!

FX. Sutjiharto

Jumat, 05 September 2008

PULANG KE KOTAMU




/Pulang ke kotamu,
Ada setangkup haru, dalam rindu,
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat,
Penuh selaksa makna……
Terhanyut aku akan nostalgi,
saat kita sering luangkan waktu,
Nikmati bersama suasana jogja…..

Di persimpangan langkah ku terhenti,
Ramai kaki lima, menjajakan sajian khas berselera,
Orang duduk bersila, musisi jalanan mulai beraksi,
Seiring laraku kehilanganmu,
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu…….

Walau kini kau tak tiada kan kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk slalu pulang lagi,
Bila hati mulai sepi tiada terobati……

Jogja – katon bagaskara


Hujan pertanyaan saat berjumpa dengan teman-teman kantor sesaat setelah kami kembali dari Jogja: bagaimana ceritanya? bagaimana kabarnya? Bagaimana situasinya? Dsb… dsb…. Banyaknya pertanyaan tersebut menunjukkan banyaknya empati dan perhatian rekan-rekan yang telah mempercayakan bantuan mereka untuk kami salurkan. Namun tentunya kami tidak dapat menjawab satu per satu, selain kami masih lelah. Lelah batin – lelah psikis – lelah fisik – lelah filosofis juga.... Selain itu, juga kami masih perlu untuk mengendapkan semua yang telah kami lihat di sana.
Alhasil, maaf kalau banyak pertanyaan yang kami jawab dengan senyum dan kalimat klise atau sekenanya “Ya seperti yang di koran-koran itu”. Tapi kami berjanji (dan harus) untuk membuatkan laporan lengkap tentang itu semua. Lengkap, dalam arti selain laporan standar – formal pertanggungjawaban keuangan – juga laporan dalam arti kesan dan suasana yang kami alami di sana.
Untuk itulah kami menuliskan ini. Tulisan ini kami buat dalam bentuk sebuah refleksi dan cerita. Refleksi - sejauh keterbatasan kami mencerna sapaan Tuhan lewat sesama. Cerita - karena perjalanan kami memang penuh cerita.

Rabu, 7 Juni 2006 pukul 23.30 kami telah bersiaga di Rexplast, beberapa personil (termasuk saya dan pak PJ) datang agak telat dari yang dijadwalkan karena memang harus membujuk rayu si kecil agar bisa ditinggal. Rombongan terdiri dari tiga kendaraan: dua pick up berisi barang (Joseph dan Juma’in membawa pick up box Rexplast - Stefanus dan Bambang SP membawa pick up box milik SV) dan di Panther berisi PJ, SC, Ibn dan Endro. Setelah berdoa bersama, kami menyatukan tekad untuk berangkat.
Panther, bp PJ menjadi joki awal – saya jatah kedua. Perjalanan yang cukup jauh membuat saya sangat nervous : kuat gak nanti nggantikan pak PJ? Praktis saat berangkat tenaga masih fresh dan masih banyak bahan ocehan yang bisa digelar….. sedangkan nanti saat ganti shift semua pasti udah pada teler.
Pukul 01.30 kami tiba di RM. Duta – Ngawi. Setelah istirahat sejenak kami berangkat kembali dengan mengganti formasi sopir – kecuali Joseph karena gak ada gantinya (salut Mas!). Bambang menggantikan Stefanus, saya menggantikan PJ. Dan ternyata yang saya kuatirkan sama sekali tidak terjadi, sepanjang perjalanan sampai ke Jogja Mas Endro menemani saya dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis (ceile), sharing dan diskusi yang sangat menarik. Tak terasa kita telah sampai di jalan Solo – Jogja pukul 05.15 BBWI – dan suasana gempa mulai terasa……..

Kamis, 8 Juni 2006
Menyusuri jalan Raya Solo – Jogja, kami mengarahkan pandangan ke kanan – kiri jalanan, mencari tanda-tanda bekas gempa. Ada gedung yang hilang beberapa gentengnya, ada rumah yang nyaris roboh, di depan beberapa rumah masih terlihat tenda bekas tempat tidur semalam karena tidak berani tinggal di dalam rumah. Di sana-sini terbaca teriakan “korban gempa, mohon bantuan”. Ada rumah- yang benar-benar roboh dan tinggal puing - meski demikian banyak pula rumah dan gedung yang masih terlihat kokoh. Subuh itu masyarakat telah mulai beraktivitas. Pasar-pasar mashul namun ramai. Penjual sayuran, baju-baju, sepatu dan lain-lain sibuk berbenah memulai kembali hidup yang porak-poranda. Saya tak tahu apa yang mereka obrolkan satu sama lain. Namun dari wajah-wajah kuyu itu nampak bahwa mereka saling berteriak dalam diam. Masih adakah asa tersisa?
Memasuki Klaten, suasana gempa semakin terasa. Selain mengamati bekas gempa, kami juga sibuk mengontak teman yang akan menjadi fasilitator menuju daerah tujuan. Akhirnya ketemu, mantan adik kelasku semasa di SMA Blitar, sekarang dia aktif di LSM Sawo Kecik yang bergerak di bidang perlindungan dan pendidikan anak. Anton Nur – yang dulu diparabani si Londung. Saya bangga dengannya. Salah satu kader terbaik yang dihasilkan alma mater Garum bagi aksi sosial seperti sekarang ini. Kami bertemu di pertigaan Sriningsih. Dia bersama beberapa orang yang juga korban gempa. Mereka semua menyertai perjalanan kami dengan mengendarai sepeda motor.

Sriningsih, 07.45 BBWI
Sepanjang jalan menuju Sriningsih tampak banyak rumah yang roboh dan nyaris roboh. Beberapa tenda dengan label dari “pengelolanya” tampak menghiasi beberapa tempat. Ada dari Palang Merah Indonesia, Bulan Sabit Merah International, dari angkatan darat, dari Negara-negara yang turut mengirimkan “puskesmas” keliling mereka. Tampak bendera negara Jepang, Amerika, Australia, Malaysia, Saudi Arabia, dll. Dunia ikut terjaga......


MAAF REFLEKSI INI TIDAK SEMPAT TERSELESAIKAN ...........
yang bisa anda teruskan hanyalah draft rencana lanjutannya......


- gempa susulan dan bantuan susulan : tanya kenapa? Apakah semua perlu diberi alasan? Dengan antusias dan penuh harap : pak kami masih butuh ini, itu, ini, itu….. nomor telphon, kartu nama, kapan datang lagi???? Dengan antusias saya menjawab: insya allah kami akan kembali……. Dalam hati aku menangis bisakah : saya ini siapa, waktu pun harus curi-curi, bencana yang sedemikian besar – saya ini siapa??? Biar orang lain saja – yang penting kita sudah pernah membantu – setelah itu mari kita lupakan mereka…..
- Dalam sepuluh detik kami menjadi pengemis
- Dulu kami menonton dan mengumpulkan bantuan – sekrang kami harus berteriak-teriak meminta bantuan
- Perjalanan pulang : pick up berdua – bahan pembicaraan udah habis. Saat semuanya terlelap, dalam keheningan sambil mengemudi, air mata ini menetes...... Tuhan Allah Kami!!!!!!

Kamis, 28 Agustus 2008

GEMA TAKBIR DAN LENGKINGAN TEROMPET DI PENGHUJUNG 2006

GEMA TAKBIR DAN LENGKINGAN TEROMPET DI PENGHUJUNG 2006
Refleksi Filosofis Idul Qurban di Penghujung Tahun 2006

Fenomena menarik, Idul Adha 1427 H tahun ini bertepatan dengan penghujung tahun 2006. Idul Qurban 1427 H mengakhiri tahun masehi 2006. Apa maknanya? Melihat langit mendung maka kita bisa berkata akan turun hujan, melihat orang tersenyum maka kita bisa menduga hatinya sedang senang, dsb. Seperti halnya melihat gejala-gejala alam, sayang jika gejala “alam” ini kita lewatkan. Apa yang bisa kita lihat di penghujung tahun 2006 yang bertepatan dengan Hari Raya terbesar kedua bagi umat muslim ini? Rasanya kita dituntun untuk merefleksikan makna Qurban dan Keimanan kita di penghujung tahun 2006 untuk mengaplikasikannya secara lebih realistis di tahun 2007.
Berbicara Idul Qurban tak mungkin lepas dari tokoh utamanya yaitu Nabi Ibrahim AS. Tokoh besar yang diakui oleh sekurangnya tiga agama besar dunia: Yahudi, Islam dan Kristen. Ketiganya memandang sang nabi sebagai Bapa Teladan Kaum Beriman.
Tulisan ini bukanlah tafsir kitab suci. Dan sengaja kami membuang hal-hal yang berbeda tentang Ibrahim dari sudut pandang ketiga agama tersebut, seperti polemik siapa sang anak yang dikorbankan, dll. Tulisan ini secara umum mengajak kita bersama berempati terhadap situasi Ibrahim saat menerima perintah untuk mengurbankan anaknya bagi Allah, dan menarik relevansinya bagi kehidupan kita.
Hanya dengan berempati terhadap situasi Ibrahim, kita akan mampu merasakan dan mengamini bahwa Ibrahim memang sungguh diuji. Mungkin kita terlalu biasa dan merasa tahu bahwa kisah Ibrahim adalah suatu ujian dari Allah belaka. Terhadap kisah Ibrahim kita terbiasa berlagak seperti sutradara yang mengetahui ending cerita: bahwa Allah akan mengutus malaikatNya untuk mengganti qurban anak Ibrahim dengan seekor anak kambing. Situasi akan sangat berbeda jika berani keluar dari diri kita sendiri dan memposisikan diri serta berempati terhadap Ibrahim. Mungkin kita akan dicekam rasa takut dan gemetar yang amat dahsyat. Mengapa demikian?




Berempati Terhadap Situasi Sang Nabi : Allah yang paradoksal

Secara ratio kisah Ibrahim mengandung pelbagai paradoks. Ibrahim mempersembahkan putranya bagi Allah, karena perintah Allah. Ini berarti dari sudut etis, Ibrahim berniat untuk membunuh anaknya – namun dari sudut religius, Ibrahim menjalankan perintah Allah. Ada kontradiksi antara pembunuhan dan qurban persembahan, antara interpretasi religius dan moral etis. Jelas secara moral Ibrahim dianggap sebagai pembunuh kejam, namun kita perlu menduga isi hati Ibrahim bahwa ketika ia menghampiri anaknya dengan pisau di tangan, dia adalah seorang ayah yang dipenuhi rasa kesedihan yang mendalam. Karena dia tidak hanya harus mengabaikan moral etika, namun juga karena ia sangat mencintai keluarganya. Dia adalah manusia yang sadar secara penuh akan tugas kebapakan terhadap anaknya.
Sementara itu, dalam dimensi religius sendiri terdapat pula kontradiksi yang sangat dalam. Allah yang mengerikan - yang menuntut korban diri anak Ibrahim - adalah Allah yang sama yang telah menganugerahkan anak itu kepada Ibrahim secara mengagumkan. Mungkinkah Allah – jika Ia sungguh Allah – menuntut kematian sang anak hanya untuk mengetahui apakah Ibrahim memiliki keberanian moral sekaligus kesalehan paternal untuk menolak?

Apa Yang Dilakukan Ibrahim dalam Situasi Sedemikian ?

Kita patut yakin bahwa Ibrahim adalah manusia pilihan. Keteguhan dan kesetiaannya melampaui kapasitas manusia biasa, sebagaimana peristiwa itu juga melampaui pengertian manusia biasa. Allah-lah yang menuntut putra kesayangan, putra yang sangat dinantikan Ibrahim seorang lelaki tua – putra yang dijanjikan Allah - dan seolah pada sang putra ini seluruh substansi dan aktualitas makna kehidupan Ibrahim diletakkan.
Saat mengangkat pisaunya, Ibrahim dipenuhi rasa takut dan gemetar yang sangat dalam, namun ia tetap sungguh-sungguh mengayunkan pisau itu. Tak ada niat sedikit pun untuk hanya berpura-pura mengorbankan anaknya. Tak terbersit sekilas pun dalam benaknya terpikir bahwa Allah hanya akan mencobai dia, bahwa anak kambing akan diberikan sebagai ganti anaknya. Ibrahim tetap setia dan pasrah sampai detik terakhir, sampai akhirnya kekuatan Allah sendiri yang menyelesaikan apa yang telah dipasrahkan secara total oleh Ibrahim. Pada dirinya sendiri Ibrahim tidak bertindak apa-apa, kecuali tindakan kepasrahan yang tak terbatas, yaitu sungguh-sungguh berniat mengorbankan anaknya sesuai perintah Allah. Ibrahim sungguh-sungguh dan benar-benar mengayunkan pisau itu, hingga detik-detik terakhir pencobaan. Inilah tindakan Kepasrahan Tak Terbatas.

Kepasrahan Tak Terbatas (Infinite Resigtation) dan Lompatan Iman (Leap of Faith)

Tindakan kepasrahan Tak Terbatas adalah tindakan melepas yang terbatas (finitude) dan sementara (temporal), demi yang tak terbatas (infinitude) dan abadi (eternal). Hal ini sangat penting dalam tahap hidup religius karena kelekatan akan hal-hal yang terbatas dan sementara, secara langsung bertentangan dengan ketergantungan individu pada Allah. Karena itu, kelekatan kepada “yang duniawi” menjadi berhala bagi manusia.
Dengan kepasrahan tak terbatas itu, Ibrahim menerima kembali sang anak karena kekuatan Allah. Ibrahim adalah besar karena kelemahannya sekaligus kekuatannya. Karena hanya dalam kelemahan manusialah, kekuatan Allah menjadi efektif. Allah tak dapat dikenal dan dialami lepas dari kondisi pasrah sumarah. Hanya dia yang kehilangan hidupnya, menyelamatkan hidupnya. Hanya manusia yang mengangkat pisaulah yang memperoleh sang anak kembali.
Dan inilah lompatan iman: lompatan ke dalam absurditas. Lompatan ke dalam absurditas menuntut suatu keberanian untuk meninggalkan pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan-perhitungan rasio, dan masuk ke dalam kegelapan. Dengan kata lain, lompatan ke dalam absurditas menuntut keberanian untuk meninggalkan ketergantungan pada diri sendiri dan melulu menggantungkan diri pada kekuatan Allah. Inilah hakekat iman, karena iman bukanlah sekedar masalah persetujuan seseorang atas pernyataan-pernyataan tentang berbagai realitas mitis ataupun dogmatis, melainkan lebih merupakan masalah kehendak, keteguhan hati dan keberanian untuk bersandar melulu pada Allah ketika ia dihadapkan pada situasi hidup yang paling kritis.
Ibrahim mengorbankan anaknya demi Allah. Tindakan itu sama sekali tidak mengurangi cintanya terhadap sang anak. Kepasrahan tak terbatas bukan berarti menghindarkan diri dan menolak yang duniawi. Kepasrahan tak terbatas tidak dimaksudkan untuk memadamkan keinginan/hasrat seseorang akan hal-hal yang terbatas dan sementara. Dalam kisah Ibrahim kita melihat bahwa ketika Ibrahim menyerahkan anaknya kepada Allah, ia sama sekali tidak menolak putranya, cintanya kepada sang anak tidak berkurang sedikit pun. Kepasrahan tak terbatas bukanlah tindakan keacuhan akan yang terbatas dan sementara, melainkan justru menyerahkan secara tak terbatas (total dan terus menerus), dengan tanpa mengurangi kecintaan akan yang terbatas dan sementara. Tindakan memasrahkan ini justru menimbulkan suatu kesadaran abadi akan kecintaan pada yang duniawi, namun dalam hubungan yang sama sekali baru.
Karenanya, ketika memperoleh sang anak kembali, kegembiraan Ibrahim menjadi berlipat ganda. Lebih dari kegembiraan pertama ketika sang anak dilahirkan. Memperoleh sang anak kembali menyebabkan suatu hubungan yang baru dengan sang anak (yang terbatas/fana) dan juga dengan Allah (Yang Absolut), suatu hubungan yang semakin dalam dan personal. Ibrahim semakin menyadari arti sang anak bagi dirinya, sekaligus juga arti Allah bagi dirinya, karena pencobaan Allah. Iman mengaktualkan suatu hubungan yang baru dan personal dengan dunia (yang terbatas) dan dengan Allah (Yang Absolut)
Tindakan kepasrahan tak terbatas dan lompatan iman yang dilakukan Ibrahim ini tentu saja bukan tindakan instan yang sekali jadi dan sama sekali gelap. Kisah pencobaan Ibrahim ini bukanlah satu-satunya kisah pengalaman iman Ibrahim. Sejak awal panggilannya, Ibrahim telah banyak mengalami “lompatan ke dalam absurditas”. Perintah Allah kepada Ibrahim untuk meninggalkan tanah leluhurnya menuju tanah yang dijanjikan kepadanya, pendampingan Allah selama di perjalanan dan dalam menghadapi musuh-musuhnya, serta janji-janji Allah kepada Ibrahim dan kisah-kisah lain - sebenarnya telah membentuk dan terinternalisasi dalam diri Ibrahim sebagai rangkaian pengalaman imannya. Di dalam pengalaman-pengalaman tersebut berkali-kali Ibrahim menemukan dirinya dalam kegelapan iman. Dan berkali-kali pula dialaminya bahwa kekuatan Allah menyelamatkannya. Dan rangkaian pengalaman ini pulalah yang turut berperan dalam kisah puncak yaitu tuntutan Allah untuk mengorbankan anaknya.
Bagi Ibrahim, Allah Perjanjian bukanlah Allah yang senang membatalkan janji-janjiNya sendiri. Dan Allah Pencobaan adalah Allah yang menyediakan segala sesuatu yang IA tuntutkan. Bagi Ibrahim, Allah perjanjian dan Allah pencobaan adalah Allah yang satu. Melalui ketetapan Allah, Ibrahim menjadi ayah putranya dan Bapa Kaum beriman, dan Allah sendirilah yang menjadi penyelenggara dan penyelesai iman. Dan Ibrahim adalah ksatria iman karena dalam dirinya iman terwujud secara sempurna.

Menarik Makna Imperatif atas Peristiwa Ibrahim

Beriman Seperti Ibrahim : Iman dalam Kegelisahan
Dalam satu buku filsafat manusia dewasa ini disebutkan bahwa tema iman dan hidup manusia adalah tema yang kerap digali dan disoroti. Dalam upaya mencari makna hidup, iman kerap menjadi satu-satunya harapan manusia. Sementara di lain pihak kerap pula iman diragukan kemampuannya menjawab pencarian manusia ini. Manusia dalam kegelisahannya mencoba lari pada agama. Manusia berusaha bertobat dengan meletakkan harapan dan kegelisahannya itu di bawah suatu kekuatan adikodrati yang dijanjikan dalam hidup beragama. Namun sayang tak jarang pertobatan itu hanya merupakan pelarian – merupakan pemuasan emosi belaka yang kerap tidak memuaskan, karena agama bukan tempat sampah kegelisahan. Religiositas pun memiliki kegelisahaannya sendiri. Penghayatan iman dalam agama oleh kaum beragama kerap menjadi lamunan dan ilusi yang bisa dipermainkan sesuai kebutuhan: “suatu agama yang berhasil, bukan karena benar melainkan karena cocok bagi pengibadahnya” Dalam konteks ini kita bisa berkata pula bahwa agama adalah candu masyarakat.
Iman sejati tidaklah menina bobokkan manusia. Justru iman yang demikian adalah penipuan diri dengan topeng iman. Iman berarti keberanian melompat ke dalam ketanpajelasan, ke dalam absurditas. Iman adalah harapan akan absurditas, melalui suatu kepasrahan tak terbatas. Kepasrahan manusia untuk menyerahkan segalanya ke tangan Tuhan, dan dengan iman semuanya akan diberikan kembali. Tipe ideal iman semacam ini kita temukan dalam diri Ibrahim, sang ksatria iman. Hanya dalam pencarian penuh kepasrahan tak terbatas, manusia menemukan kesejatian dirinya sebagai ciptaan yang senantiasa haus sebelum beristirahat dalam Allah. Keberanian iman adalah keberanian untuk memilih Allah sebagai yang mendasari seluruh hakekat kemanusiannya, betapapun hal itu tampak absurd. Manusia mau tak mau harus mengandalkan Allah, jika ingin memperoleh makna hidupnya yang ultim.

Ibrahim Bapa Kita Bersama
Berapa kali negara ini telah didera dengan pertumpahan darah yang berisukan agama? Kasus di Poso pun hingga sekarang belum tuntas terselesaikan. Tradisi Pela Gandhong yang sangat kuno dan dihormati pun terabaikan karena fanatisme golongan. Ada banyak kasus telah terjadi dan yang potensial terjadi. Tidakkah kita bisa lebih berdamai dan bertoleransi dengan memandang bahwa kita semua terlahir dari bapa spiritual yang sama yaitu Ibrahim? Bukankah keteladanan iman Ibrahim seharusnya bisa menuntun kita untuk berani meninggalkan perhitungan-perhitungan rasio kalah-menang, untung-rugi dan bersandar melulu pada penyelenggaraan Ilahi? Rupanya kita perlu menggali dan merefleksikan hal ini lebih dalam lagi.

Meneladan Qurban Ibrahim
Meneladan qurban Ibrahim, artinya kita dituntut untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi yang menjadi berhala bagi kita. Makna qurban bukan sekedar berapa banyak jumlah kambing atau sapi yang harus kita berikan. Dibalik semua perhitungan itu, ada hal esensial yang tidak boleh ditinggalkan yaitu unsur persembahan diri dalam kepasrahan tanpa batas kepada Allah. Sebagaimana Ibrahim diperintahkan mengorbankan hal yang berpotensi menjadi berhala bagi dirinya, demikian pula kita dituntut untuk berani menyerahkan totalitas diri dan segala harta serta kelekatan-kelekatan duniawi yang telah maupun berpotensi menjadi berhala bagi kita. Pasrah sumarah, lega lila, lillahi taalla. Bukan karena kita benci hal-hal duniawi, namun justru karena kita mencintainya. Namun dengan kehendak bebas kita berani menyerahkannya kepada Allah dan (berharap) menerimanya kembali dalam suatu hubungan yang lebih baru, lebih dalam, lebih personal dan lebih ilahi – karena Allah telah menyucikannya. Kita berqurban bukan pertama-tama dan terutama berharap - seperti qurban anak Ibrahim agar digantikan dengan anak kambing - namun yang pertama-tama dituntut adalah keikhlasan kita. Ikhlas, bahkan jika yang diminta itu adalah hal yang terpenting dalam hidup kita. Qurban kita tidak bersifat Do Ut Des, Saya memberi supaya Engkau memberi.

Mengidola Ibrahim : Idola yang Tidak Membingungkan
Era sekarang adalah era mencari jati diri. Hal ini terbukti dengan banyak sekali lomba-lomba untuk menjadi dan mencari idola. Dalam jatuh bangun pencarian sang idola, kita sering kecewa dengan idola-idola yang ada. Kerap idola kita adalah idola yang membingungkan, antara ucapan dan tindakan kerap tidak sinkron. Dan di hari yang penuh rahmat ini, kita diajak memasukkan Nabi Ibrahim AS sebagai salah satu nominasi idola kita. Mari kita mengidola Ibrahim sang kekasih Allah. Kenapa kita begitu mengidolakan hal-hal yang masih fana, entah itu artis, tokoh masyarakat, DPR, MPR, ulama, siapapun dia. Selama masih berbadan fana, siapapun masih bisa kembali tergoda. Kita mengidolakan Ibrahim karena memang beliau sudah teruji dan pasti terbukti. Mengidola Ibrahim berarti kita belajar dari keteguhan dan kesetiaannya. Mengidola Ibrahim berarti kita mengambil bagian dari keberaniannya menggantungkan diri seutuhnya pada penyelenggaraan Ilahi – tergantung sepenuhnya kepada Allah. Mengidola Ibrahim berarti kita diajak memperbanyak qurban kita. Di tahun depan kita musti memperbanyak zakat, infaq, sodaqoh, bahkan juga qurban diri kita sendiri, baik qurban pikiran, tenaga, perasaan, empati, waktu, dan sebagainya - demi kecintaan kita kepada Allah. Melulu karena ALLAH. Hanya dengan memperbanyak QURBAN maka kita boleh berharap agar di tahun 2007 Allah berkenan menghindarkan kita, masyarakat kita, negara kita, dunia kita dari bencana-bencana yang memakan banyak KORBAN seperti di tahun 2006 lalu. Insya Allah. Allahuakbar – Allah Maha Besar. Selamat Hari Raya Idul Adha 1427 H.

Surabaya, penghujung 2006
Sutjiharto MM
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat – Teologi
Widya Sasana - Malang

APALAH SAYA INI?????

Mgr. Sutikno, saat baru saja terpilih sebagai uskup Surabaya mengatakan ini : “apalah saya ini sehingga terpilih sebagai uskup....” Kata-kata ini begitu menancap tajam dalam benakku. Orang yang mengenal dan dekat dengan Beliau pasti akan menangkap ketajaman dan kesaratan makna kata-kata itu. Hanya orang yang bisa rendah hati dan mengenal diri sendiri sanggup mengucapkan itu.
Berhari-hari lamanya kata-kata itu selalu teringang dan mengelayuti pikiranku. Ucapan sederhana ini terus mendesak otak dan jiwaku untuk memikirkan ulang makna diri ini: apalah saya ini. Pertanyaannya bukan lagi : siapakah aku ini? - melainkan : Apalah aku ini?
Ucapan monsiegneur mengingatkan saya untuk mengenal diri. Saat berbesar hati, merasa besar, sok pemimpin, sukses, sok kaya, merasa pandai...... juga saat putus asa, kesal, sulit untuk mengerti, minder, ..... kata-kata ini menjadi titik tolak refleksi yang sangat menarik. Apalah saya ini........ kok bisa-bisanya jadi sombong. Apalah saya ini kok sudah merasa sukses, apalah saya ini kok sudah merasa pandai, apalah saya ini kok sudah merasa bijak...... Apalah saya ini kok begitu saja minder, apalah saya ini begitu aja kok sedih, kesal. Apalah saya ini kok gak bisa mengerti barang Cuma segitu aja..... Apalah saya ini....
Ya, “Apalah saya ini” sangat tepat untuk menjadi model spiritualitas bagiku. Pertanyaan yang menjadi dasar spiritualitas dalam menghayati dan melaksanakan hidup. St. Vincentius sangat kental mengajarkan hal ini. Simplicity & humility! Dibalik spritualitas “apalah saya ini” tersimpan kekayaan ajaran kesederhanaan dan kerendahan hati. Dan selanjutnya saya berharap spiritualitas “apalah saya ini” dapat menuntun ke arah selanjutnya. Selalu mengenal diri, mengenal asal dan sekaligus menjadikan tujuan.... Spiritualitas “apalah saya ini” menjadi titik pandang ke arah aktualitas diri yang sederhana dan rendah hati.
Tapi “apalah saya ini?????”. Tulisan-tulisan berikutnya moga-moga bisa menjadi makin jelas ”apalah saya ini......”


Bandara Soekarno Hatta, 24 Juli 2007
Buru-buru pulang, mama sakit lagi

Sabtu, 23 Agustus 2008

Pulang

Sejauh-jauhnya aku pergi, akhirnya pulang juga. Dalam perjalanan kembali ke rumah lagu ini menemani. Suasana semakin rindu...... Aku pulang ke rumah, seperti anak yang hilang kembali ke rumah BapaNya yang penuh maaf.... Namun ini terbalik, ayah yang pulang menemui anak-anaknya... setelah jauh mengembara mencari sesuatu yang tak nyata......
Country road take me home !!!

Jumat, 22 Agustus 2008

To My Dear People

I have been here for you

Negeri di awan

When I have found you....


Senin, 07 Juli 2008

Quo Vadis Web Ikan Segar???


“…. Harus kalian pahami sekarang, dengan lebih jelas dari yang sudah-sudah, bahwa Tuhan memanggil kalian untuk melayani Dia dalam dan dari aktivitas sehari-hari, aktivitas sekuler dan kemasyarakatan kehidupan manusia. Dia menunggu kita setiap hari, di laboratorium, di ruang bedah, di barak-barak tentara, di universitas, di pabrik, di bengkel, di ladang, di rumah dan di dalam luasnya panorama kerja. Pahami ini baik-baik : ada sesuatu yang kudus, sesuatu yang ilahi tersembunyi dalam situasi yang paling biasa, dan terserah kalian masing-masing bagaimana menemukannya…..”

“Khotbah : Dengan Bergairah Mencintai Dunia” Msgr. Escriva


SALAM SEGAR !!!!

Deo Gratias dan Salute! Kami haturkan atas kerja bersama menghelat reuni akbar 60th alma mater tercinta. Selain karena Kehendak dan BerkatNya, perhatian, kerja keras, bantuan moril-spiritual dan komitmen dari semua pihak – baik yang hadir secara fisik maupun yang menyertakan batin serta kasihnya – meniscayakan reuni tersebut berjalan secara luar biasa. Keberhasilan reuni ini tentunya bukan klimaks dari segala potensi kita, para alumni Garum. Keberhasilan reuni akbar 60th hendaknya justru menjadi Tanda Allah bahwa kita mampu bersatu dan berbuat sesuatu yang diluar kemampuan kita masing-masing sebagai individu. Apa yang telah terjadi dan kita raih tersebut hendaknya memacu kita untuk berani bangkit dari rasa pesimisme yang berlebihan, dan mengupayakan rangkaian klimaks-klimaks yang lain. Kita harus berani dan berkomitmen untuk berbuat dan bekerja bagi kepentingan Alma Mater kita, kepentingan saudara-saudara kandung kita yang lain, kepentingan masyarakat sekitar kita, kepentingan Panggilan Allah dan Gereja-Nya yang kudus.

Dan demi tujuan-tujuan itu pula Ikatan Keluarga Alumni Seminari Garum (Ikan Segar) dibentuk. Terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada saya untuk menikmati tugas ini. Dengan bantuan Allah dan dukungan yang tulus dari para alumni semua, saya yang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa ini, berani menerima tugas mulia ini. Ada begitu banyak hal yang bisa kita kerjakan bersama. Dan tentunya, ada saatnya pula kita akan diuji dengan ke-tidaksukses-sukses-an ; sebelum itu terjadi, atas nama pengurus, saya pribadi meminta maaf karena pasti itu terjadi karena kekhilafan kami. Meski demikian, kami berharap agar kita bersama mampu menangkap Sarana Ilahi tersebut untuk semakin bersatu, semakin giat bekerja dan belajar, semakin saling mengerti dan memahami satu sama lain – tanpa perlu saling mencari kambing hitam.

Saat ini kami sedang menyusun susunan dan progam kerja Pengurus Pusat Ikan Segar. Beberapa telah kami pilih karena harus mulai bekerja menindak lanjuti hasil reuni. Pengurus tersebut antara lain :
- Bendahara (Rm. Eka Winarno dan Sdr. Antonius Mangisengi) yang harus segera membuka rekening atas nama Ikan Segar,
- Komisi A-A, yaitu komisi yang membidangi hubungan Alumni dan Alma Mater (Sdr. Haryanto Kian)
- Komisi IT (Sdr. Vincentius Prijantara) yang membawahi dua sub komisi, yaitu subkom website (Sdr. Andreas Indrianto) dan subkom Data (belum ditentukan).
Selanjutnya, setelah kepengurusan pusat terbentuk, kami merencanakan mengadakan semacam “raker” bersama para pengurus regio untuk menyusun progam bersama Ikan Segar. Waktu dan tempat akan kita tentukan kemudian.

Saat ini, komisi A-A akan menindaklanjuti “PR” reuni yang belum tuntas, yaitu pengumpulan uang lelang foto Mgr. Sutikno Pr dan pengumpulan dana sumbangan pembangunan perpustakaan Seminari Garum – serta beberapa progam kerja yang berhubungan dengan Seminari Garum, termasuk kegiatan-kegiatan yang masih dalam rangkaian 60th Seminari Garum : open house di bulan September 2008.

Komisi IT, rupanya telah langsung bekerja, bahkan sebelum reuni dilaksanakan. Hasil kerja mereka yang pertama adalah membuat database Ikan Segar. Bersumber dan bersinergi dengan database reuni Kepanjen, database dari Kagum, Wagu, database pra reuni 1 Mei 2008 di Gereja Algons dan database hasil reuni akbar 60th Seminari, kita akan mempunyai data yang kurang lebih lengkap, valid, namun tidak signifikan untuk “disalahgunakan” oleh pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab. Dalam beberapa pekan ke depan, bersamaan dengan pembubaran panitia reuni akbar, akan dibahas kebijakan bersama mengenai sharing dan publikasi data ini.

Hasil kerja berikutnya dari team IT yang langsung bisa kita nikmati adalah pembuatan website www.ikansegar.org ini. Website ini didedikasikan sebagai salah satu sarana komunikasi dan informasi para alumni. Karenanya pengelolaan web ini merupakan kerja yang harus selalu up date. Untuk itu dibutuhkan person yang memiliki cita rasa seni tinggi namun tidak terjebak dalam kerja indah sesaat. Person yang mempunyai “usus panjang” karena dituntut untuk ada waktu, ada ide segar, ada kesabaran, ada kerendahan hati, ada instink bisnis yang tajam, dan ada kemampuan berkomunikasi dengan semua pihak. Dan kami merasa sdr. Andreas Indrianto merupakan person yang tepat untuk memandunya. Tentunya, beliau membutuhkan sokongan dan bantuan dari rekan-rekan alumni semua yang lebih paham mengenai dunia maya ini. Silakan berkoordinasi dengan si “tuyul” yang telah berambut panjang ini.

Sekilas isi website ini akan memuat beragam hal, yang tentunya dengan prioritas-prioritas sesuai dengan tujuan website ini dibuat. Ada rubrik berita dan kegiatan Ikan Segar baik di tingkat pusat maupun regio-regio. Tolong teman-teman dan pengurus regio berkenan mengirimkan berita-berita mereka ke pengelola website ini. Ada pula galeri foto, baik tentang reuni, nostalgia, dan kegiatan-kegiatan Ikan Segar. Di web ini kita bisa pula saling berchatting ria dengan sesama member alumni. Dan lebih dalam lagi, situs ini juga menghubungkan kita (link) ke blogger-blogger alumni yang sangat beragam nuansanya. Kami yakin masih banyak alumni yang mempunyai blog, namun belum “berani” di-link-kan ke web ini. Ada yang bilang, “aku sungkan mas, karena isinya foto-foto keluarga”. Lho apa salahnya? Justru sangat baik dong. Inikan ikatan KELUARGA. Dan sudah saatnya keluarga kita sertakan. Ayo Mas disambungkan! Juga untuk rekan-rekan yang belum punya blog (seperti saya), mari belajar menulis, belajar merenung, belajar berekspresi, belajar apa saja…….. (I will!!!). Terus terang saya sangat kagum menelusuri blogger-blogger rekan-rekan. Ada banyak nuansa seperti pelangi yang saling melengkapi – dan betapa indahnya!

Dari segi komersial, dengan porsi khusus, web ini juga akan menampung iklan-iklan offline maupun online. Iklan-iklan dari (usaha) para alumni bisa ditampilkan di sini. Kategori iklannya seperti apa, akan ditentukan lebih lanjut. Yang jelas, ada sejumlah rupiah yang harus dibayar (dijamin tidak mahal). Dana yang diterima akan langsung masuk ke rekening Ikan Segar, untuk kelangsungan organisasi dan bayar hosting website ini.
Dalam website ini, (rencananya) kita bisa juga membeli merchandise-merchandise khas Ikan Segar secara online. Yang masih hangat, kita punya rekanan VCD kegiatan reuni akbar yang lalu, kaos reuni akbar buatan Seminari Garum, mungkin juga buku-buku karangan alumni maupun seminari Garum. Dan nantinya ada banyak merchandise lain, seperti stiker logo Ikan Segar, kaos Ikan Segar, jaket, dan lain-lain.
Bahkan lebih dahsyat lagi, hasil brain storming dengan team IT, kita juga akan mencoba jadi broker beberapa situs penjual buku international, terima jasa down load buku, music klasic, dsb, dsb, dsb….. tolong dibantu untuk merealisasikannya. Silakan selalu klik www.ikansegar.org

Dan untuk melengkapi sarana komunikasi dan informasi tentang Seminari Garum yang telah kita miliki, yaitu milis alumni Seminari Garum dan web Ikansegar.org ini, tim IT pada waktunya akan mempersembahkan satu hosting khusus untuk situs seminari-garum.co.id. Domain ini telah dimiliki oleh Mas Gatut dan menurut Beliau pernah ditawarkan ke Seminari Garum, namun karena saat itu SDM di seminari belum memungkinkan maka belum bisa diterima. Design sederhana web tersebut akan dibuat oleh Tim IT – dan selanjutnya melalui komisi A-A kita akan melakukan pelatihan pengelolaan website ke pihak Seminari Garum agar mampu mengupdate web sejauh diperlukan. Tujuan kami, setidaknya, jika seseorang ingin mendapatkan informasi mengenai Seminari Garum, dan mencarinya di mesin pencari, yang muncul adalah benar-benar web Seminari Garum, bukan web alumni, bukan pula blogger romo pembina seminari. Ini jika pihak seminari berkenan.

Saudara-saudaraku Ikan Segar,
Mungkin saat-saat ini gairah kita masih segar karena suasana reuni masih hangat ; gairah bernostalgia masih membara. Sampai kapan bara itu mampu bertahan? Rasanya diperlukan suatu landasan yang lebih dalam untuk mempertahankan jalinan kita untuk tetap segar – tetap “ON”. Untuk itu, ijinkan kami, yang bukan siapa-siapa ini, merujuk ke khotbah salah seorang santo idola penulis, sebagaimana dikutip di atas. Apakah arti semua yang kita lakukan ini? Apakah hal fana ini membawa kita kepada kekudusan dan kepada surga? Apakah yang kita lakukan ini sia-sia saja?

Saudaraku, meski sudah dibilang alumni, sebagai awam atau pun imam, sesungguhnya kita tidaklah terpisah dan hidup sendiri-sendiri di belantara kehidupan ini. Selepas dari kandungan bunda pengasuh, kita tetap belajar dalam seminari kehidupan. Bersama ribuan dan jutaan penghuni dunia yang lain, termasuk pula bersama saudara-saudara yang pernah dikandung oleh bunda pengasuh yang sama, kita berjalan mengupayakan kekudusan. Tuhan memanggil kita semua dalam peristiwa sehari-hari yang sangat biasa. Dalam kerja kita, dalam keluarga kita, dan tentunya juga dalam kebersamaan kita di Ikan Segar ini.

Temans, di sela membuat tulisan yang kacau balau ini, saya membaca buku rekan-rekan Wagu saat menyambut reuni akbar 50th Seminari Garum, “Membuka Topeng Seminari(s)”. Sungguh bagus epilog dari almarhum Romo Mangun Wijaya di buku tersebut. Namun bagi saya, tulisan-tulisan para alumni di dalamnya sungguh sangat menyentuh, sangat jujur, sangat dalam dan benar terasa keluar dari hati dan perenungan yang penuh cinta kepada Seminari Garum beserta hitam putih dan haru birunya. Terbayang wajah-wajah penulis yang kebetulan saya kenal, Doni – yang dulu (menurut saya) sukar dibedakan ngomong serius atau guyon, namun sekarang telah menjadi penulis yang sangat produktif sekaligus imam yang matang. Juga “Cuncun” Tri Kuncoro Yekti yang detail mereview kelakuan-kelakuan hitam diseminari, membuat kenangan yang sempat terlupakan itu mendapatkan artinya yang baru. Juga Yosie, Tommy, Yustinus Sunyoto, Wendy, Nangtok, Andik, Dian Sano, Partono, dan Andika Bayu semua membuat mata ini berkaca-kaca menerawang ke jalan setapak menuju kapel rumah bunda pengasuh ………. “Biarlah lidah ini melekat ke langit-langitku, jika aku melupakan dikau – wahai Seminari Garum!”


Deo Gratias !


5 Juli 2008


FX. Sutjiharto