Kamis, 26 Januari 2012

AKU MELANGKAH LAGI 2



Kembali lagu lama Vina Pandu mengalun lirih di gendang telingaku:

“ Aku melangkah lagi, lewat jalan nan sepi,

Perlahan tapi pasti, mengiringi alun melody……”

Lagu ini pernah menemani saat titik balik hidupku yang pertama, saat aku memutuskan untuk berhenti dari hidup membiara, kira-kira 16 tahun lalu. Dan tepat sejak saat itu, saat aku memutuskan keluar dari Seminari Tinggi CM, aku tinggal di Surabaya dan bekerja di PT. Rexplast.

Mengapa aku memutuskan keluar? Itu terceritakan di AKU MELANGKAH LAGI 1, yang kebetulan masih saya simpan hard copynya – namun belum saya upload di blog ini… dan sekarang, saya mencoba merefleksikan diri kembali selama perjalananku di PT. Rexplast. Refleksi senantiasa berguna sebagai bentuk syukur dan pembelajaran diri menuju kedewasaan. Kata Socrates: hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tak layak untuk dihidupi……..

Saat itu statusku masih sebagai Frater. Calon Romo, calon Pastor. Dan karena keinginan menggebu yang sangat mendesak, kebosanan yang bertimbun, kegairahan menjawab tantangan hidup: “kira-kira aku kalau tidak di sini (seminari) apa bisa hidup ya?” – akhirnya provinsialat CM mengijinkan aku untuk mengambil waktu “terminal”. Istirahat di luar seminari selama satu tahun dan setelahnya boleh mengajukan diri kembali atau keluar dari panggilan. Dan selama kurun waktu satu tahun tersebut aku diwajibkan untuk secara rutin menjalani bimbingan rohani dengan seorang imam CM.


Alhasil aku keluar. Pembimbing rohaniku Romo Alexander Sokalesmana CM. Dan saat bimbingan bulan pertama aku bertanya: “Romo, saya pulang ke Lasem atau di Surabaya saja?”. “Kamu di Surabaya saja. Aku carikan pekerjaan. Kebetulan aku kenal seorang Ibu, manager satu pabrik yang butuh karyawan”, kata Romo Alex. Akhirnya aku masuk ke Rexplast. Sejak saat itu, Rexplast menjadi bagian dari hidupku. Sejarah keluargaku bergandeng erat dengan sejarah Rexplast hingga saat ini….

Di PT. Rexplast aku masuk tanggal 21 Agustus 1995 di bagian personalia, dengan jabatan Personel Administration. Pimpinanku, yang juga baru masuk tanggal 3 Agustus sebelumnya, adalah Bp. Mujib Ambar. Beliau baru masuk tanggal 3 Agustus sebelumnya. Gajiku saat itu sejumlah Rp 250.000. Pekerjaanku sehari-hari adalah menghandle bagian umum (General Affairs) dan Karyawan Harian. Menginput absensi, lembur, cuti, medical, dan gaji karyawan harian adalah makanan pokokku sehari-hari waktu itu. Hidup terasa indah, actual. Bekerja berlama-lama hingga larut malam tidak menjadi soal. Masuk di hari Minggu juga terkadang harus aku jalani jika terpaksa ada lembur karyawan yang belum terinput atau slip gaji yang belum ditulis. Harus, karena gaji dibayarkan mingguan – jadi setiap Selasa paling lambat, rekapan lembur sudah musti masuk ke akunting. Diperiksa, diproses, dan hari Rabu diambil uang tunai dari bank – kemudian hari Kamis harus dibagikan satu per satu ke karyawan harian.

Selang waktu berjalan. Aku sangat menikmati pekerjaan di personalia. Kami berdua merupakan team yang kompak – dan Pak Mujib banyak memberikan pengarahan kepadaku dalam bekerja. Kembali ke seminari? Pikiran itu sudah tidak terlintas lagi. Tuhan berbicara lain. Pastor Pembimbingku malah meninggalkan imamatnya dan aku seperti anak liar yang hilang…….. di saat itu aku juga sedang dekat dengan seorang karyawan di PT Rexplast. Dan tepat setahun setelah aku di Rexplast kami menikah. Jawaban akhir atas tahun terminalku, kujawab dengan sepucuk surat undangan………..

Sebelum menikah aku mendapat tentangan kuat dari orang tua. Maklum, mereka sangat berharap aku akan kembali ke seminari menuntaskan panggilanku. Aku harus banting tulang untuk bisa mendapatkan uang untuk membayar DP rumah. Syarat dari orangtua: aku boleh menikah kalau sudah punya rumah. Apa yang aku lakukan? Tuhan membukakan jalan. Suatu ketika seorang satpam, Mas Jarno, mengeluh ingin membeli televise namun tidak punya uang. Kebetulan aku pernah diajak seorang teman ke daerah Perak dimana ada barang-barang elektronik dijual dengan “harga miring”, katanya sih “barang dari kapal”. Hitung punya hitung akhirnya aku dan mas Jarno sepakat berbisnis. Aku belikan satu televise dan mas Jarno membayar secara “kredit lunak” kepadaku. Setelah terima gaji hariannya (dari aku), dia menyisihkan sebagian sebagai angsuran. Masih teringat dan terasa bagaimana sakitnya punggungku menggoncengkan mas jarno dari Perak ke Brebek sambil membawa sebuah televise besar (saya lupa berapa inchi, namun cukup besar ukuran saat itu). Berawal dari Jarno, banyak teman lain rupanya berminat. Akhirnya, hampir setiap hari ada saja yang memesan: kulkas, televise, handycam, home teather, dan sebagainya…….. bagaimana modalnya? Alhamdullilah – Puji Tuhan – Deo Gratias, seorang saudara calon istriku bekerja di sebuah gudang elektronik di kawasan Kedungdoro. Gudang ini memasok barang elektronik ke toko-toko. Aku dikenalkan dengan bosnya. Dan dengan jaminan dia aku boleh mengambil barang dengan harga diskon dan kredit pula. Dan yang terpenting : barang diantar ke Rexplast! Aku buatkan satu pricelist, harga tunai dan harga kreditnya. Alhasil, jika dibandingkan hargaku dengan harga toko, aku lebih murah. Pesanan makin banyak, bukan hanya dari kalangan bawah, kalangan menengah dan atas pun membeli dari aku : Pak Pudy, Pak Suwondo (kalau tidak salah), Pak Ngari, Pak Hasanudin, Pak Totok, dan banyak kawan lain……… Setiap sore, selepas jam kerja, di pos satpam sudah ada satu atau dua barang pesanan yang harus diambil pemiliknya….. aku tahu hal seperti ini akan menimbulkan masalah. Apakah iri atau pun memang dipandang kurang sehat karena pos satpam seperti jadi showroom elektronik! Pelan-pelan bisnis ini harus aku akhiri – setelah puluhan bahkan ratusan barang tersalurkan dengan baik. Ada yang kredit enam bulan ada yang satu tahun dengan bunga bersahabat…… puji Tuhan dari situ aku bisa membayar DP rumah senilai Rp 16.000.000 (aku beli rumah tipe 27 seharga Rp 27 jt). Aku jadi menikah.

Setelah menikah, kami menempati rumah mungil yang sampai sekarang masih kami huni. Istriku sudah tidak bekerja, namun kami mempunyai sebuah usaha sampingan lain: membuka toko kelontong di rumah (teras depan) dan juga kami berdagang macam-macam tas wanita serta sepatu. Kami ambil dari Tanggulangin (langsung pembuatnya) dan kami pasarkan ke teman-teman istri saya. Ada juga yang dikirim ke Jember, Nganjuk, dan beberapa tempat lainnya. Kebetulan kakak-kakak istri bersedia membantu, seperti yang tinggal di kompleks perumahan Angkatan darat Jember. Wah laris manis melayani ibu-ibu Chandra Kirana…… lumayan.

Anak Pertama kami lahir: Maria Angelia Nirmala Dewi. Lengkap sudah hidup ini. Namun Tuhan senantiasa membuka jalanNya. Suatu siang aku melintas di depan ruang ibu Gwenny (GM). Di dalamnya ada beberapa manager. Aku dipanggil dan ditanya: kamu bisa bahasa Inggris? Saya jawab: bisa sedikit. Lalu diajak berbicara dalam bahasa Inggris. Aku jawab sebisaku. Kebetulan di seminari waktu itu ada English Day, jadi lumayanlah gak malu-maluin amat…… sudah begitu saja. Beberapa hari kemudian oleh Pak Mujib Ambar, aku diminta ke psikolog untuk test. Waduh, ini lagi. Jujur aku sebenarnya bosen ketemu sama yang namanya test macem beginian. Bukan sombong. Sejak masuk Seminari Garum (Setingkat SLTA) kami sudah ditest beginian. Kelas empat di Garum ditest lagi bakat minat. Masuk seminari tinggi (S1) ditest lagi. Ditingkat tiga (semester enam) ditest lagi. Di tingkat akhir (semester delapan) test lagi. Sampai apal model test skolastik macam beginian. Kalau gak gambar yang harus diteruskan, model gerigi, model gambar pohon, dsb…… Aku pun punya segebok bukunya yang bisa dipelajari…… skolastik sekali! Namun test itu harus aku jalani – done! Hasilnya? Aku tidak tahu. Yang jelas suatu hari aku dipindah menjadi purchasing assistant. Saat itu menjelang tahun 1997 – saat krisis moneter dimulai……

Masih teringat jelas (kalau mengingat ini aku meneteskan airmata. Thanks Bu Gwenny!) di hari-hari pertamaku sebagai purchasing, Ibu Gwenny memanggilku dan mengajariku beberapa istilah seperti CIF, CNF dan FOB. Aku harus memegang pembelian import. Salah satu supplierku adalah dari Rexplast Singapore untuk membeli HDPE Marlex. Waktu itu, kami belum bisa membeli langsung ke pembuatnya (saat itu masih bernama Phillips Petroleum – sekarang Chevron Phillips setelah merger dengan Chevron). Berbicara bahasa Inggris dengan orang Singapore membuatku seperti orang tolol. Kalau tidak salah namanya Catherine. Judes banget. Kalau bicara campur logat mandarin dan cepat sekali. Mati aku! Kadang-kadang dia marah-marah tanpa sebab. Sering aku hanya yas-yes yas-yes saja gak ngerti apa maksudnya. Setelah dia selesai bicara, saya suruh dia membuat fax (belum musim email saat itu). Aku kelimpungan. Sore hari aku cari kursus bahasa Inggris di kawasan Urip Sumoharjo Surabaya. Gak puas juga karena gurunya ngomongnya jelas sekali (medok Jawanya timbang Inggrisnya!). Aku ambil kursus di EF Surabaya Plasa (waktu itu Delta Plasa namanya). Lumayan. Tapi rasanya masih kurang. Bagaimana caranya? Aku beli headphone, saya buat kabel panjang (sekitar 3 meter) dan saya colok ke televise ruang tamu. Setiap nonton film barat, aku keraskan volumenya. Aku perhatikan suaranya. Akhirnya hampir tiap malam aku tidur di ruang tamu ditemani artis-artis barat………

Krisis moneter semakin hebat. Banyak pabrik gulung tikar. Di Jakarta seorang teman supplier meminta bantuan untuk mencarikan pembeli material PMMA (Akrilic) – jumlahnya 15 ton. Pemiliknya sudah nyaris bangkrut. Cari-cari, akhirnya PT. Illufak mau terima. Aku bertemu Bp. Yusuf di rumahnya sambil membawa contoh barang. Pembayaran setelah barang diterima. Puji Tuhan. Saat itu saya mendapatkan keuntungan sekitar Rp 10 jt. Aku berani melakukan karena Rexplast tidak memakai material PMMA. Juga teman yang di Jakarta mendesak minta bantuan urgent. Ya sudah. Dan uang hasil penjualan itu bisa menjadi satu mobil Suzuki Forsa tahun 86! Ceritanya saya titip beli ke kakak istri yang sedang kulakan mobil bekas di Jakarta. Pas kerusuhan Mei terjadi, dia di bandara mau pulang. Ternyata di sana ada seorang yang membawa lengkap BPKB dan mobilnya untuk dijual tunai. Pas dah! Dia pulang mengendarai Forsa 86. Namun aku tidak jadi makelar material setelah itu. Dan yang terpenting, mobil itu akhirnya menjadi modal awal pembelian mobil selanjutnya: jual – pakai sebagai uang muka dan ambil kredit…… setelah krisis moneter, mobil itu terjual dengan harga Rp 39 juta!

Krisis moneter mengajarkan banyak hal. Di saat itu, kami bersama management dan akunting harus bahu membahu mengatur cash flow pembayaran. Semua minta dibayar cash – di muka malah. LC tidak lagi diterima di luar negeri – sekurangnya harus dijaminkan ke bank lain di luar negeri (confirmed LC). Biaya LC menjadi sangat mahal. Produsen dalam negeri ikut-ikutan jual dalam mata uang USD. Mata uang ini melonjak dari Rp 2.500 menjadi bahkan Rp 15.000 saat itu. Gila benar. Setiap hari ada saja gejolak bahan baku yang harus segera diatasi……

Belum lagi terjadi mala petaka di bagian import. Dokumen yang seharusnya kadaluarsa 2 tahun diperiksa Bea Cukai dan ada masalah. Singkat cerita, ada kong kalikong antara oknum BC dengan EMKL. Tambah bayar yang cukup besar harus diselesaikan. Untungnya itu dokumen masa lalu sebelum aku di purchasing. Dan berkaca dari kejadian itu, aku bertekad untuk tidak tergantung dengan yang namanya EMKL atau PPJK. Aku memberanikan diri mengambil kursus resmi ahli kepabeanan di departemen keuangan. Kursus setiap sore selama 6 bulan dan aku lulus dengan predikat tiga besar. Diantara sekitar 60 peserta – yang lulus hanya 45 orang saja. Puji Tuhan.

Masa krisis telah berlalu. Perbaikan ekonomi mulai bertumbuh. Aku diangkat menjadi Purchasing Officer. Negosiasi, mengatur pembayaran, mengatur pengiriman, memantau kedatangan, ekprot-import menjadi aktivitas rutinku. Departemen purchasing aku bagi menjadi tiga bagian: teknik, non teknik dan Raw Material. Aku sendiri menghandle bagian material sedangkan bagian teknik dan non teknik dihandle anak buahku. Proses perjumpaan dengan supplier menimbulkan relasi yang cukup baik. Sering pertanyaan-pertanyaan bukan sekedar menyangkut masalah pekerjaan namun juga hal-hal pribadi lainnya. Ada dua hal masalah pribadi yang membuat hidupku berubah karena relasiku dengan para supplier itu.

Yang pertama, adalah supplier kebanyakan yang setelah alot berdiskusi biasanya bertanya: dulu backgroundnya apa? Aku jawab filsafat – teologi. Waduh mereka terperangah keheranan. Kok bisa ya Rexplast memperkerjakan lulusan filsafat-teologi sebagai purchasing? Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil S2 di managemen sambil memantapkan bahasa Inggrisku. Aku kuliah sore hari di IEU : International European University. Kuliah dilakukan dalam bahasa Inggris. (jangan ditanya apa yang aku lakukan saat mata pelajaran international akunting dan statistic lanjutan!). Akhirnya aku menyandang gelar Magister Managemen. Kalau ditanya orang : backgroundnya apa? Managemen Bro!

Yang kedua, menyangkut masalah iman katolik. Namun itu nanti akan saya upload di tulisan tersendiri: seputar revolusi iman pribadi. Tunggu saja, setelah ini aku punya banyak waktu……

Seiiring dengan pelajaran managemen yang aku terima, gelora bisnis mulai kembali dalam darahku. Aku melihat tanah kosong di belakang rumah yang ditancapi tulisan : dijual. Ini kalau aku beli buat apa ya? Masa buat rumah lagi. Rumahku sudah sedikit lebih luas. Sebelumnya rumah tetanggaku yang kosong boleh aku angsur. Akhirnya tipe 27 + 27 ; lumayanlah jadi tipe 54. Lalu buat apa tanah kosong itu? Ini mesti harus dibuat bisnis. Aku teringat salah satu paman istriku yang tinggal di kota Babat pernah tawari untuk buat Wingko Babat. Aku kontak dia: apakah tawaran itu masih tersedia? Ternyata masih. Namun rupanya tanah di belakang rumah kurang pas untuk produksi wingko babat. Akhirnya ketemu lagi tanah di tepi sungai kecil sekitar 100 meter dari rumah. Tepat ini. Namun masalah pembelian tanah terganjal masalah SARA. Bagaimana kisahnya? Nanti akan aku buatkan refleksinya juga. Berakhir manis dan menggembirakan. Tangan Tuhan ikut berkarya. Tunggu aja (capek yo nulis terus…..)

Singkat kata, bisnis jualan wingko babat berjalan. Tanah terbeli, bangunan sederhana beserta oven dari bata terbuat. Aku menggandeng keluarga kakak ipar untuk tinggal di bangunan itu dan sekaligus menjadi pengelola pabriknya. Aku belajar jadi pengusaha. Aktivitasku lebih banyak di sore hari karena aku tidak ingin menduakan pekerjaanku di Rexplast. Bagian produksi sudah ditangani kakak ipar, bagian keuangan ada istriku yang belanja sana-sini. Aku menghandle marketing. Pekerjaan marketing saya lakukan hanya sebagai coordinator di setiap hari Sabtu. Kebetulan semenjak terjadi krisis moneter, karyawan staff Rexplast bekerja hanya 5 hari. Peluang ini juga yang mendorong naluri bisnisku. Anakku sudah 3 orang. Kebutuhan semakin banyak. Gaya hidup juga semakin meningkat (ceile!)


Menjadi marketing berarti harus jeli melihat peluang dan berani mengambil resiko bisnis, termasuk berani malu. Mungkin ada yang mencibirkan bibir: wingko babat??? Makanan apaan itu? Membuatnya susah. Adonan tepung ketan, gula dan kelapanya harus pas. Ovennya pakai kayu bakar. Dan yang penting: berapa banyak sih yang suka makanan manis seperti itu? Biasanya orang menjual wingko babat secara konvensional: di toko-toko oleh-oleh, di terminal, stasiun kereta, pakai asongan dsb. Cara itu memang kami lakukan. Hampir seluruh area Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik (bahkan Madura) tercover. Namun aku ingin sesuatu yang berbeda. Cara memasarkan wingko babat yang berbeda. Berawal dari ketemu teman di warung kopi dekat perumahan. Sambil minum kopi ada hidangan pisang goreng, ketela goreng, tape goreng, dll. Cling! Ide muncul : bu, aku titip wingko di sini ya? Tahan 3 harian. Akhirnya konsep baru ditemukan. Jual wingko babat di warung-warung kopi. Aku punya sekitar 50 orang sales freeline yang setiap sore menjelang magrib antri ambil wingko yang masih hangat untuk disetor di warung-warung hampir seluruh Surabaya – Sidoarjo (bahkan ada juga Malang dan Kediri!). Para sales itu adalah orang-orang yang membutuhkan tambahan penghasilan di luar gaji sebagai karyawan. Mereka adalah para satpam, para cleaning service, buruh pabrik, dsb. Pokoknya: taruh jaminan (ktp, dll), ambil barang, setor ke warung sambil ambil tagihan dan setor ke pabrik wingko. Tiap orang ada yang bawa 20 buah, ada yang bahkan 1000 wingko. Mereka ada yang punya 1 warung saja – ada yang bahkan punya 50 warung. Bayangkan kalau per biji untung Rp 100 x 10.000 bh = Rp 1.000.000/hari. Ah itu khan itung-itungan orang yang gak terjun sendiri di dalamnya…..

Aduh sudah jam satu malam…… aku sudahi dulu ya….. besok pagi aja saya upload. Sekedar bercerita mengenang perjalanan hidup. Setelah ini ada lanjutan mengenai perjalanan selanjutnya hingga hari ini aku harus melangkah lagi keluar dari zona nyaman Rexplast………

1 komentar:

Mama Bee mengatakan...

Ditunggu lanjutan ceritanya pak...:) FS