Kamis, 15 September 2011

STUDI KITAB SUCI : Pengantar Kitab Suci 3 : Bagaimana Terbentuknya Alkitab


TERBENTUKNYA ALKITAB

  1. Terbentuknya Perjanjian Lama :
a. Tradisi Bertutur dan Proses Penulisan PL

40 % PL berbentuk naratif – dan PL pun tersusun tidak lepas dari kerangka tradisi naratif bangsa Israel (dan timur tengah lainnya)
Budaya tulis menulis memang telah berkembang di wilayah Mesir dan Mesopotamia sekitar abad….. Namun kegiatan ini hanya dikuasai sekelompok kecil kalangan elit saja. Dan kegiatan ini lebih bersifat politis (akta, perjanjian, dsb) serta ekonomis (pajak).
Bagi penduduk Palestina sebelum jaman kerajaan masyarakatnya adalah petani, kebanyakan mereka adalah buta huruf dan tinggal di desa menggarap pertanian. Kisah-kisah PL disajikan dalam seni bercerita turun temurun sebagai pegangan hidup mereka. Merupakan tradisi lisan, bukan berarti suatu karangan imaginatif melainkan lebih merupakan suatu refleksi akan iman yang dijaga bersama dalam komunitas.

Masyarakat dengan budaya cerita mempunyai ingatan yang sangat tajam. Tidak perlu dikhawatirkan penyelewengan-penyimpangan cerita oleh oknum-oknum tertentu akan keaslian kisah. Karena bagi mereka, cerita-cerita itu bukan sekedar “cerita” (dalam arti kita) melainkan suatu pegangan hidup – suatu kesaksian tentang Allah, dimana Allah bersabda kepada mereka di dalamnya. Kisah-kisah tersebut dipelihara diturunkan secara turun temurun kepada anak-cucu mereka, sekaligus dipakai dalam kegiatan doa / liturgis mereka.
Baru di jaman kerajaan Daud, budaya tulis menulis mulai berkembang. Para ahli berkesimpulan bahwa di jaman Daud-Salomo dokumen-dokumen terawal PL ditulis.

b. Bagaimana PL ditulis?

Salah satu teori yang diikuti oleh banyak ahli KS Katolik ialah bahwa PL dikembangkan dari pelbagai sumber (Teori Sumber)
Sumber Pertama adalah Tradisi Yahwista (Y). Merupakan kumpulan tradisi awal yang dicatat semasa Daud dan Salomo menjadi raja. Tradisi ini memakai kata YHWH sebagai sebutan bagi Allah.

Sumber Kedua adalah Tradisi Elohista (E). Dikenal setelah perang saudara tahun 922 SM – menyebut Allah dengan sebutan Elohim. Ditulis di wilayah kerajaan Utara (Israel).
Sumber Ketiga adalah Deuteronomist (D). Merupakan gabungan antara Tradisi Elohist dan Tradisi Yahwist. Terjadi pada saat kerajaan Utara dihancurkan oleh Asyur (721 SM) – dokumen-dokumen tradisi E dibawa ke selatan dan digabungkan dengan dokumen tradisi Y. Pada masa ini hukum-hukum dari kedua wilayah disatukan dan dikodifikasikan dan disebut sebagai hukum kedua (Deuteronomist – di Indonesiakan sebagai Kitab Ulangan)

Sumber keempat adalah Tradisi Imamat (Leviticus (P) / Priestly (P)). Terbentuk setelah kerajaan Selatan (Yehuda) jatuh ke tangan Babel (… SM) dimana para tua-tua Israel memusatkan perhatian pada kehidupan spiritual sebagai identitas mereka, sebagai anak-anak Allah. Mereka mengumpulkan tradisi-tradisi hukum dan tata cara ibadah yang dikahwatirkan hilang bersama hancurnya Bait Allah.

Dari keempat tradisi sumber ini, seorang / sekelompok penyunting menggabungkan menjadi bentuk pertama dari lima kitab dalam KS yang dikenal dengan sebutan Pentateukh/ Torah.
Pentateukh (disebut juga Taurat Musa) terdiri atas kitab : Kejadian-Keluaran-Imamat-Bilangan-Ulangan.
Selama penyusunan Pentateukh. Tradisi D menulis juga Kitab Yosua, hakim-hakim, 1 – 2 Samuel, dan 1-2 Raja-raja. Isinya adalah interpretasi teologis atas peristiwa-peristiwa sejarah Israel dari Keluaran Mesir hingga jatuhnya Jerusalem : ajakan para nabi pada umat Israel dan Yehuda untuk mengingat kembali serta patuh pada Perjanjian yang dibuat nenek moyang mereka dengan Allah.

Sejak abad 5 SM dimana Bait Allah dibangun kembali, tulisan-tulisan PL berkembang pesat. Kehidupan religius bangkit kembali. Lagu-lagu ibadat dan doa-doa dikumpulkan kembali bersama dengan puisi-puisi religius dan pedoman hidup.

Kitab Mazmur terbentuk secara definitif sekitar tahun 300-250 SM. Sedangkan kumpulan kitab Kebijaksanaan , Kitab Rut  dan kitab Ayub telah tersusun sekitar masa tersebut (abad 5 - 2 SM)

Pada abad ke-4 SM Kitab-kitab 1-2 Tawarikh, Ezra, dan Nehemia disusun sebagai upaya melihat kehadiran Allah dalam sejarah Israel.
Demikian juga Tobit, Yudit, dan Ester disusun sebagai refleksi kesadaran akan bahaya serangan bangsa-bangsa sekitar : Yunani, Mesir dan Asyur. Isinya seputar hakekat kesetiaan, kehormatan, keberanian dan kepercayaan pada lindungan Tuhan

Sedangkan refleksi kesengsaraan dan penderitaan akibat peperangan yang mempunyai makna bagi kehidupan  dituangkan dalam Kitab  Pengkhotbah dan Kitab Sirakh.

Penganiayaan yang dilakukan oleh Asyur dan pemberontakan Makabe menjadi fokus dalam Kitab Makabe 1-2 yang ditulis sekitar tahun 100 SM
Adapula sebuah karya sastra yang berbeda jenisnya yaitu tentang akhir jaman. Karya ini berkembang saat penganiayaan Asyur. Banyak menggunakan lambang-lambang, kode-kode angka dan simbol yang bisa ditemui dalam Kitab Daniel (bab 7-12). Tulisan ini sejatinya dimaksudkan untuk mendorong orang Israel yang dianiaya agar tetap tabah.
Menjelang tahun 50 SM, seorang Yahudi yang memahami cara berfikir Yunani menulis Kebijaksanaan Salomo sebagai pernyataan kehadiran Allah di dunia, memaklumkan tentang jiwa manusia yang tak bisa mati, mengajarkan bahwa pada akhir jaman Allah akan menyelamatkan orang baik dan menghukum orang yang jahat.
Sebagian besar PL ditulis dalam bahasa Ibrani, kecuali Tobit, sebagian Daniel, Ezra, dan Ester = Aram ; Kebijaksanaan Salomo dan 2 Makabe = ditulis dalam bahasa Yunani.

c. Adakah Daftar Resmi PL di Jaman Yesus?
Kitab Suci Yahudi dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan urutan WAKTU PENGAKUAN kitab-kitab tersebut menjadi kanonik  (disebut Tanakh):
- Taurat (Torah)
- Kitab-kitab Para Nabi (Nebiim)
Kitab lain-lain (Khetubim) – isinya apa saja masih samar ; tidak ada kejelasan pasti

Pembagian ini dikenal oleh cucu Yesus bin Sirakh (awal abad 2 SM – bdk kata pengantar Kitab Sirakh dan Sir 48:22 – 49:10) – dan disebut juga dalam Injil (Luk 24 (27), 44; Mat 5:17; 22:40; Kis 24:14). Bentuknya belumlah terkumpul dan tersusun  seperti sekarang ini. Proses kompilasi tulisan-tulisan suci dimulai sejak bangsa Israel kembali dari pembuangan dan memakan waktu sangat panjang ; bahkan hingga jaman Yesus pun belum terdapat kanonisasi baku PL.

Sebutan "Kitab Suci" di jaman itu dan sekitarnya ( Neh 8; 1Mak 12:9; 2 Mak 15:9) belum menunjuk pada kondisi utuh Kitab Suci PL seperti sekarang – melainkan hanya mengacu pada Taurat dan Kitab Para Nabi – karena Ketubim masih terbuka dan belum final isinya.

d. Septuaginta dan Palestina
Sebelum kita masuk ke masalah kanonisasi PL, penting diketahui bahwa pada masa Yesus telah terdapat dua kumpulan Kitab Suci yang digunakan :

- Kitab Suci Palestina / Ibrani : dalam bahasa Ibrani, yang semula digunakan oleh orang Yahudi di Palestina
- Kitab Suci Alexandria / Septuaginta / LXX : dalam bahasa Yunani, berasal dari Alexandria (Mesir).
Kedua kumpulan kitab ini diakui oleh belbagai komunitas Yahudi, namun karena bahasa Yunani kemudian menjadi bahasa yang umum dipergunakan di daerah Mediterania (dibandingkan bahasa Ibrani yang hanya dikuasai kelompok tertentu / terpelajar, mis. Qumran) maka LXX diterima lebih luas. Termasuk dikutip oleh pengarang PB.

Versi Alexandria / LXX adalah terjemahan  tertua dan terpenting dari PL berbahasa Ibrani ke bahasa Yunani.

Mengenai keseluruhan isi LXX tidak ada kejelasan. Namun yang jelas bahwa para penerjemah LXX juga memasukkan kitab-kitab lain di luar Kitab-kitab Yahudi berbahasa Ibrani, yaitu kitab yang ditulis dalam bahasa Yunani dan Aram (bahasa pergaulan di jaman Yesus) .  Karenanya LXX ini lebih tebal (banyak isinya) dibandingkan dengan versi Palestina

Kitab-kitab lain ini merupakan “tulisan baru” pada jaman itu (“periode gelap” sekitar 330 – 150 SM) sehingga tidak ter up to date dalam Kitab Palestina
Legenda terbentuknya terjemahan ini diketahui dari surat seorang bernama Aristeas kepada Filokrates yang menceritakan bahwa pada pemerintahan Ptolemeus Filadelfus (285-246 SM), sang penguasa berupaya mencari terjemahan kitab suci Ibrani untuk perpustakaan kerajaan. Dan permintaan ini disetujui oleh Imam Besar Yerusalem.

Kemudian diutuslah 72 orang penatua ke Alexandria – di sana mereka menterjemahkan dalam waktu 72 hari. Cerita yang sama diceritakan pula oleh sejarawan Josephus.
Para ahli memperkirakan bahwa penerjemahan yang diselesaikan tersebut hanyalah Taurat Musa saja – untuk kepentingan orang Yahudi di Alexandria. Baru kitab-kitab lainnya secara bertahap dan diperluas dengan kitab-kitab lain di luar kitab suci Ibrani, yang berbahasa Aram dan Yunani. Proses ini baru selesai sekitar tahun 100 SM.

LXX segera menjadi Kitab Suci Yahudi resmi dalam budaya Yahudi Helenis di sinagoga-sinagoga. Para penulis PB pun mengutip PL dari naskah LXX bukan dari KS berbahasa Ibrani.
Setelah kehancuran Yerusalem tahun 70 M, kewibawaan LXX diserang oleh orang-orang Yahudi sendiri. Padahal hingga saat itu belum pernah ada serangan tersebut. Hal ini terutama karena kelompok / agama baru yang menamakan diri Kristen, juga menggunakan KS dari LXX ini.

Perdebatan-perdebatan yang hangat antara agama Yahudi dan Kekristenan yang mengutip sumber yang sama menjadi berbeda. Dan orang Yahudi meragukan kebenaran terjemahan yang dilakukan oleh LXX. Misal : Yes 7:14 (Perempuan Muda – Anak Dara)
Sekali lagi dikatakan bahwa baik LXX maupun Palestina, secara definitif belum menemukan bentuknya hingga sesudah zaman Yesus Kristus.

Gereja telah sekian lama memakai versi LXX ini sebagai kitab suci PL nya. Melihat hal ini, kelompok Yahudi (agar berbeda) bereaksi dengan menetapkan versi Palestina sebagai Kitab Suci “resmi” mereka. Dan hal ini yang kemudian hari (dua belas abad kemudian) diikuti oleh Gereja-gereja Reformator – dan Gereja katolik pun bereaksi dengan secara resmi menetapkannya kembali pada Konsili Trente


2. Terbentuknya Perjanjian Baru
 Dalam KGK 126 – penyusunan Injil-injil dibedakan tiga tahap :

a. Kehidupan dan Kegiatan Mengajar Yesus
                Bunda gereja Kudus tetap mempertahankan dengan teguh dan sangat kokoh, bahwa keempat Injil “yang sifat historisnya diakui tanpa ragu-ragu, dengan setia meneruskan apa yang oleh Yesus Kristus Putera Allah selama hidupNya diantara manusia sungguh telah dikerjakan dan diajarkan demi keselamatan kekal mereka sampai hari Ia diangkat (lih. Kis 1:1-2 – DV 19)

b.      Tradisi Lisan : Sesudah kenaikan Tuhan, para rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh karena dididik oleh peristiwa-peristiwa mulia Kristus dan oleh terang Roh Kebenaran (DV 19)

c.       Penulisan Injil-Injil : “Adapun penulis suci mengarang keempat Injil dengan memilih pelbagai dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau tertulis; beberapa hal mereka susun secara agak sintesis, atau mereka uraikan dengan memperhatikan keadaan Gereja-gereja; akhirnya dengan tetap mempertahankan bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa sehingga mereka selalu menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus” (DV 19)


Sekilas Proses penulisan dan pengumpulan PB :

Pada tahun 51 / 52, Rasul Paulus mulai menulis surat untuk kota-kota yang telah menerima ajarannya. Surat-surat ini dipelihara dan disharingkan sebagai surat yang memiliki otoritas ajaran iman akan Yesus.
Tahun 65 / 70 Injil Markus ditulis dan kemudian menyusul tulisan-tulisan lainnya.

Injil Lukas dan Matius sekitar tahun 80 / 90 M

Injil Yohanes sekitar Tahun 90-100 M
Banyak tulisan beredar dan tidak semuanya diterima Gereja sebagai “yang diinspirasi” Allah.

Pada tahun 125 seluruh Kitab PB telah selesai ditulis. Dan sekitar tahun 250an, kitab-kitab tersebut bersama Kitab-kitab PL dikompilasi dalam suatu daftar (kanon) dan dinyatakan sebagai diinspirasi Allah (Kanon Atanasius)

Seluruh Kitab PB ditulis dalam bahasa Yunani dan diperuntukkan bagi orang Kristen Yahudi berbahasa Yunani maupun non Yahudi – maka PENULISAN PERJANJIAN BARU MENGGUNAKAN PERJANJIAN LAMA VERSI LXX SEBAGAI NARA SUMBER.
Penulis-penulis PB kerap mengutip dan merujuk pada kitab-kitab yang terdapat dalam versi LXX.

Karenanya Konsili Gereja di Roma 382 dan tahun 393 di Hippo serta tahun 397 di Cartagena menggunakan daftar KS Kristiani berdasarkan Versi LXX.

Gereja Katolik dewasa ini menerima KS  sebagaimana Gereja Perdana menerimanya, yaitu 46 Kitab PL dan 27 Kitab PB sebagai Kitab Suci nya (KGK 120)
Pada abad ke-16 terdapat ketegangan antara kelompok reformasi (martin Luther, dkk) yang menolak versi LXX (Kristiani) dan lebih memilih versi Palestina (Yahudi).

Dan bukan hanya itu, Luther bahkan juga meragukan inspirasi Allah pada empat kitab PB yang telah dipergunakan oleh umat Kristiani sejak awal : Ibrani, Yakobus, Yudas dan Wahyu

Terhadap gerakan reformasi ini (!!!), Gereja bersikap dalam Konsili Trente  dengan menetapkan kembali Vulgata dan daftar tradisional kitab-kitab PB sebagai versi resmi Kitab Suci Gereja Katolik
Akibatnya dalam PL, Gereja Katolik mempunyai 7 kitab lebih banyak dibanding Protestan : Tobit, Yudit, 1-2 Makabe, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh dan Barukh (dan tambahan pada Kitab Daniel dan Ester)


3. Kanonisasi Kitab Suci : Gereja Katolik Menambah Jumlah Alkitab?

a. Arti Kanon - Kanonisasi
Kanon (Yun) patokan atau kaidah (2Kor 10:13; Gal 6:6).  – berakar bahasa Ibrani qane  = tongkat lurus atau tongkat pengukur (Yeh 40:3)
Kanonisasi Alkitab = proses penilaian tentang kewibawaan suatu buku sebagai buku iman.
Kanon Alkitab = daftar resmi kitab-kitab yang diterima Gereja sebagai Kitab Suci atau Kanonik – yang bersifat mengikat iman dan perilaku Gereja
Yang masuk daftar = Kitab Kanonik ; yang tidak masuk daftar = bukan Kanonik – bukan bagian dari Alkitab.

Bagi Gereja Katolik, ada 73 kitab : 46 PL dan 27 PB. Namun karena Konsili Trente (1545-1563) menghitung Kitab Ratapan sebagai bagian dari Kitab Yeremia maka jumlah Alkitab menjadi 72 saja. Daftar Kitab-Kitab dalam Alkitab Katolik
Kitab-kitab yang tidak disetujui oleh protestan disebut Deuterokanonika - sedangkan bagi mereka Apokrifa. (lebih lengkap keduanya kita bahas lebih lanjut).

Mengapa ada perbedaan kanon PL pada umat Kristen Protestant (39 buku) dan Katolik (46 buku)? Benarkah Katolik menambah jumlah Alkitab? Ini pandangan yang umum bagi protestan.
Yang benar adalah : GEREJA KATOLIK SAMA SEKALI TIDAK MENAMBAHKAN JUMLAH ALKITAB ; SEBALIKNYA GEREJA-GEREJA REFORMASILAH YANG MENGURANGI JUMLAH ALKITAB.

Persoalan yang timbul adalah mereka tidak mengakui Sabda Allah yang termuat dalam kitab-kitab Deuterokanonika.
Persoalan kitab mana yang masuk dan tidak ini sangat krusial dan menentukan bagi pandangan teologi masing-masing Gereja : misal tentang api pencucian, berdoa bagi orang yang sudah meninggal, dsb


b. Sejarah Pembentukan Kanon Alkitab
Serangan terhadap Alkitab Katolik memberikan kesan bahwa seakan-akan pada jaman Yesus sudah ditetapkan daftar kitab dalam PL secara definitif – dan Gereja Katolik menyelewengkan dengan menambah-nambah jumlah kitab.

KS Yesus dan Para Rasul adalah PL. Pada waktu itu belum ada keseragaman diantara jemaat Yahudi tentang kanon Alkitab. Kitab-kitab mana yang termasuk dalam PL yang dikenal / diakui Yesus tidak bisa dilacak – namun yang pasti bahwa PL yang dikenal oleh Yesus dan para Rasul adalah versi Septuaginta, yang di dalamnya terdapat kitab-kitab Deuterokanonika!
i. Penetapan Kanon Yahudi

Kitab Suci Yahudi dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan urutan WAKTU PENGAKUAN kitab-kitab tersebut menjadi kanonik :
Taurat (Torah)
Kitab-kitab Para Nabi (Nebiim)
 Kitab lain-lain (Ketubim) – isinya apa saja masih samar ; tidak ada kejelasan pasti

Pembagian ini dikenal oleh cucu Yesus bin Sirakh (awal abad 2 SM – bdk kata pengantar Kitab Sirakh dan Sir 48:22 – 49:10) – dan disebut juga dalam Injil (Luk 24 (27), 44; Mat 5:17; 22:40; Kis 24:14). Orang Yahudi menyebut Alkitab mereka Tanak(h) yang diambil dari huruf pertama masing-masing kelompok Kanon
Kapan pembentukan kanon PL Yahudi? Ada beberapa upaya :  Masa Sinagoge Agung dibawah dorongan Ezra (400 SM) atau konsili para Rabi di Jamnia (90-100 M), atau juga sekitar abad ke-2 Masehi.

Kebanyakan ahli memandang bahwa orang-orang Yahudi menetapkan kanonnya sekitar tahun 90-100 M, yaitu saat berkumpulnya para rabi Farisi Yahudi di sekolah Yamnia, sebuah kota di Palestina sebelah barat Yerusalem. Motivasi utama penetapan kanon tersebut adalah sebagai reaksi atas kekristenan yang memakai juga PL sebagai Kitab Sucinya. Di Yamnia ditetapkan kanon pendek (tanpa deuterokanonika).
Keputusan ini tidak serta merta diterima oleh semua orang Yahudi. Baru hingga awal abad ketiga diterima secara umum. Jadi ada jeda waktu sekitar satu abad bagi agama Yahudi untuk menerima kanon pendek ini

“Kanon Yamnia” tanda kutip karena apa yang dilakukan di Yamnia ini bukanlah suatu ketetapan dan bersifat mengikat semua orang Yahudi. Sekolah Yamnia tidak memiliki otoritas semacam itu.

ii. Penetapan Kanon Katolik
Kapan gereja Katolik menetapkan Kanon Kitab Sucinya? Secara definitif dan resmi memang baru pada konsili Trente, melalui dekrit De Canonicis Scripturis, tanggal 8 April 1546

Namun keputusan Trente bukan sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit. Jauh sebelum timbulnya reformasi,  kebanyakan Gereja lokal – dalam persatuannya dengan Gereja Roma – telah memiliki beberapa kanon dan juga keputusan (sinode/konsili) yang menetapkan daftar kitab-kitab Katolik.

Proses itu terjadi di abad ke-3 dan ke-4 masehi beberapa Gereja berinisiatif menjadikan satu kitab-kitab PL (disebut kodeks) dan tampak bahwa : 

Kitab-kitab yang terdapat dalam LXX lebih banyak dibandingkan bahasa Ibrani.
Ada perbedaan jumlah diantara Gereja-gereja tersebut meski sebagian  besar sama. Misal kodeks Vatikan tidak memiliki Makabe, Kodeks sinai mempunyai 1 dan 4 Makabe, sedangkan kodeks Alexandria mempunyai 1-4 Makabe.

Perbedaan juga dari sisi bahasa aslinya. Kecuali kitab Sirakh, semua kitab yang tidak dianggap kanon oleh sekolah Yamnia ditulis hanya dalam bahasa Yunani. Jadi unsur baru tidak terdapat pada “kanon Yamnia”
Perbedaan terus berlanjut, hingga saat terjadi perdebatan dengan orang Yahudi soal iman, keduanya mengutip dari sumber yang berbeda. Orang Yahudi mengutip Alkitab yang berbahasa Ibrani, orang Kristen yang berbahasa Yunani sehingga terdapat perbedaan makna antar keduanya. Misal :
Yes 7:14 yang dikutip Mat 1:23. teks Yunani “anak dara” (perawan) – Teks Ibrani “perempuan muda” (entah masih perawan atau sudah kawin)

Perkembangan selanjutnya, khususnya di Afrika utara dan Galia (Perancis) digunakan terjemahan bahasa latin dari LXX. Disebut Vetus Latina (=latin kuno) – dalam banyak versi.

Versi Vetus Latina ini oleh Konsili Kartago 397 ditetapkan sebagai kitab-kitab Kanonik untuk Gereja lokal di sana dengan tujuan memberikan kepastian kepada umat dalam menghadapi serangan-serangan orang Yahudi. Kanon Kartago memuat kitab-kitab yang tidak terdapat dalam “kanon” orang Yahudi.
Karena ada banyak versi Vetus Latina, maka Paus Damasus, dalam Konsili di Roma 382 memerintahkan Hieronimus untuk mengerjakan terjemahan baru yang lebih kritis di Jerusalem.

Hieronimus mengerjakan bukan berdasar dari LXX melainkan langsung dari bahasa Ibrani (beda dengan Vetus Latina), namun Hieronimus tidak menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Yunani seperti Barukh, Kebijaksanaan, Sirakh dan 1-2 Makabe.
Karenanya terjemahan Hieronimus tidak mendapat sambutan baik (dianggap kurang lengkap)  dan baru diawal abad ke-7 setelah digabung dengan Vetus Latina (untuk kitab-kitab yang bahasa aslinya Yunani) diterima secara luas – dan baru sejak abad 16 disebut Vulgata (= dipakai secara umum)

Kanon PL sendiri baru ditetapkan secara resmi pada konsili Trente (sidang keempat, 8 April 1546). Mengapa sangat lama?
Selama ini tidak ada persoalan, baru karena kaum protestan memisahkan diri dan menolak kanon yang telah ada dan memilih kanon Yahudi sebagai Kitab Sucinya, maka Gereja merasa perlu untuk menegaskan kembali secara resmi kanon Kitab Suci Gereja Katolik.
Konsili Trente dengan tegas menggunakan Vulgata untuk menyebut buku-buku yang termasuk kanon. Ada 45 buku PL yang disebut kanonik (Kitab ratapan dihitung satu dengan Yeremia)

Karena memilih Kanon Yahudi, maka protestan menolak : Kitab-kitab Tobit, Yudit, Barukh (surat Yeremia dihitung sebagai bab 6 kitab Barukh), Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, dan 1-2 Makabe ; meski telah sekian lama digunakan oleh pelbagi jemaat – dan menyebutnya sebagai Kitab Apokrif – sedang “orang Katolik” menganggapnya sebagai Deuterokanonika.

Istilah deuterokanonika bukanlah istilah Gereja Katolik. Deuterokanonika berarti diterima kemudian sebagai kanon. Istilah ini diciptakan oleh Sixtus dari Siena di abad 16.
Istilah ini sangat tidak tepat karena tidak mengungkapkan secara benar sejarah terjadinya kanon. Seolah sebelumnya telah ada Kanon PL (disebut Protokanonika = kanon yang pertama) dan kemudian Gereja Katolik menambahkannya dengan Deuterokanonika – yang sebenarnya Apokrif. Dan kemudian saat reformasi gereja Reformasi hendak kembali ke Kanon yang benar, yaitu kanon Yahudi – yang tanpa deuterokanonika. Ini jalan pikiran dan argumen yang kerap dilontarkan.
Gereja Ortodoks juga menggunakan Deuterokanonik dengan tambahan Kitab-kitab Ezra dan 3 Makabe.

iii. Penetapan Kanon Gereja-gereja Reformasi

Reformasi (baru) terjadi di abad 15 Dengan didalangi oleh Martin Luther, seorang imam dari biara St. Agustinus. Mengenai KS, Luther menolak kitab-kitab Kanon yang telah umum diterima oleh gereja Katolik, khususnya tujuh kitab dalam PL dan empat kitab dalam PB (Ibrani, Yakobus, Yudas dan Wahyu).
Apa dasar penolakan ini ? Beberapa argumen :

- Asal berbeda dengan Katolik (muak dengan segala yang berbau Katolik)
- Bahasa Asli Alkitab PL (sebagian besar) : Ibrani ? Tapi bahas itu tidak dipakai Yesus?
- Perbedaan Teologis : api pencucian, para Kudus, dsb
Meski demikian, pendapat Luther tidak serta merta diikuti oleh para penganutnya. Khususnya untuk PB – para pengikut masih mempertahankan kanon sebagaimana gereja Katolik.

Penetapan Kanon Gereja Reformasi sendiri terjadi dalam tiga dokumen (Konsili?) :
- Confessio Gallicana 1559
- Confessio Belgica 1561
- Confessio Westminster 1648


c. Alasan Penolakan Deuterokanonika
Protestan memilih kanon Ibrani sebagai Kitab Suci Perjanjian Lama mereka. Karenanya mereka tidak memasukkan Deuterokanonika. Pertanyaannya: mengapa mereka memilih demikian?

Beberapa jawaban :
i. Penolakan atas semua yang berbau Katolik.
Saat itu, Gereja Reformasi ingin keluar dari “cengkeraman” Katolisitas yang sudah mengental di abad pertengahan tersebut. Semua yang berbau Katolik sebagian besar ditolak.

ii. Interpretasi teologis yang baru
Pada dasarnya, kritik reformasi adalah kritik “sosial” atas praktek keagamaan saat itu yang memang sangat menyimpang. Namun secara substansi sebenarnya bukan karena alasan teologis. Meski pada akhirnya penyimpangan parktek tersebut juga mempunyai landasan teologis yang keliru / berlebihan (mis. Tentang Maria, indulgensi, dsb).
Banyak tokoh Gereja lain yang sama-sama tidak setuju dengan situasi tersebut, namun mereka melakukan pembenahan dari dalam : Ignatius Loyola, Vincentius a paulo, dsb
Interpretasi teologis yang baru – khususnya menyangkut Deuterokanonika adalah mengenai Api Penyucian dan Berdoa bagi mereka yang telah meninggal – karena dalam teologi Katolik banyak pendasaran tema-tema tersebut didasarkan pada kitab-kitab Deuterokanonika.

iii. PB tidak mengutip Deuterokanonika
Alasan mereka adalah bahwa Kitab PB sama sekali tidak mengutip Deuterokanonika. Benarkah demikian? Mari kita telaah :

Kutipan secara langsung memang tidak ada. Dan ini juga terjadi pada beberapa kitab Protokanonik : Yosua, Hakim-hakim, Rut, 2 Raja, 1-2 Tawarikh, Ezra, Nehemia, Ester, Pengkhotbah, Kidung Agung, Ratapan, Obaja, Nahum dan Zefanya.
Tidak pernah dikutip PB bukan berarti bahwa satu kitab PL bukan Sabda Tuhan.
Ada banyak indikasi yang menunjukkan bahwa PB mengutip Deuterokanonika secara tidak langsung atau sekurangnya terinspirasi.
Satu studi kecil dari kitab Yesus bin Sirakh dan Kitab PB :
- Hubungan Sirakh 4:1 dan Mar 10:19-21
- Hubungan Sirakh 1:10 dan 1 Kor 2:6-9
- Hubungan Sirakh 3:17 dan Yak 3:13
- Hubungan Sirakh 5:11 dan Yak 1:19
- Hubungan Sirakh 5:13 dan Yak 3:6-10
(secara lebih detail disampaikan dalam file terpisah : sumber :  mempertanggungjawabkan iman Katolik buku kelima)

Kemiripan sangat penting pada perbandingan antara Sir 4:1 dengan Mrk 10:19-21 ; sir 1:10 dengan 1 Kor 2:6-9. Kedua perbandingan tersebut menunjukkan Kitab Sirakh disejajarkan dengan kitab-kitab PL lainnya
Kemiripan yang disajikan dalam penggunaan kata-kata saja mungkin bisa terjadi secara kebetulan – namun berbeda jika konteks  dan gagasan teologisnya yang mirip
Perbandingan tersebut gagal / runtuh jika bisa ditunjukkan kitab-kitab lain selain Sirakh yang bisa dipakai sebagai pembandingnya.

iv. Deuterokanonika ditulis pada jaman kegelapan

Yang dimaksud dengan jaman kegelapan adalah masa peralihan antara Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru (secara historis mulai dengan imperalisme Alexander Agung dari Yunani) di mana saat itu Allah tidak mengutus seorang nabi pun di tengah umat Israel.

Benarkah ada jaman kegelapan tersebut? Dalam Kitab Suci Protokanonik tidak ada satu ayat pun yang menyinggung adanya jaman kegelapan ini. Justru dari deuterokanonika kita tahu hal ini, yaitu bahwa memang ada beberapa masa di jaman sebelum Kristus, Allah tidak mengutus seorang NABI PROFESSIONAL ke Israel.
Menurut keyakinan Yahudi waktu itu, setelah Hagai, Zakaria dan Maleakh meninggal, jaman kenabian berhenti sementara waktu. Jadi ketika Yesus datang, sudah ratusan tahun lamanya orang Yahudi menanti-nanti munculnya seorang nabi.
Itulah sebabnya di jaman Makabe (150th sebelum Yesus) orang tidak tahu apa yang harus diperbuat terhadap mezbah korban bakaran yang telah dinajiskan orang asing. Mereka hanya bisa membongkar dan menumpuk batu disatu tempat di gunung Rumah Allah: ”sampai seorang nabi tampil ke muka yang dapat memberikan ketentuan dalam hal itu” (1Mak 4:44-46 ; bdk 1 Mak 14:41))

Sangat rancu jika dikatakan bahwa Deuterokanonika ditulis di jaman kegelapan (karenanya tidak sah) dengan memakai dasar Kitab Deuterokanonika sendiri. Itu sangkalan secara Alkitabiah.
Disisi lain jaman kekosongan nabi tidak harus diartikan sebagai jaman kegelapan dimana Allah tidak menyapa umatNya lagi! Dan tidak ada wahyu Allah ditulis. Wahyu Allah tidak tergantung pada nabi semata.

Lebih lanjut : apa dampak masa kekosongan tersebut dengan kitab-kitab Deuterokanonika? Perlu diingat bahwa allah tidak hanya berbicara melalui para nabi profesional saja. Ia tetap bisa mewahyukan diri dengan pelbagai cara.
Sebelum adanya para nabi profesional, Allah telah berbicara melalui orang-orang yang memiliki karunia kenabian (Abraham, Musa, dll). Demikian juga di saat jaman kenabian berakhir, Allah tetap berbicara melalui orang-orang yang bukan nabi.

Misal, Daniel. Ia bukan nabi. Ia adalah seorang negarawan ulung yang juga mendapat karunia kenabian, sehingga dalam Mat 24:15 ia disebut nabi. Bagi orang Yahudi, Daniel bukan nabi karenanya kitabnya tidak termasuk dalam nebiim melainkan ketubim. Bahkan para ahli juga sepakat bahwa Daniel ditulis sebagian di abad III SM – sebagian di abad II SM (dijaman kekosongan!) – bukan tambahan Daniel.

Kitab Tobit (Deutero) juga ditulis pada waktu yang hampir bersamaan dengan Kitab Daniel, yang berbicara tentang jaman pembuangan. Orang Katolik menerima kitab Tobit sebagaimana menerima kitab Daniel.

Contoh lain Kayafas. Ia bukan seorang nabi (imam besar) namun ia bernubuat atas dorongan Tuhan (Yoh 11:49-51), juga Simeon yang bernubuat tentang Yesus sendiri (Luk 2:25-34). Artinya Tuhan tidak benar-benar diam dan hanya menunggu nabi yang berbicara.

d. Mana yang benar?

Dari sisi sejarah dan sisi katolik dengan tegas dikatakan bahwa Alkitab kita yang benar! Mengapa? Sekurangnya ada dua hal :

Faktor kewibawaan Lembaga yang menetapkan Kanon tersebut. Kewibawaan ini menyangkut unsur sejarah (lebih dahulu), Teologis (lembaga yang memegang otoritas suksesi apostolis : dari Petrus serta para rasul lainnya kepada para paus dan uskup yang terjadi secara berkelanjutan – tanpa putus)

Faktor Tradisi Gereja Perdana dan bahkan Yesus sendiri yang memakai PL dalam bahasa Yunani (Septuaginta) yang jelas lebih panjang dari kanon Ibrani. Apakah kita berani berbeda dengan Yesus?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar