SKEMA PEMBAHASAN
- APA ITU HOMILETIKA
1.
Apa Itu Homiletika
2. Siapa Yang Harus Mewartakan
3.Tujuan Khotbah / Homili
II. BAGAIMANA MEMPERSIAPKAN SUATU KHOTBAH?
- Seperti Apa Khotbah Yang Baik Itu?
- Bagaimana Mempersiapkan Khotbah?
III. BAGAIMANA MEMBAWAKAN KHOTBAH?
1. Tempat / posisi pewarta dalam membawakan khotbah
2. Suara / Vocal (Audible)
3. Bahasa Tubuh (Visible)
4. Kontak Mata
IV. LATIHAN TEMATIS
V. INDIKATOR PENILAIAN
I. HOMILETIKA
1. Arti Homiletika
• Berasal dari kata: Homiletike = pergaulan, percakapan dengan ramah, akrab dan saling percaya. Kata kerja homilein muncul beberapa kali dalam PB : Luk 24:14, 15; Kis 20:11; 24:26; 1Kor 15:33). Dari kata ini muncul istilah homili.
• Dalam lingkup Gereja, homili secara klasik mempunyai arti sebagai suatu penafsiran Kitab Suci ayat demi ayat dalam suatu perayaan ibadat yang penuh persaudaraan. Sejak jaman Gereja purba, homili menjadi unsur penting yang diletakkan setelah pembacaan KS (Bdk Luk 4:16-21; Luk 24:30-32; Kis 13:15)
• Luk 24:32 Kata mereka seorang kepada yang lain: "Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?
• “Kitab-kitab Suci, seperti juga Tubuh Tuhan sendiri selalud ihormati oleh Gereja, yang terutama dalam Liturgi Suci –– tiada hentinya menyambut roti kehidupan, baik dari meja sabda Allah maupun Tubuh Kristus dan menyajikannya kepada umat beriman (DV 21)
• Pada hakekatnya homili adalah pewartaan kabar gembira tentang Yesus Kristus berdasarkan kitab suci.
• Istilah homili sering kali dimengerti sama dengan istilah khotbah. Secara esensi memang bisa dibilang hampir sama, yaitu menyampaikan Sabda Allah, namun dalam prakteknya terdapat perbedaan-perbadaan yang cukup mencolok.
• Khotbah berasal dari bahasa Arab: chutbah / khutbah = predicare (lat) = kerussein (Yun) = mewartakan, memaklumkan, memberitakan (dalam lingkup muslim pembawa chutbah = chatib).
• Dalam lingkup Gereja, khotbah lebih merupakan suatu pewartaan sabda Allah di luar ibadah Gereja (misal di radio, TV, dsb) karenanya sangat bebas be-retorika dan menggunakan media.
• Sedangkan homili merupakan suatu pewartaan sabda Allah khas dalam perayaan Ekaristi yang dibawakan oleh pejabat gereja yang berwenang (bdk KHK 767 $1&2), serta terbatas dalam retorika dan penggunaan media. Homili merupakan bagian utuh dari liturgi (SC 52). Dalam uraian ini, kita menggunakan istilah khotbah dibandingkan homili ; atau pun renungan.
2. SIAPA YANG HARUS MEWARTAKAN?
• Setiap pengikut Kristus yang telah di baptis mengalir dalam dirinya kharisma Roh Kudus yang memungkinkan dan mewajibkan dirinya menjadi saksi Kerajaan Allah, melayaninya dan berupaya mewujudkannya (bdk LG 33 dan AA 3)
• Tugas mewartakan Kerajaan Allah pada dasarnya diberikan Kristus kepada Gereja: Seluruh Umat Allah. Dan homili / khotbah merupakan suatu tindakan publik yang dilakukan oleh seorang pengkhotbah atas nama jemaat beriman. Menyampaikan homili bukan karena hobi pengkhotbah. Tindakan berkhotbah bukanlah suatu milik pribadi orang per orangan.
• Menyampaikan homili bukanlah karena hobi pengkhotbah. Tindakan berkhotbah bukanlah suatu milik pribadi orang per orangan. Tindakan berkhotbah pada dasarnya adalah milik jemaat beriman (Gereja) yang diberikan (ditugaskan) kepada pribadi-pribadi tertentu untuk melaksanakannya.
• Jadi benar bahwa setiap orang sebagai anggota Gereja harus mewartakan KA (terutama dalam praktek hidup sehari-hari), namun tidak semuanya diberikan mandat / tugas untuk berkhotbah secara resmi mewakili / berbicara atas nama umat Allah itu (Gereja).
• Karena itu, implikasi bagi pengkhotbah yang musti diperhatikan adalah dalam berkhotbah dia tidak mengejar “agendanya” sendiri melainkan benar-benar secara jujur terbuka pada Allah dan jemaat untuk mengenali kebutuhan kawanan umat Allah.
• Dengan demikian, untuk melakukan aktivitas publik “berkhotbah” perlu suatu legitimasi yang diperoleh dari Gereja. KHK 762-767 mengatur mengenai apa, siapa dan bagaimana berkhotbah / homili. Siapakah mereka?
- Para Klerus
• Tugas para murid Yesus dilanjutkan Gereja dengan menahbiskan orang-orang yang dianggap layak mewartakan Kabar gembira keselamatan manusia.
• Di pundak merekalah misi utama Gereja mewartakan KA ke seluruh dunia (Mat 28:16-20) dibebankan. Menurut KHK 763-764 dan LG 25-29 mereka adalah para uskup (LG 25), imam (PO 4) dan para diakon (LG 29)
• Kristus sendiri yang memilih dan mengutus mereka, karenanya dalam diri mereka (kata dan tindakannya), termasuk dalam berhomili, dipandang sebagai tindakan Kristus sendiri akibat persatuan mereka dengan Kristus (in persona Christi)
b. Awam : yang berintegritas hidup
• Selain klerus, para awam, berkat imamat umum yang diterima dalam sakramen baptis, mereka juga mendapatkan tugas untuk mewartakan Sabda Allah (bdk LG 31-34; AA 3, 10; GS 40)
• Peran imamat umum yang semakin diteguhkan dalam sakramen Krisma dan dihayati mesra dalam sakramen Ekaristi menuntut awam untuk berperan aktif dalam hidup menggereja.
• Kanon 766 mengatur peran awam dalam berkhotbah : ”kaum awam dapat diperkenankan untuk berkhotbah di dalam gereja atau ruang doa, jika dalam situasi tertentu kebutuhan menuntutnya atau dalam kasus-kasus khusus manfaat menganjurkan demikian, menurut ketentuan-ketentuan konferensi para uskup”.
• Kasus khusus ini makin tampak dalam situasi kekurangan imam di mana para ketua lingkungan, guru agama, katekis, dsb harus memimpin ibadat liturgis yang tentu saja dalam kesempatan tersebut ia harus menyampaikan khobah.
• Pendapat yang memungkinkan awam untuk berkhotbah harus senantiasa dilihat dalam hubungannya dengan RS 65 – 66 (homili dalam perayaan Ekaristi), dan RS 161 (khotbah diluar Misa sebagai kasus khusus dan atas seijin ordinaris setempat)
• Para awam yang membawakan khotbah mesti memenuhi kriteria integritas hidup tertentu. Ia haruslah awam yang terpandang karena peri hidupnya yang baik dan saleh. Ia mempunyai dedikasi dan komitmen yang tulus bagi Gereja dan diterima umat dengan baik.
• Selain itu, selayaknya ia juga mempunyai pengetahuan yang cukup tentang iman dan agama katolik, tentang liturgi dan Kitab suci serta mampu memimpin dengan baik.
3. TUJUAN KHOTBAH/HOMILI
EVANGELISASI
• Sebagaimana misi utama Gereja untuk mewartakan Sabda Allah ke seluruh dunia (Mat 28:16-20)
• Setiap khotbah harus membawa pendengar pada pemahaman akan makna Sabda Allah bagi hidup mereka.
• Sabda Allah yang tertuang dalam KS merupakan kesaksian iman dari para penulis suci. Di dalamnya pengalaman akan Allah yang mengunjungi umatNya, hidup dan berjalan bersama umatNya, dalam suka dan duka, dari generasi ke generasi diwartakan.
• Puncaknya pada diri Yesus yang adalah Allah dan Manusia. Karena itu, KS merupakan buku dialog konkret tentang Allah dan manusia.
• Karenanya pertama-tama sebuah khotbah yang baik haruslah khotbah yang biblis, mendasarkan diri pada Sabda Allah
REKONSILIASI
• Mengarah pada perbaikan hubungan antara individu dengan Allah, Gereja, sesama dan seluruh lingkungan hidup.
• Khotbah harus mengarahkan orang agar ia melepaskan perbuatannya yang lama, berbalik arah menuju Allah dan berjuang mengikat diri untuk hidup hanya bagi Allah.
• Karenanya, khotbah merupakan kelanjutan karya Yesus sendiri yang datang untuk mempetobatkan mereka yang berdosa
MENUMBUHKAN PAGUYUBAN UMAT
• Kabar gembira yang disampaikan lewat khotbah/homili bertujuan untuk menumbuhkan paguyuban diantara umat beriman.
• Setelah mendengarkan khotbah, umat harus kembali dengan membawai terang dan damai serta keadilan di tengah masyarakat.
• Dalam kaitan ini, khotbah yang baik harus senantiasa juga disusun berdasarkan situasi pendengarnya.
II. BAGAIMANA MEMPERSIAPKAN SEBUAH KHOTBAH
• Sebelum mempersiapkan suatu khotbah yang baik, kita mesti tahu bagaimana suatu khotbah disebut baik.
• Khotbah yang baik tentunya jika tujuan khotbah terpenuhi di dalamnya : evangelisasi, Rekonsiliasi dan Menumbuhkan paguyuban umat.
• Untuk mencapai tujuan itu suatu khotbah haruslah : biblis, authentik, kontekstual dan merubah hidup pendengarnya
1. BAGAIMANA SEBUAH KHOTBAH YANG BAIK?
Sekurangnya ada beberapa pedoman yang bisa kita gunakan untuk menilai apakah suatu khotbah itu baik atau tidak :
A.
Excellent preaching is biblical.
B. Excellent preaching is authentic.
C.
Excellent preaching is contextual.
D. Excellent preaching is life-changing.
A. BIBLIS
• Tujuan homili adalah mewartakan Sabda Allah. Karenanya mau tidak mau, harus berdasar pada Kitab Suci : memperlihatkan rangkaian sejarah keselamatan Allah bagi manusia - yang berpuncak dalam hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus – dan itu tetap berlangsung hingga kini
• Seorang pewarta yang baik haruslah mengetahui eksegese yang benar sehingga ia dapat mengulas Kitab Suci, menyelami rahasia Allah di dalamnya dan akhirnya menyampaikan pesan Allah di balik teks-teks itu bagi pendengar “saat ini dan disini”
• Hal ini sesuai dengan yang dilakukan Yesus dalam Luk 4 :21 “pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya”
• Kitab Suci merupakan sumber utama suatu Khotbah / homili – dan untuk itu, seorang pewarta harus senantiasa bergumul dengan Kitab Suci
B. Authentik
• Khotbah bukanlah sembarang pembicaraan iman, melainkan pembicaraan dari hati ke hati. Dari hati berarti dari orang yang biasa mendengarkan Sabda Allah dan merenungkannya serta mempercakapkannya dengan Tuhan dalam hatinya.
• Ada banyak renungan yang bertebaran disekitar kita dalam bentuk jadi. Sah-sah saja jika kita menggunakannya – namun suatu khotbah yang baik adalah khotbah yang otentik. Apa artinya?
• Artinya bukan tidak boleh mengambil dari apa yang telah ada, namun pertanyaannya adalah apakah kita telah menjadikan yang ada itu sebagai milik kita?
• Sangat disayangkan jika dalam satu kesempatan khotbah seorang pewarta hanya “membaca” kan dari suatu buku renungan. Bagaimana pun juga di dunia ini tidak ada yang 100% otentik – namun yang harus dilakukan adalah mengolah kembali bahan-bahan yang tersedia itu, merenungkannya, mendalaminya, menyesuaikan dengan kondisi sekitar kita, dan membahasakan kembali dalam bahasa dan kepribadian kita.
• Ingat pewarta bukan seorang makelar / calo belaka
C. Kontekstual
• Para pendengarku bukanlah musuhku, melainkan saudara dan saudariku. Mereka mempunyai pandangan dan pengalaman hidup sendiri. Karena itu dalam menyampaikan khotbah, kita pun harus bertolak dari kondisi para pendengar.
• Semakin kita melihat dengan mata pendengar, semakin kita menemukan apa yang harus dikatakan kepada mereka.
• Memahami pendengar ini haruslah sejak awal disadari sejak persiapan penyusunan suatu khotbah.
• Pertajamlah kepekaan akan sekitar: lingkungan, paroki, masyarakat, dsb – nilai-nilai apa yang sedang bergejolak di dalamnya; bagaimana jika nilai-nilai itu dipandnag dari nilai-nilai yang diajarkan Kitab Suci……
• Khotbah yang baik adalah suatu yang “mendarat” bukan berputar-putar di atas awam. Semakin situais dan kondisi pendengar dipahami dan disapa, semakin pula yang dikatakan akan mengena dan menggerakkan pendengar. (Bdk GS 1 dan 8-10)
D. Merubah Hidup
• Pewarta dalam berkhotbah bukanlah sekedar dengan kata-kata belaka melainkan dengan segenap kepribadiannya. Ia memberi kesaksian tentang keselamatan Allah dalam Yesus. Ia tidak boleh hanya memahami Sabda Allah namun ia pun harus disentuh oleh Sabda Allah.
• Pewarta tidak sekedar mentransfer informasi namun juga membimbing pendengar untuk bertemu dengan Tuhan. Verba movent – exempla trahunt : kata-kata menggerakkan namun keteladanan mendorong (menarik)
• Mengapa demikian? Karena suatu khotbah yang baik adalah khotbah yang merubah hidup pendengarnya – dan lagi-lagi pertanyaan yang relevan pertama-tama adalah apakah si pengkhotbah sendiri telah (setidaknya berjuang) berubah pula?
• Seorang pewarta bukan aktris atau aktor yang bisa membawakan suatu peran yang sama sekali berbeda dengan jati dirinya sendiri.
• Kemampuan berkhotbah sebaiknya tidak diasah melalui cara-cara instant sekolah “kepribadian” yang sebenarnya mengajarkan bagaimana merubah topeng bukan merubah jati diri yang sebenarnya.
• Berbeda dengan seorang bintang film, verifikasi atas apa yang disampaikan oleh seorang peng-khotbah ada dalam kehidupan pembawa khotbah. Pendengar akan langsung menghubungkan pewartaannya dengan kepribadian si pengkhotbah.
• Lalu jika demikian siapa yang layak? Yang layak adalah dia yang sekurangnya terus dan terus secara sadar mau berjuang untuk berubah. Kesadaran ini yang menuntun si pewarta untuk berani mempersiapkan suatu khotbah yang diharapkan bukan hanya merubah orang lain namun juga dirinya sendiri. Proses pergulatan menuju kesucian terus menerus!
2. MEMPERSIAPKAN KHOTBAH
• Mempersiapkan khotbah merupakan suatu keharusan dan perlu kedisiplinan tertentu. Umat dengan mudah akan menangkap suatu khotbah itu dipersiapkan dengan baik atau asal-asalan, meski isinya bagus (karena pengalaman mungkin).
• ada orang tertentu yang merasa hanya perlu mengikuti angin Roh Kudus yang akan mengajar dia pada saatnya…. Ini merupakan suatu penyelewengan makna Kitab Suci……
• Pewarta yang TIDAK mempersiapkan khotbahnya adalah seorang pewarta yang sombong dan tidak bermental sebagai “hamba Allah”. Ada kemungkinan ia akan mewartakan Injil lain yang berbeda dengan Injil Kristus. Ia mencari kesukaan manusia dan bukan kesukaan Allah (bdk Gal 1;6-10)
• Pewarta yang TIDAK mempersiapkan khotbahnya menunjukkan bahwa ia kurang bergairah untuk mewartakan firman. Ia kurang mengasihi umat yang dipercayakan kepadanya. Ia bermental sebagai orang upahan daripada seorang gembala yang baik.
• Pada dasarnya terdapat tiga tahap persiapan :
– Persiapan Sepanjang Hidup (Long life preparation)
– Persiapan Jangka Panjang (Persiapan Umum)
– Persiapan Jangka Pendek (Persiapan Khusus)
• Persiapan Sepanjang hidup adalah persiapan yang menyangkut personalitas seorang pengkhotbah. Mengapa? Karena menjadi pewarta dan mempersiapkan pewartaan adalah sebuah proses kreatif sepanjang hidup. Proses belajar, merenung dan berlatih selama masih hidup.
• Persiapan ini meliputi : kecintaan akan Kitab Suci, peka terhadap lingkungan sekitar, merenungkan kehendak Allah dalam hidup sehari-hari dan hidup berdasarkan iman akan kehendak Allah tersebut.
A. Persiapan Jangka Panjang (Persiapan Umum)
• Persiapan jangka panjang menyangkut persiapan bahan-bahan khotbah.
• Bahan-bahan ini bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap kehidupan sehari-hari (masyarakat, gereja, rumah tangga, dll), dari bacaan, diskusi, permenungan, cerita, warta berita (bahkan gosip?), sharing, facebook, kutipan motivasi dari orang terkenal, kebijaksanaan, dll-dll yang dianggap relevan dan berguna.
• Bahan-bahan ini hendaknya dicatat dalam buku harian, data komputer, kartu, dsb
• Tahap ini sangat penting karena di dalamnya kita seolah mempunyai “bank data” yang bisa diakses saat dibutuhkan. Semakin banyak membaca, bergaul, merenung, mempertajam intuisi dan mencatatnya maka bank data kita semakin besar – semakin besar pula untuk mendapatkan ide baru yang menarik dan fresh / segar
C. Persiapan Jangka Pendek
• Kerap kali kita melupakan persiapan jangka panjang dan hanya terfokus pada persiapan jangka pendek.
• Persiapan jangka pendek adalah persiapan menjelang kita bertugas. Diandaikan kita telah mempunyai teks Kitab Suci untuk diwartakan – bahkan juga tema telah ditentukan. Dan kini saatnya kita mendalami teks tersebut dan masalah-masalah yang relevan dengannya – dan menyusunnya menjadi bahan khotbah.
• Secara umum ada tiga pilar penting mempersiapkan khotbah: STUDI, DOA dan KONTEMPLASI.
• Ketiga pilar penting itu terbagi dalam beberapa fase menyusun khotbah:
a.
Fase mengumpulkan bahan
b. Fase Inkubasi
c. Fase Merancang khotbah
d. Fase Merampungkan khotbah
e. Fase Menguasai khotbah
f. Fase Membawakan khotbah
a. Fase Mengumpulkan dan Mengolah Bahan
• Fase ini akan sangat terbantu jika kita terbiasa melakukan persiapan jangka panjang (bank data).
• Yang tidak boleh dilupakan dalam fase ini adalah bahwa BAHAN UTAMA kita adalah Sabda Allah yang akan kita bawakan – baru setelah itu dicari bahan-bahan lain yang memang relevan. Jadi bukan sebaliknya.
• Bagaimana kita mengolahnya? Berikut salah satu metode yang paling sering digunakan dalam menyiapkan bahan utama khotbah (KS). Tentunya diharapkan pewarta semakin menambah pengetahuan dan praktek mengenai hal ini.
MENYIAPKAN BAHAN DARI PERIKOP KS :
• Bergulat secara pribadi dengan teks :
• Baca KS dengan Hormat, dalam keheningan dan doa
• Coba pahami alur cerita / pembahasan teks tersebut secara global. Mis. Kisah Yesus menyembuhkan orang buta (Yoh 9 )
• Baca kembali secara lebih detail dan coba memasuki cerita / pembahasan yang terjadi. Kita melibatkan diri pada peristiwa / pembahasan dalam konteks tersebut.
• Apa yang saat itu kita rasakan? Kata-kata mana yang menyentuh hati saya? Adakah kata atau kalimat yang terasa menarik, menguatkan, menghibur, menegur, menentramkan atau mengganggu hati dan pikiran saya?
• Ambil waktu untuk merasakan dan merenungkannya
• Membuat Tafsiran Eksegetis : mencari dan mengunyah pesan Teks
• Kembali baca teks tersebut, perhatikan dengan seksama kata dan kalimatnya: gaya bahasanya, benda-bendanya, perbandingan, perumpamaan, dan lainnya. Cari dari kamus / ensiklopedi kitab suci tentang benda-benda dan arti dari teks tersebut – karena kerap apa yang bagi kita seolah biasa, namun berbeda karena budaya, tradisi, dan kurun waktu kita dengan teks sangat berbeda.
• Perhatikan juga konteks luas & konteks dekat dari perikop tersebut dengan membaca beberapa perikop sebelum dan sesudahnya.
• Baca tafsiran-tafsiran eksegetis atas teks tersebut
• Coba pahami apa yang sebenarnya hendak disampaikan penulis KS kepada pendengar saat itu dan apa relevansinya bagi kita sekarang.
BEBERAPA CATATAN PENTING :
• Jangan memperkosa teks : artinya secara paksa atas dasar pikiran atau kemauan sendiri memberi arti teologis/etis terhadap teks KS yang sebenarnya secara eksegetis tidak terdapat di dalamnya
• Ada banyak pesan yang bisa timbul dari perenungan KS. Pilih salah satu atau dua yang menurut Anda paling dibutuhkan dan relevan sebagai tema khotbah. Jangan kemaruk!
• Terhadap bahan tulisan, renungan, khotbah dari orang lain, kita mesti kristis dan bukan sekedar copy – paste melainkan melalui proses tertentu jadikan “mutiara iman” itu sebagai milik Anda sendiri: misal dengan merubah rumusannya, merubah beberapa hal agar relevan dengan kehidupan sekitar Anda dan pendengar.
b. Fase Inkubasi = Masa Pengendapan / Istirahat dalam Kontemplasi
• Setelah bahan dari fase pertama terkumpul, tidak berarti bahwa khotbah sudah siap. Sama sekali belum karena belum dirumuskan tujuannya, dipertajam maknanya dan yang terpenting adalah diendapkan dalam diri pewarta agar menjadi miliknya sendiri (internalisasi).
• Sayang banyak pewarta hanya berhenti di fase pertama dan merasa cukup.
• Hal ini terjadi dalam masa istirahat ini. Apa yang dilakukan di masa ini? Bahan yang telah terkumpul itu diolah dalam “alam bawah sadar” melalui meditasi pribadi, memasuki teks kembali, merenungkannya lagi - hingga seolah pada fase ini pewarta menjadi “hamil” atau “mabuk” dengan bahan pertama.
• Fase inkubasi adalah proses mencari jawaban, ide, jalan keluar, struktur rumusan khotbah yang tepat dan kadang tidak disadari sebelumnya.
• Fase ini kadang kurang menyenangkan, menggelisahkan, penuh pergumulan, belum jelas karena jalan pikiran belum teratur. Membawa semua bahan dalam doa dan kontemplasi akan sangat berguna
• Di fase ini pewarta harus sabar, tidak boleh tertekan oleh waktu yang ketat (dan kondisi pribadi). Ini akan melumpuhkan kreativitas. Sebaiknya di fase ini digunakan untuk relax, santai dan mempraktekkan hobi……
• Sambil relax diulang kembali bahan pertama dalam hubungannya dengan kontek pendengar, kebutuhannya, situasinya, tingkat sosialnya, tingkat pendidikannya, apa yang mereka rasakan, jalan pikiran – bahkan bila perlu juga situasi tempat, cuaca – tema yang hangat akhir-akhir ini, dsb
• Fase inkubasi adalah fase penting yang memang membutuhkan waktu. Berapa lama? Kadang sulit untuk diperkirakan. Semakin tinggi “jam terbang” semakin mudah fase ini dilalui.
c. Fase Iluminasi : “Heureka! Ini dia!”
• Ya, fase ini adalah fase pencerahan setelah masa inkubasi. Pencerahan ditandai dengan munculnya ide cemerlang (cling!) untuk berkhotbah, misal : bagaimana nanti seharusnya disampaikan, struktur yang tepat bagaimana, jalan pikirannya sebaiknya seperti apa.
• Hasil dari masa iluminasi adalah perumusan khotbah secara lebih tajam dan bagaimana harus disampaikan.
• Proses muncul ini kerap kali tiba-tiba dan kadang seperti terang yang muncul dari kegelapan. Memberi rasa kebebasan dan kebahagiaan bagi pewarta.
• Contoh :
– Bacaan dari Luk 11: 27 - 28.
– Pesan yang ingin disampaikan adalah Meneladan Yesus yang sangat menghormati dan mengasihi Bunda Maria.
– Justru dalam perikope ini Yesus hendak menandaskan bahwa Maria bukan hanya seorang ibu biologis yang melahirkan dan menyusui Dia – melainkan juga dialah sang pelaksana Firman yang patut diteladani. Sering perikope ini dipakai untuk “merendahkan” Bunda Maria.
– Pewarta bertekad untuk meyakinkan dan mendorong pendengar untuk beriman seperti Maria – meneladan dia dan melalui dia menuju Yesus secara lebih sempurna
d. Fase Menyusun Khobah
• Dalam fase ini secara sistematis dan (sebaiknya) tertulis, pewarta mulai menuliskan khotbahnya.
• Pertama dalam skema garis besar dan selanjutnya secara lebih detail dalam khotbah tertulis.
• Skema garis besar memudahkan pewarta untuk ingat jalan pikiran khotbah – sehingga pendengar pun juga akan menjadi jelas runtutannya. Kalau pengkhotbah tidak jelas; pendengar pasti juga tidak jelas
• Menuliskan khotbah secara detail juga sangat berguna sebagai “latihan awal” sebelum khotbah yang sesungguhnya – sekaligus sebagai dokumentasi yang berguna kelak.
• Penyusunan Khotbah mesti jelas bagian-bagiannya seperti :
– Pembuka
• Latar Belakang (persoalan, teks KS, dsb)
• Pengantar pada inti tema
– Bagian Inti (Tubuh Khotbah)
• Pokok Pikiran / tema 1 : pendalaman tema, pendalaman teologis, illustrasi
• Pokok Pikiran / tema 2 : pengembangan tema 1, pendalaman, pendalaman teologisnya, penegasan ulang tema 1 & 2
– Penutup :
• Beberapa kalimat pendek dan langsung
• Membentuk kesadaran, refleksi dan keputusan iman
• Kalimat penutup yang memberikan rasa !
e. Fase Finalisasi Khotbah
• Dalam fase ini, khotbah dilihat lagi – diulang lagi bagian-bagian mana yang mungkin perlu diperjelas dan dipertajam.
• Beberapa panduan untuk mengecek ulang :
• Apakah rancangan isi sudah sesuai dengan warta perikop KS?
• Apakah isi utama cukup jelas dan tajam?
• Apakah jalan pikiran cukup sederhana dan mudah diikuti?
• Apakah ilustrasi yang diberikan mengena dan menarik?
• Apakah kira-kira waktunya terlalu panjang atau terlampau singkat?
f. Fase Menguasai Naskah Khotbah
• Setelah menuliskan dan membacanya kembali, pada tahap ini pewarta kembali berlatih membawakannya tanpa banyak melihat naskah.
• Membawakannya berarti melatih bagaimana gaya bicara, teknik artikulasi dan bahasa tubuh yang harus dipakai agar pokok-pokok pikiran khotbah tertangkap semakin jelas bagi pendengar.
• Beri tanda yang jelas dalam naskah sehingga kita mudah “melirik” jalan pikirannya: garis bawah, stabilo, cetak tebal, tanda seru/ tanya, dsb
• Sebelum membawakannya: baca sekali lagi secara keseluruhan dan pastikan bagian-bagian pentingnya!
• Teknik dan fase-fase mempersiapkan khotbah ini adalah yang umum digunakan dalam situasi normal.
• Banyak hal yang mesti dipelajari lebih lanjut, misalkan bagaimana mempersiapkan khotbah yang kasualis (tema-tema khusus: perkawinan, pesta nama, ulang tahun, dsb), khotbah untuk situasi mendadak dan darurat (kematian, dsb), juga bagaimana menyiapkan khotbah secara kelompok, dsb.
• Cara yang paling baik adalah selalu belajar dan praktek lapangan!
III. BAGAIMANA SEBUAH KHOTBAH DIBAWAKAN • Di sini kita lebih berbicara mengenai seni publik speaking. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
– Tempat / posisi pewarta dalam membawakan khotbah
– Suara / Vocal (Audible)
– Bahasa Tubuh (Visible)
– Kontak Mata
Sebelum kita masuk ke masalah teknis, dalam membawakan khotbah, setidaknya ada tiga kemungkinan yang bisa dipilih :
– Pertama : menghafal semua lalu membawakannya tanpa teks. Cara ini kurang dianjurkan karena bisa saja karena “situasi tertentu” pewarta dapat lupa….
– Kedua : membawakan khotbah secara bebas dengan menggunakan alur dan kata-kata kunci dari naskah. Cara ini sering digunakan para pengkhotbah yang berpengalaman. Namun jangan lupa: mereka pun tetap mempersiapkannya melalui tahap/fase-fase seperti di atas
– Ketiga : membawakan khotbah secara bebas meski tetap menggunakan naskah lengkap. Banyak pengkhotbah ulung tetap menggunakan cara ini. Dan acara ini sangat dianjurkan untuk pemula.
1. Tempat dan Posisi
• Berbeda dengan homili dalam Gereja, dimana Sabda Allah dan pewartaannya telah mendapat tempat yang ditentukan sebelumnya, dalam berkhotbah seorang pewarta harus memperhatikan masalah : di mana dia harus menyampaikan khotbahnya
• Tujuannya adalah agar semua yang hadir dapat dengan jelas (sekurangnya) mendengar dan melihat dirinya sehingga memahami apa yang hendak disampaikannya.
• Selain posisi tempat, juga perlu diperhatikan adalah bagaimana dia akan membawakan khotbahnya: duduk atau berdiri. Untuk tujuan itu, sebaiknya pewarta datang lebih awal.
2.
Bahasa Vocal / Audible
Teknik Berbicara : suara, pernafasan, resonansi, artikulasi, kecepatan bicara, dan jeda
a. SUARA
• Peran suara sangat vital untuk menciptakan kontak dan menumbuhkan simpati pendengar. Sering seorang pembicara tidak sadar akan suaranya: baik warna suara, tingkat kekerasannya, maupun pengaruhnya bagi telinga pendengar.
• Tentang suara ada beberapa hal yang harus diperhatikan : Warna suara, Volume, dan Modulasi suara
Warna Suara
• Kenalilah warna suara anda. Bagaimana jika anda menggunakan mikrophone – jika perlu minta operator untuk mensettingkan untuk anda; tambah bass atau treble.
Volume Suara
• Bagaimana volumenya, apakah cukup menjangkau hingga peserta terujung – tidak terlalu keras namun cukup. Pendengar pun bisa “lelah” hanya dengan duduk dan mendengar suara yang sama sekali sulit dicerna, terlalu pelan atau pun terlalu keras.
Modulasi Suara
• Modulasi suara juga harus diperhatikan. Modulasi adalah perubahan ritme intonasi berbicara: dari cepat-lambat; keras-lembut dan tinggi rendah, penekanan-penekanan yang sesuai dengan nuansa kata / kalimat yang diucapkan.
• Dengan modulasi yang tepat pendengar bisa membedakan dan mengenal : ini kalimat tanya atau seruan atau pernyataan, dll
• Modulasi yang tepat menjadikan khotbah semakin hidup, mengesankan dan tidak monoton
b. PERNAFASAN
• Proses bernafas adalah otomatis, tanpa dikomando – namun apa yang terjadi pada diri pengkhotbah bisa lain. Di saat nafasnya tersengal-sengal karena terlampau bersemangat berbicara hingga terbatuk-batuk (tersedak) maka pendengar akan terganggu.
• Juga jika ia berbicara terlalu cepat dan tinggi maka pernafasan yang baik sangat dibutuhkan.
• Cobalah ambil nafas panjang untuk menenangkan diri. Dengan pernafasan yang baik, ketenangan dan kepercayaan diri meningkat.
c. Resonansi, Artikulasi dan Penekanan
• Suara yang jelas dan penuh diperoleh karena resonansi suara yang baik dan artikulasi yang jelas. Setiap bunyi huruf dan kata menjadi penuh daya (powerfull) dan indah tatkala diucapkan dengan resonansi dan artikulasi yang baik.
• Perlu banyak latihan pengucapan vokal dan konsonan serta mengembangkan fleksibilitas pada lidah, bibir dan rahang. Coba ucapkan : a - i – u – e – o dengan jelas dan bulat.
• Penekanan juga sangat diperlukan untuk menekankan makna kata serta terutama kata-kata negasi : tidak, bukan, tidak satu pun, di manapun tidak…..
d. Tempo / Kecepatan Berbicara : Jeda dan Pause
• Mulailah dengan ambil nafas – jeda sejenak dan arahkan pandangan ke seluruh hadirin.
• Selanjutnya, kalimat pertama yang keluar dari mulut pewarta harus jelas, tegas, menarik dan tertangkap oleh semua telinga yang hadir.
• Bagaimana jika seorang membombardir anda dengan rangkaian kata-kata yang tak putus-putusnya? Tentu meski yang dibawakannya menarik, kita tidak akan bisa menangkap dan memahami seluruh yang dikatakannya.
• Anak-anak dan orang tua biasanya membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk menangkap isi khotbah. Karenanya berbicara tidak terburu-buru sangat dibutuhkan.
• Jeda membuat pendengar berkesempatan untuk lebih memahami isi khotbah – disamping berguna bagi pewarta untuk lebih menekankan konsentrasi pada makna dan nuansa kata-kata yang diucapkan.
• Anak-anak dan orang tua biasanya membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk menangkap isi khotbah. Karenanya berbicara tidak terburu-buru sangat dibutuhkan.
• Ada banyak kemungkinan di mana jeda dibutuhkan, misal sesudah satu ungkapan / makna yang penting, sesudah satu illustrasi, sebelum masuk ke bagian penutup – atau juga karena tuntutan psikologis yakni untuk menarik atau menahan nafas.
• Waktu dan suasana juga menjadi pertimbangan saat berbicara. Hari siang saat cuaca semakin panas atau malam hari yang tenang membutuhkan cara berbicara yang berbeda pula. Suasana emosional (kematian, pernikahan, dsb) juga perlu penanganan yang berbeda saat berbicara.
e. Sarana Teknis Lainnya
• Sound system / microphone seharusnya menjadi sarana efektif bagi pewartaan apabila dipersiapkan dengan baik dan digunakan dengan tepat – jika tidak malah akan mengganggu pewartaan.
• Beberapa tips :
• Datang lebih awal. Cek peralatan sebelum acara dimulai. Pertimbangkan warna suara dan volumenya
• Atur jarak yang pas antara mic dan mulut
• Kata pertama sangat penting untuk check final.
• Kata pertama sangat penting untuk check final.
• Teks-teks / nyanyian yang seharusnya didoakan bersama, tidak perlu dipimpin menggunakan mic agar tidak menutupi suara umat (mendominasi). Jika ingin ikut berdoa / menyanyi, mundurlah sekurangnya 1 meter dari mic
• Jika terpaksa bersin atau batuk, lakukan jauh dari mic (samping)
• Atur pernafasan dengan baik karena suara nafas bisa jelas terdengar di telinga pendengar.
3. Bahasa Tubuh / Visible
• Dalam membawakan khotbah, umat tidak hanya mendengar namun juga melihat – apalagi manusia lebih cenderung suka melihat daripada mendengar – maka dalam kegiatan ini, mata juga memegang peran penting. Dan itu semua menjadi suatu body language seorang pewarta.
• Seorang peneliti (C. Altmann) mengatakan bahwa simpati pendengar disebabkan oleh 55 % mimik, 38% modulasi suara dan hanya 7% oleh kata-kata yang diucapkan.
• Karenanya bahasa tubuh merupakan suatu yang sangat penting – berbicara lebih keras daripada mikrofon pewarta – meski fungsi dari bahasa tubuh sebenarnya adalah memperjelas kata-kata yang diucapkan.
• Fungsi bahasa tubuh
• Mempertegas apa yang disampaikan dengan kata-kata
• Menumbuhkan perhatian pendengar
• Mengimbaskan perasaan
• Memberi rasa pasti bagi pendengar sekaligus pembicara
• dsb
- Tampilan Luar (Kesan Pertama)
• Sebelum pewarta membuka mulutnya, sebenarnya ia sudah berbicara pada pendengarnya lewat penampilannya. Kesan pertama ini begitu penting dan tak terelakkan.
• Apa saja yang perlu diperhatikan dalam penampilan luar ini?
Pakaian
• Prinsip : pakailah pakaian yang sesuai dengan situasi dan lingkungan. Jangan terlalu berlebihan, baik kesederhanaan maupun kemewahannya. Pakaian harus rapi dan sopan serta tidak menabrak etika setempat (misal kematian : warna merah)
Sikap Tubuh
• Suasana batin pewarta juga terasa sebelum ia membuka mulutnya, melalui sikap tubuh saat ia maju ke tempat di mana ia harus mewartakan Sabda Allah.
• Tampilah tegap, tidak tergesa-gesa dan tenang. Hindarkan kesan ada yang tidak beres atau yang terlupakan.
b. Gerak-gerik (Gestikulasi)
• Dalam komunikasi sehari-hari, kerap kata-kata menjadi lebih tegas dan jelas disaat disertai dengan gerak-gerik dan mimik. Gerakan kepala, pancaran wajah, gerakan tangan dan lainnya ikut berbicara.
• Gerak-gerik dapat menyangkut seluruh tubuh – namun dapat pula terbatas pada bagian atas tubuh (atas pinggang), utamanya gerakan kepala dan tangan.Misal bagaimana saat berkata Tidak! Allah! dsb
• Gerak-gerik ini tidaklah pernah boleh dihafalkan! Melainkan harus keluar dengan sendirinya dari kedalaman diri seseorang – kecuali dia sedang bersandiwara.
c. Mimik / Ekspresi / Pancaran Wajah
• Wajah adalah anggota tubuh yang sangat istimewa. Syaraf-syaraf halus dan peka membentuk wajah seseorang. Kita bisa tahu suasana hati seseorang hanya dengan melihat wajahnya: gembira, skeptis, bersemangat, sedih, penuh harapan, dsb
• Latihan berekpresi di depan cermin / dalam kelompok sangat penting bagi seorang pewarta. Tujuannya terutama adalah agar kita terbiasa berekspresi secara natural tanpa kesan dibuat-buat.
c. Anjuran-anjuran Praksis
• Jangan pernah merencanakan gerak-gerik dan mimik, berkonsentrasilah pada isi pewartaan
• Penghayatan pribadi atas apa yang diwartakan akan menghasilkan gerak-gerik dan mimik yang seharusnya
• Gerak-gerik hanya efektif jika ditampilkan serentak dengan kata yang diucapkan – bukan terlambat atau mendahului
• Harus ada kecocokan gerakan dan kata-kata
• Gerak-gerik dan mimik harus jelas dan lengkap – mimik yang kaku justru akan membuat pendengar bingung!
• Gerak-gerik dan mimik harus bervariasi dan jangan berlebihan - berlatihlah
4. Kontak Mata
• Kontak mata sebenarnya termasuk dalam ekspresi dan bahasa tubuh – namun perlu dibahas tersendiri mengingat pentingnya kontak mata.
• Kontak mata memungkinkan terciptanya suasana keterbukaan dan kedekatan pribadi. Kedekatan pribadi merupakan lahan subur suatu pewartaan menjadi efektif
• Kontak mata memungkinkan pewarta bereaksi secara tepat atas signal yang datang dari pendengar.
• Sering kontak mata jadi terhalang karena pewarta sangat terikat pada teks.
• Teknik memandang pendengar : pandanglah pada wajah di atas mata (dahi) – jika tidak perlu jangan memandang ke dalam mata pendengar
• Jika merasa tidak pasti dan muncul rasa cemas, pandanglah wajah orang yang kita kenal baik. Tatapan mereka akan menguatkan dan mengembalikan kepercayaan diri kita.
• Pandangan juga harus diarahkan pada seluruh jemaat secara merata, bukan itu-itu saja
• Memahami reaksi pendengar melalui gerak-gerik dan kontak mata*
IV. LATIHAN TEMATIS
• Semua peserta diwajibkan menyiapkan sekurangnya 4 tema khotbah termasuk bacaan Kitab Suci yang dipilih
– Khotbah Masa Prapaskah / Adven
– Khotbah Bulan Maria / Rosario
– Khotbah pralaya (kematian: tutup peti atau 7 hari-an)
– Khotbah untuk acara ulang tahun / perkawinan (midodareni) atau acara syukuran lainnya
• Semua peserta akan membawakan salah satu dari keempat tema tersebut (dipilih oleh pendamping kelompok secara acak)
• Waktu setiap tampilan adalah 15 menit
• Setiap peserta akan membuat evaluasi umpan balik bagi peserta yang membawakan khotbah.
• Form evaluasi disediakan panitia.
• Evaluasi ini bersifat rahasia dan diserahkan kepada peserta yang selesai membawakan khotbahnyas sebagai bahan evaluasi dan koreksi.
• Mari saling membangun!
V. PANDUAN EVALUASI
• Bacaan Kitab Suci dan Tema yang dipilih
– Relevan atau tidak
– Terlalu umum / biasa dibawakan atau sesuatu yang cukup baru / segar
• Isi Khotbah
– Kesesuaian isi dengan tema
– Jalan pikiran : runtut, sederhana, berbelit, tidak jelas
– Kedalaman refleksi
– Illustrasi (jika ada)
– Relevansi dengan hidup pendengar
– Pesan utama tersampaikan dengan baik atau kurang jelas
• Cara Penyampaian
– Pemilihan tempat
– Vocal: volume, modulasi, artikulasi,
– Bahasa Tubuh
– Kontak Mata
• Durasi
– Terlalu lama dan bertele-tele
– Waktu terlalu singkat
– Waktu digunakan secara tepat
• Sikap Pendengar
– Cukup antusias
– Bosan
– Biasa saja
KEPUSTAKAAN
• Komisi Liturgi KWI, Homiletik: Panduan Berkhotbah Efektif, Kanisius, Jogjakarta, 2011
• Prof Dr. BA Pareira O.Carm, Homiletik: Bimbingan Berkhotbah, Dioma, Malang, 2010
• Dr. H. Rothlisberger, Homiletika, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1989
• Nordkamp, L. Balink, H. Slattery, Training for Preaching, Collins Liturgical Publication, England, 1978
• Robert Pagliari CssR, 14 Langkah Berkhotbah secara Dinamis, Dioma, Malang, 2009
• P. Hendrik Njiolah Pr, Katekese Naratif, Pustaka Nusatama, Yogjakarta, 2004