Senin, 12 Oktober 2009

MARTA DAN MARIA

MARTA & MARIA
“Suruhlah dia membantu aku…”


LUKAS 10 : 38 – 42
10:38 Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya.
10:39 Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya,
10:40 sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."
10:41 Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,
10:42 tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."


Dari perikop di atas kita tahu bahwa pada awalnya, Martalah yang menerima Yesus di rumahnya, bukan Maria. Dengan jelas dikatakan bahwa inisiatif itu datang dari Marta. “Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya”. Mungkin karena merasa bahwa dialah yang mengundang Yesus, maka Marta merasa harus bertindak sebagai tuan rumah yang baik. Dan memang apa yang dilakukan oleh Marta sangatlah baik. Dia, dikatakan “sibuk sekali melayani”. Bukan hanya sibuk, namun juga sibuk sekali (…….). Sekali lagi bahwa apa yang dilakukan Marta tidaklah keliru. Jika keliru, sejak semula pasti Yesus telah menegur dia.

Persoalan muncul atas inisiatif Marta. Mungkin karena Maria begitu terpesona mendengarkan Yesus sehingga tidak menyadari “kesibukan” saudaranya. Merasa diacuhkan, maka Marta pun meminta Yesus yang menegurnya. Rupanya Yesus pun menaruh perhatian atas apa yang dilakukan Marta. Sambil mengajar, dia sempat memperhatikan sekelilingnya, sehingga Marta pun bisa menyampaikan keluhannya.

Ada nada protes, merasa benar, iri dan jengkel dari perkataan Marta : "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku."
Merasa benar, sering membuat orang terjebak dalam situasi membandingkan diri dengan orang lain. Merasa benar – membuat kita mudah iri dan menyalahkan orang lain. Merasa benar membuat kita lebih bersusah payah dan merasa orang lain lebih rendah dari yang kita lakukan. Merasa benar membuat penilaian bahwa yang kita lakukan ini lebih benar (lebih susah, lebih berharga, lebih bermakna, lebih penting, lebih….. lebih…..) – sesuai dengan “standart” pengukuran kita dan masyarakat. Merasa benar membuahkan iri dan kejengkelan, “kenapa cuma saya yang bersusah payah untuk melakukan yang seharusnya ”

Apa yang dilakukan Marta sangatlah benar sesuai dengan sopan santun sosial dan tradisi masyarakat Yahudi waktu itu, bahwa tempat wanita adalah di dapur. Jika ada tamu maka perlu kita persilakan, dijamu, dilayani dengan baik dan sopan. Setidaknya tempat duduk disiapkan, minuman disiapkan. Kalau datang dari jauh, maka mungkin juga perlu dijamu dengan makan, dan sebagainya. Sangat manusiawi dan sangat menghormati. Namun ada satu hal yang dilupakan Marta, yaitu yang datang ini adalah Yesus. Rupanya Marta masih menerima Yesus yang sebatas tamu terhormat luar biasa saja (sangat luar biasa sehingga dia sibuk dengan apa yang harus dihidangkan). Cerita-cerita tentang kuasa Yesus sebagaimana diceritakan Lukas di perikop-perikop sebelumnya sejak bab 4 (bahwa Yesus mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit, Kuasa Yesus dalam mengajar, Yesus memberi makan lima ribu orang, dsb) ternyata tidak membuat pandangannya mampu melihat Yesus sesungguhnya. Dia menerima Yesus sebagai Mesias sebagaimana banyak dikatakan orang, yaitu Mesias secara manusiawi. Marta tak mampu melihat sisi lain yang ada pada diri Yesus. Dan ketidakmampuan ini membuat dia merasa lebih benar dibandingkan Maria. Ketidakmampuan ini membuatnya terjebak dalam situasi “menyalahkan” orang lain, bahkan meminta Tuhan untuk menegur orang lain. “Suruhlah dia membantu aku”. Rupanya kerap juga kita mendoakan orang lain sesuai dengan kemauan kita. Bukan apa yang Tuhan mau. Karena kita merasa lebih benar.

Sebaliknya, Maria pun mungkin tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah lebih baik dari pada yang dilakukan Marta. Maria hanya tahu bahwa dia merasa ada sesuatu yang lain dengan tamu yang satu ini sehingga dia musti menyambut sebagai tamu terhormat yang berbeda pula. Kepekaan ini membuat Maria sejak awal “terperangkap” dengan tamu yang diterima oleh saudari-nya. Penghormatan yang lebih personal. Maria seolah terperangkap dengan pribadi Yesus sehingga tidak mau meninggalkan / kehilangan sedetik pun waktu berharganya bersama Yesus. “Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya”.

Maria seolah tidak tahu atau tidak menyadari bahwa yang dilakukannya itu adalah pilihan yang lebih benar. Jika Maria tahu bahwa yang dia lakukan lebih benar dibanding dengan apa yang dilakukan Marta, mungkin teguran itu justru akan datang dari Maria untuk Marta. Senada dengan yang dikatakan Marta, mungkin Maria akan berkata langsung kepada Marta – atau meminta Yesus untuk menegur Marta:” "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku sibuk melayani Engkau? Suruhlah dia duduk di sini bersama kita.". Karena begitu terpesona dan menghormati Yesus, Maria seolah “tidak sempat” berpikir yang lain. Dia juga tidak menyadari bahwa Marta “sibuk sekali” mengurus hal yang lain. Maria sangat “takut” kehilangan detik-detik moment bersama Yesus, dan detik-detik itu akan selalu terus bersamanya, “tak akan diambil daripadanya”. Pengajaran Yesus di rumah saudarinya itu terus akan melekat dalam benak dan ingatannya selamanya dan bahkan akan merubah cara hidupnya………. Mampukah kita membuat diri "terjebak" dalam keintiman bersama Yesus secara personal seperti Maria???


Rexplast, Selasa 06 Oktober 2009
Ulang Tahun Perkawinan yang ke-13 tahun
Semoga abadi selamanya…..



Illustrasi : foto dan peristiwa

Tidak ada komentar: